Malam di Hotel Bogor yang Berhantu

Table of Contents
Malam di Hotel Bogor yang Berhantu - Cerpen Horor Mania

208: Kamar Terlarang di Hotel Tua Bogor

Hujan turun deras ketika Raka tiba di sebuah hotel tua di kawasan Puncak, Bogor. Ia tengah melakukan perjalanan dinas sebagai jurnalis majalah wisata. Hotel itu, meskipun tak semewah hotel modern, memiliki daya tarik klasik kolonial yang membuatnya unik. Nama hotel itu adalah Hotel Kartika Indah, bangunan peninggalan zaman Belanda yang telah berdiri sejak tahun 1920-an.

"Pak, yakin mau menginap di sini?" tanya sopir ojek online yang mengantarkannya. "Katanya hotel ini angker, banyak tamu yang diganggu."

Raka hanya tersenyum. "Saya jurnalis. Justru tempat seperti ini yang menarik untuk ditulis."

Lobby hotel tampak sepi. Seorang resepsionis wanita dengan wajah datar menyambutnya tanpa senyum.

"Selamat malam. Pesan atas nama Raka, kamar 207," ucap Raka sambil menyerahkan KTP.

Wanita itu hanya mengangguk dan memberikan kunci kamar dengan gantungan kayu tua. "Kamar di lantai dua, ujung lorong kanan. Jangan buka jendela malam-malam, ya."

Raka mengernyit. "Kenapa?"

Resepsionis itu tak menjawab. Ia hanya menunduk dan kembali mengetik di komputer tuanya.

Dengan sedikit rasa penasaran, Raka menaiki tangga kayu yang berderit. Lorong di lantai dua temaram, lampunya kuning redup, dan suasananya terasa dingin meski tak ada AC. Sesampainya di kamar 207, ia membuka pintu dan mengamati isi ruangan. Cukup luas, bergaya vintage, ranjang besi, lemari kayu besar, dan jendela menghadap hutan pinus. Tapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri. Mungkin karena sunyinya terlalu mencekam.

Ia membuka laptop, mulai menulis pengalamannya sejauh ini. Malam pun semakin larut. Saat jarum jam menunjukkan pukul 01.13 dini hari, terdengar suara langkah kaki di lorong. Pelan, namun konsisten.

Tok... tok... tok...

Raka mengabaikannya. Tapi suara itu berhenti tepat di depan kamarnya. Ia menahan napas. Kemudian terdengar ketukan pelan.

Tok tok...

"Siapa?" tanya Raka dari dalam, namun tak ada jawaban.

Ia membuka pintu perlahan. Lorong kosong. Tak ada siapa pun.

"Mungkin tamu lain," gumamnya sambil menutup pintu.

Namun belum sempat ia kembali ke ranjang, jendela kamarnya tiba-tiba terbuka sendiri. Angin dingin berhembus masuk, tirai berkibar liar. Raka bergegas menutup jendela itu, namun saat ia melakukannya, dari pojok cermin tua di samping lemari, ia melihat sosok wanita bergaun putih berdiri di belakangnya.

Ia menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa.

"Ah, mungkin karena lelah," ujarnya sambil mencoba menenangkan diri.

Tapi malam itu tak membiarkannya tidur. Sekitar pukul 03.00, terdengar suara tangisan perempuan. Pelan. Lalu semakin keras.

Huu... huu... huu...

Raka membuka pintu lagi. Lorong tetap kosong. Tapi suara tangisan seolah datang dari kamar di seberang—kamar 208. Ia mencoba mengetuk pintunya.

Tok tok tok "Halo? Maaf, apakah tidak apa-apa?"

Pintu itu perlahan terbuka. Di dalam, kamar tampak gelap. Tiba-tiba, sosok wanita dengan rambut panjang dan wajah pucat menatapnya dari ranjang. Matanya kosong, dan mulutnya bergerak seolah berkata: "Jangan di sini..."

Raka mundur perlahan, lalu menutup pintu dengan cepat. Ia kembali ke kamarnya dengan napas memburu.

Pagi harinya, Raka turun ke resepsionis dengan mata sembab.

"Bu, tadi malam saya dengar suara dari kamar 208. Ada wanita di sana... dia seperti butuh bantuan."

Resepsionis itu menatapnya lama, lalu menjawab datar, "Kamar 208 sudah kosong bertahun-tahun. Tidak dipakai sejak tamu perempuan bunuh diri di sana tahun 2007."

"Apa... maksudnya... semalam saya melihat—"

"Bapak mungkin kelelahan. Silakan sarapan dulu. Tapi saya sarankan bapak tidak menginap malam ini lagi."

Namun Raka justru semakin penasaran. Siang itu ia mewawancarai penjaga hotel yang lebih tua, Pak Samin.

"Kamar 208? Iya, dulu ada tamu perempuan bernama Mita. Datang sendirian, katanya baru patah hati. Dia gantung diri di dalam kamar, pas hari ketiga dia menginap. Sejak itu kamar dikunci, tapi kadang suka terbuka sendiri."

Raka mengerutkan kening. "Apa sebelumnya ada tamu yang melihat penampakan?"

Pak Samin mengangguk. "Banyak, Mas. Ada yang lihat dia duduk di pinggir ranjang. Ada juga yang dengar dia nyanyi malam-malam."

Raka memutuskan untuk menginap semalam lagi. Ia membeli kamera dan perekam suara dari toko elektronik terdekat. Kali ini ia berniat merekam segala hal yang terjadi.

Pada malam kedua, suasana semakin mencekam. Tepat pukul 01.00, perekam suara menangkap desisan samar. Ketukan mulai terdengar lagi. Kamera tiba-tiba mati. Layar laptop berkedip dan menampilkan wajah wanita pucat sesaat, lalu menghilang.

Ketika ia hendak menutup jendela, sesuatu menyeretnya ke belakang. Raka jatuh ke lantai, dan di atasnya berdiri sosok perempuan berpakaian putih dengan rambut panjang menutupi wajah.

"Pergi..." bisiknya dengan suara berat.

Raka berteriak dan tubuhnya menggigil. Ia menutup mata dan membaca doa. Saat membuka mata, sosok itu lenyap.

Pagi harinya, tubuh Raka lemas. Ia menyerahkan hasil rekamannya kepada seorang temannya di Jakarta untuk dianalisis. Ternyata dalam rekaman suara terdengar jelas tangisan dan kata-kata seperti, “Aku masih di sini…”.

Tak hanya itu, dalam video pendek yang berhasil terselamatkan, terlihat bayangan samar berjalan melewati cermin, padahal tidak ada siapa pun di dalam ruangan.

Beberapa hari setelah kembali ke Jakarta, Raka mengalami mimpi aneh. Dalam mimpinya, ia kembali ke kamar 208. Mita duduk di ranjang dan menatapnya.

“Tolong ceritakan tentang aku,” katanya pelan. “Agar aku tak dilupakan.”

Setelah terbangun, Raka merasa berkewajiban untuk menulis kisah tersebut sejujur-jujurnya. Ia mengirimkan tulisannya ke majalah dan artikel itu viral. Banyak yang menghubunginya, mengaku pernah mengalami gangguan serupa saat menginap di hotel tersebut.

Hotel Kartika Indah kini mulai ramai dibicarakan kembali. Bukan karena kenyamanannya, melainkan karena kisah mistisnya yang nyata. Namun sampai saat ini, kamar 208 tetap terkunci rapat. Tak pernah ada yang berani membukanya lagi.

Raka sendiri, sejak kejadian itu, memilih untuk tidak lagi mengejar cerita horor. Ia percaya, ada kisah-kisah yang seharusnya tetap tinggal di masa lalu. Kisah Mita adalah salah satunya.

Posting Komentar