Misteri di Villa Pengkolan Bali: Kisah Seram

Daftar Isi
Misteri di Villa Pengkolan Bali, Kisah Seram - Cerpen Horor Mania

Kutukan Perempuan di Villa Pengkolan

Liburan ke Bali menjadi mimpi banyak orang. Pantainya, budayanya, dan alamnya selalu menggoda siapa saja. Tapi, tidak semua cerita di Bali seindah brosur wisata. Di balik eksotisme pulau dewata, tersimpan kisah-kisah misteri yang masih dibicarakan penduduk lokal. Salah satunya adalah kisah menyeramkan di Villa Pengkolan, sebuah bangunan tua yang kini jarang disewa wisatawan.

Empat sahabat—Fajar, Rani, Seno, dan Mila—memutuskan untuk menginap di villa tersebut selama tiga malam. Mereka mendapat harga murah dari aplikasi booking online. Lokasinya berada di daerah perbukitan Ubud, jauh dari keramaian. Sebuah tempat yang katanya ideal untuk mencari ketenangan.

“Gila, pemandangannya keren banget,” ujar Seno saat mereka tiba. Villa dua lantai itu tampak megah meski cat dindingnya mulai kusam. Dikelilingi pohon besar dan semak-semak lebat, villa itu terasa sunyi, hanya suara serangga dan angin yang menemani.

“Kok kayaknya sepi banget, ya?” bisik Mila, sambil menggenggam tangan Rani.

Rani tersenyum. “Namanya juga di pengkolan, pasti jarang ada orang. Justru enak, gak bising.”

Malam pertama berjalan biasa saja. Mereka makan malam bersama, tertawa, dan saling bercanda di balkon atas. Tapi sekitar pukul dua pagi, Fajar terbangun karena mendengar suara kursi diseret dari lantai bawah. Awalnya ia mengira Seno yang begadang, tapi saat ia turun, semua lampu padam dan tak ada siapa pun di ruang tamu.

“Sen?” panggil Fajar pelan.

Tidak ada jawaban. Tapi dari arah dapur, terdengar suara gemericik air. Dengan langkah pelan, Fajar mendekat. Saat membuka pintu dapur, ia terkejut melihat keran menyala, padahal sore tadi mereka menutupnya.

Ia mematikan keran dan kembali ke kamar, berusaha menenangkan diri. Tapi sebelum ia menutup pintu, ia melihat sekilas di cermin ruang makan—bayangan seorang perempuan berdiri di ujung ruangan, mengenakan kebaya putih, dengan wajah menghadap ke bawah.

“Sialan...” gumam Fajar, cepat-cepat masuk dan menutup pintu. Ia tidak berani cerita pada yang lain karena khawatir mereka panik.

Keesokan paginya, Rani mendapati lantai dapur basah. “Kok bisa begini? Siapa yang ke dapur tadi malam?”

Fajar menggeleng. “Mungkin air bocor,” katanya singkat.

Tapi malam kedua lebih aneh. Mila berteriak dari kamar mandi karena pintu terkunci sendiri saat ia mandi. “Aku udah coba buka, tapi gagangnya macet. Aku dengar ada yang ketuk pintu terus-terusan, padahal kalian semua di kamar!”

Seno mencoba menenangkan. “Mungkin pintunya emang tua. Kayak villa ini, kan banyak bagian yang udah aus.”

Namun malam itu, suara gamelan bali terdengar samar dari arah luar villa. Awalnya mereka kira dari speaker tetangga, tapi tidak ada rumah lain di sekitar mereka.

“Udah deh, besok kita pindah aja,” kata Rani tegas.

“Setuju,” ujar Mila. “Aku ngerasa gak enak dari pertama kali masuk villa ini.”

Sayangnya, malam ketiga menjadi puncak dari teror yang mereka alami. Sekitar pukul 1 dini hari, listrik tiba-tiba padam. Semua ruangan gelap gulita, dan dari luar terdengar suara wanita tertawa, nyaring dan panjang.

“Kalian denger itu?! Astaga itu bukan suara manusia biasa!” teriak Seno.

Mereka berempat berkumpul di ruang tengah, hanya mengandalkan senter ponsel. Tiba-tiba, lampu menyala sendiri. Dan di ujung tangga, sosok perempuan berkebaya putih itu muncul. Rambutnya panjang, kakinya tidak menyentuh lantai, dan wajahnya... hancur seperti terbakar.

“PERGI!!!” Suara itu menggema, membuat kaca jendela bergetar. Tanpa pikir panjang, mereka lari keluar, bahkan tidak sempat membawa barang-barang.

Mereka menginap di penginapan terdekat dan pagi harinya langsung menghubungi pemilik villa. Saat mereka ceritakan apa yang terjadi, pemilik hanya menghela napas panjang.

“Saya sudah berkali-kali memperingatkan manajemen agar tidak menyewakan villa itu lagi,” katanya. “Tiga tahun lalu, ada keluarga yang tinggal di sana saat Nyepi. Sang istri membakar diri karena kerasukan. Sejak itu, penampakan sering muncul. Tapi karena harga murah, villa itu tetap disewakan.”

Fajar terdiam. Semua potongan kejadian akhirnya masuk akal. Sosok perempuan berkebaya putih itu bukan sekadar arwah penasaran, tapi roh yang terjebak karena kematian tragis.

Namun saat mereka hendak check-out dari penginapan, Mila pingsan. Rani panik dan memanggil paramedis setempat. Setelah siuman, Mila memeluk Rani erat dan berbisik dengan suara lemah, “Dia ikut kita, Ran... Dia duduk di kursi belakang mobil tadi malam.”

Fajar dan Seno saling berpandangan. Mereka akhirnya memutuskan untuk menemui seorang tetua adat di desa sekitar villa. Wayan Sukra, pria sepuh berjubah putih, menyambut mereka dengan tenang di bale rumahnya.

“Kalian menginap di villa itu?” tanya Wayan Sukra setelah mendengar cerita mereka. “Itu tempat yang tidak bersih. Arwah perempuan itu tidak diterima bumi karena ia mengakhiri hidup di saat Nyepi. Itu hari suci. Ruhnya terperangkap.”

Wayan Sukra kemudian melakukan upacara pembersihan untuk keempat sahabat itu. Asap dupa mengepul, mantra-mantra dilantunkan. Mila kembali muntah dan menggigil saat upacara berlangsung.

“Dia memang paling rentan. Arwah itu mencoba masuk melalui tubuhnya,” ujar Wayan. “Untung kalian cepat datang.”

Setelah upacara selesai, mereka disarankan untuk tidak kembali ke villa, bahkan tidak melihat ke belakang saat meninggalkan desa. Rani sempat menoleh saat mobil mereka menuruni bukit, dan matanya membelalak.

“Fajar... itu dia...” bisiknya. “Di balkon atas. Dia berdiri... dan tersenyum.”

Fajar memacu mobil lebih kencang, mencoba menghapus bayangan itu dari pikiran mereka. Tapi malamnya, saat menginap di hotel Denpasar, suara gamelan kembali terdengar. Kali ini lebih dekat. Mila mulai meracau dalam tidurnya, menyebut nama yang tidak dikenal: “Luh Ayu... Luh Ayu...”

Fajar mencari di internet dan menemukan artikel lama: seorang wanita bernama Luh Ayu yang meninggal karena membakar diri di villa tersebut. Keluarganya percaya ia kerasukan saat Nyepi. Foto di artikel itu sama persis dengan sosok berkebaya yang mereka lihat.

“Mungkin dia tidak ingin kita hanya lari,” kata Fajar. “Mungkin dia ingin didengar. Ingin ditemukan.”

Mereka memutuskan kembali ke desa dan menemui Wayan Sukra lagi. Mereka membawa sesajen, bunga, dan foto Luh Ayu yang dicetak. Mereka ke villa untuk terakhir kalinya, ditemani tetua adat dan beberapa warga yang berani.

Di halaman depan villa, upacara penghantaran arwah dilakukan. Suara lonceng, mantra, dan taburan bunga mengisi udara. Di akhir upacara, angin bertiup kencang. Semua bunga beterbangan, dan satu lilin padam sendiri.

“Sudah selesai,” kata Wayan Sukra. “Dia sudah tenang sekarang.”

Sejak malam itu, tidak ada lagi teror. Mila tidur tenang. Gamelan tak terdengar. Tapi satu hal yang mereka tahu pasti: Bali tidak hanya indah karena alamnya, tapi juga karena jiwa-jiwa yang pernah hidup di dalamnya. Dan beberapa di antaranya, masih menunggu untuk dibebaskan.

Posting Komentar