Misteri Kamar Hotel 13: Malam yang Kelam

Daftar Isi
Misteri Kamar Hotel 13, Malam yang Kelam - Cerpen Horor Mania

Rahasia Mencekam Kamar 13 Hotel Tua Malang

Di kota Malang yang berhawa sejuk, berdiri sebuah hotel tua peninggalan era kolonial Belanda. Bangunannya megah, dengan dinding bercat putih yang mulai mengelupas dan jendela besar berbingkai kayu usang. Namanya Hotel Rahayu. Konon, hotel itu telah berdiri sejak tahun 1927. Meski usianya tua, tempat itu masih beroperasi dan menarik tamu, terutama pencinta bangunan heritage.

Namun ada satu hal yang tak banyak diketahui pengunjung—misteri yang menyelimuti salah satu kamarnya. Kamar nomor 13. Kamar itu hampir selalu dibiarkan kosong, dan para staf enggan berbicara soal itu, seolah ada aturan tak tertulis untuk tidak membangkitkan sesuatu yang sudah lama "dibiarkan tenang".

Suatu malam, Rizky, seorang fotografer freelance asal Jakarta, datang ke Malang untuk memotret lanskap dan bangunan-bangunan bersejarah. Ia tertarik pada Hotel Rahayu karena arsitekturnya yang klasik dan cerita-cerita mistis yang ia dengar dari komunitas urban legend.

“Mas, saya pesan kamar yang paling murah ya, untuk dua malam,” ujar Rizky di resepsionis. Ransel besarnya menandakan ia telah lama di perjalanan.

Petugas hotel, seorang wanita paruh baya bernama Bu Darmi, terlihat ragu sejenak sebelum menyerahkan kunci.

“Ini kamar nomor 13, Mas. Lokasinya di lantai dua, paling ujung,” katanya pelan sambil menunduk.

Rizky tak mempermasalahkan angka 13. “Gak apa-apa, Bu. Saya malah penasaran kok,” jawabnya sambil tersenyum. Ia memang sudah sering mendengar kisah mistis dan merasa tidak mudah percaya begitu saja.

Ia menaiki tangga kayu tua yang mengeluarkan bunyi nyaring setiap diinjak. Lorong menuju kamar 13 sunyi dan pencahayaannya redup. Dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan tua, semuanya tampak menyimpan kisah yang tak diucapkan. Kamar 13 berada di ujung lorong, pintunya tampak berbeda dari kamar lain—lebih tua, dan gagangnya berkarat.

Setelah membuka pintu, Rizky langsung merasakan hawa dingin yang tidak wajar. Kamar itu sederhana namun bersih. Ada ranjang besi tua, lemari kayu besar, meja rias dengan cermin oval, dan jendela yang menghadap ke taman belakang yang remang.

Rizky meletakkan barangnya dan mulai menyiapkan kameranya. Ia memotret sudut-sudut kamar, sekadar dokumentasi. Tapi saat meninjau hasil foto, ia merasa aneh. Di salah satu foto tampak siluet samar seperti perempuan berdiri di dekat lemari. Ia menghapusnya, menganggapnya efek bayangan atau kamera yang goyang.

Menjelang tengah malam, saat Rizky sedang mengedit hasil foto di laptop, lampu kamar berkedip-kedip. Ia menoleh ke cermin dan terperangah—ada sosok hitam berdiri di belakangnya. Ia refleks menoleh, tapi tidak ada siapa pun.

“Capek nih, pasti cuma bayangan,” gumamnya. Ia lalu merebahkan diri di ranjang. Namun tidur malam itu jauh dari tenang.

Pukul dua dini hari, Rizky terbangun karena suara ketukan lembut dari dalam lemari.

Tok... tok... tok...

Ia bangkit perlahan, mencoba tetap tenang. Ia mendekati lemari dan membukanya—kosong. Tapi saat menutup pintunya, ia mendengar bisikan di dekat telinganya:

“Jangan di sini...”

Napas Rizky memburu. Ia menyambar kamera dan mulai merekam keadaan kamar, tapi tak ada apa-apa. Ia menyalakan TV dan lampu kamar, lalu kembali ke tempat tidur. Tapi semalaman ia merasa ada yang menatap dari cermin.

Keesokan paginya, Rizky turun untuk sarapan. Bu Darmi menyapanya dengan senyum kaku.

“Tidur nyenyak, Mas?”

“Boleh jujur, Bu? Ada yang aneh di kamar itu,” katanya. “Semalam saya dengar ketukan dari lemari, dan kayak ada sosok di cermin.”

Bu Darmi menghela napas. “Mas Rizky... kamar itu sudah lama kami kosongkan. Tapi karena kamar penuh dan Mas minta yang paling murah... ya, itu satu-satunya yang tersedia.”

“Kenapa dibiarkan kosong, Bu?” Rizky bertanya penasaran.

“Dulu, ada tamu perempuan muda, katanya baru putus dari tunangan. Dia menginap tiga malam. Hari ketiga, dia ditemukan gantung diri di lemari... semenjak itu, tamu sering mengadu, bilang ada ketukan, bisikan, bahkan muncul sosok perempuan menangis.”

Rizky tercekat. “Kenapa tidak ditutup saja kamarnya?”

“Pernah. Tapi malah makin sering gangguan ke kamar-kamar lain. Akhirnya kami biarkan terbuka, hanya jarang diberikan ke tamu.”

Malam kedua, Rizky memutuskan merekam semalaman. Ia pasang tripod, arahkan kamera ke lemari dan cermin. Ia juga menggantung doa-doa di kepala ranjang dan membaca ayat pelindung.

Tepat pukul dua pagi, suara ketukan terdengar lagi. Tapi kali ini lebih keras.

Tok... tok... TOK!

Lemari bergerak sendiri, pintunya terbuka perlahan. Dari dalam, muncul sosok perempuan berambut panjang, mengenakan gaun putih kusam. Wajahnya tak terlihat, hanya kabut hitam yang menggantung di tempat wajah seharusnya ada.

“Jangan di sini... pergi dari sini...” bisik sosok itu, tapi suaranya menggema di kepala Rizky.

Rizky tak bisa bergerak, tubuhnya kaku. Sosok itu melayang ke arah cermin, lalu masuk ke dalamnya dan menghilang. Kamera terus merekam, menangkap semua kejadian mengerikan itu.

Pagi harinya, Rizky ditemukan tergeletak tak sadarkan diri oleh petugas hotel. Kamera yang ia pasang merekam kejadian malam itu dengan jelas. Beberapa staf yang menonton video tersebut menolak bekerja di lantai dua sejak saat itu.

Setelah pulih, Rizky memutuskan pulang lebih cepat ke Jakarta. Namun mimpi buruk tak berhenti. Selama berhari-hari, ia terus bermimpi tentang wanita itu—selalu pukul dua pagi, selalu ketukan, dan selalu suara yang sama:

“Jangan di sini...”

Ia merasa diawasi, bahkan ketika sudah kembali ke rumah. Kadang cerminnya berkabut sendiri, meski tidak ada uap. Kadang terdengar suara dari dalam lemari kamarnya sendiri.

Rizky akhirnya berkonsultasi dengan seorang spiritualis. Setelah melihat video rekaman, sang spiritualis mengatakan bahwa arwah wanita itu masih “melekat” pada Rizky, karena Rizky membuka komunikasi dengannya. Ia menyarankan Rizky untuk melakukan ritual pemutusan energi dan membuang semua benda yang dibawa dari kamar hotel itu—termasuk rekaman videonya.

Dengan berat hati, Rizky menghapus rekaman tersebut, membakar kertas doa yang ia gantung di ranjang, dan melakukan ritual sesuai saran spiritualis. Setelah itu, gangguan mulai mereda.

Namun pengalaman itu tertanam dalam pikirannya. Ia menulis semuanya ke dalam blog horor pribadi, dengan harapan orang lain berhati-hati bila menginap di tempat tua. Artikel itu viral, dan komentar pun berdatangan. Beberapa pembaca bahkan mengaku pernah mengalami kejadian serupa di hotel yang sama.

Sampai kini, Kamar 13 di Hotel Rahayu masih ada. Kadang dipesan oleh orang yang nekat, atau hanya sekadar ingin membuktikan cerita urban legend. Tapi tidak semuanya kembali dalam keadaan yang sama. Ada yang pergi dalam ketakutan, ada yang kesurupan, bahkan ada yang tidak pernah check-out.

Dan bila suatu malam kau menginap di hotel tua itu, dan kau mendengar ketukan dari lemari saat jam menunjukkan pukul dua pagi, ingatlah satu hal:

Jangan buka lemari itu. Jangan menatap cermin terlalu lama. Dan yang paling penting... jangan pernah menginap di Kamar 13.

Posting Komentar