Misteri Kutukan Gedung Sate Bandung

Daftar Isi
Kutukan Gedung Sate Bandung - Cerpen Horor Mania

Kutukan Gedung Sate Bandung: Misteri di Balik Kemegahan

Bandung dikenal sebagai kota kembang dengan arsitektur kolonial yang memukau. Salah satu bangunan ikoniknya adalah Gedung Sate, gedung bersejarah peninggalan era Hindia Belanda. Namun, di balik kemegahan dan fungsinya sebagai pusat pemerintahan, tersimpan kisah kelam yang jarang terungkap ke publik—kisah tentang kutukan dan penampakan yang menghantui malam-malam di sana.

Semua bermula dari sekelompok mahasiswa arsitektur Universitas di Bandung, yang mendapat tugas untuk meneliti arsitektur kolonial. Salah satu objek utama mereka adalah Gedung Sate. Terdiri dari empat orang: Arya, Rika, Dimas, dan Putri, mereka memutuskan untuk menyusup malam-malam ke dalam gedung demi mendapatkan suasana otentik dan dokumentasi eksklusif.

"Lu yakin ini aman, Arya?" bisik Rika sambil melihat ke sekeliling pelataran gelap gedung.

"Tenang aja. Satpamnya lagi patroli ke sisi belakang. Kita punya waktu maksimal satu jam," jawab Arya mantap sambil mengeluarkan kamera dari tasnya.

Gedung Sate berdiri anggun dalam gelap, diterangi lampu temaram. Mereka masuk melalui jendela samping yang diketahui tidak dikunci, sesuai info dari senior mereka.

Di dalam, lorong-lorong panjang dengan dinding bata tebal menciptakan gema setiap langkah mereka. Suasana dingin langsung menyergap, meski tidak ada AC yang menyala.

"Kalian ngerasa dingin banget nggak sih?" tanya Putri sambil memeluk tubuhnya sendiri.

"Iyalah, gedung tua pasti lembab. Nggak usah mikir yang aneh-aneh," jawab Dimas cepat.

Mereka mulai memotret beberapa ornamen kuno, ukiran khas Eropa dan ventilasi bergaya Moor. Tapi saat Rika mengarahkan kameranya ke ujung lorong, hasil tangkapan layar memperlihatkan sesuatu yang aneh.

"Eh... ini apa?" bisik Rika. Ia memperbesar gambar di layarnya. Tampak bayangan wanita berambut panjang berdiri tepat di ujung lorong. Tapi saat mereka melihat langsung ke arah sana, lorong itu kosong.

"Udah ah, jangan bercanda!" kata Dimas sedikit ketus. Tapi nada suaranya terdengar gugup.

Putri semakin takut. "Gue rasa kita nggak seharusnya ada di sini."

Namun Arya tetap bersikeras. "Kita udah sejauh ini. Cuma sedikit lagi kok."

Mereka pun naik ke lantai atas, menuju salah satu ruang yang diyakini sebagai ruang rapat utama pada masa Belanda. Di ruangan itu, terdapat meja panjang dan jendela-jendela besar bergorden merah tua yang sudah berdebu.

Begitu mereka masuk, tiba-tiba lampu gantung tua di langit-langit berayun pelan, meski tak ada angin. Dan... terdengar suara kursi yang bergeser sendiri.

"Gila... itu kursinya gerak sendiri?" bisik Putri dengan suara gemetar.

Sekonyong-konyong, pintu ruangan menutup sendiri dengan suara keras. "BRAKK!"

Dimas berlari ke pintu, mencoba membukanya. Terkunci.

"Terkunci dari luar! Gimana caranya?" teriak Dimas panik.

Tiba-tiba suara perempuan terdengar dari pojok ruangan, pelan dan berulang-ulang. "Pergi... pergi... kalian mengganggu..."

Rika menjerit. Sosok wanita mengenakan kebaya putih berdiri di samping jendela. Wajahnya pucat, matanya hitam pekat, dan darah menetes dari mulutnya.

"Itu... bukan manusia!" jerit Arya.

Saat sosok itu mulai melayang ke arah mereka, Dimas membaca doa dengan suara keras, sementara Putri menangis dan Rika berpegangan pada Arya yang pucat pasi.

Dalam kepanikan, pintu mendadak terbuka sendiri. Mereka pun langsung berlari keluar ruangan tanpa menoleh ke belakang. Langkah mereka cepat menuruni tangga dan melesat keluar melalui jendela tempat mereka masuk.

Di luar, mereka terdiam. Nafas terengah. Tak satu pun dari mereka berkata-kata selama beberapa menit.

Beberapa hari setelah kejadian itu, mereka mulai mencari tahu lebih dalam tentang sejarah gelap Gedung Sate. Dari seorang dosen sejarah, mereka mendengar kabar yang mencengangkan.

"Konon, saat pembangunan Gedung Sate oleh pemerintah kolonial, banyak pekerja pribumi dipaksa kerja paksa. Bahkan, beberapa di antara mereka tewas mengenaskan saat membuat pondasi gedung," jelas sang dosen.

"Dan mayat-mayat itu... dikubur di bawah lantai gedung," lanjutnya lirih. "Sebagai cara menutupi kasus kerja paksa itu dari media dan pemerintah Hindia Belanda."

Putri langsung merinding. "Jadi... mereka yang gentayangan itu... para korban?"

"Bisa jadi," ujar dosen itu. "Dan ada satu kisah tragis tentang wanita pribumi yang diperkosa lalu dibunuh oleh pejabat Belanda di ruang atas... tempat kalian melihat penampakan itu."

Setelah peristiwa itu, satu per satu dari mereka mulai mengalami kejadian aneh. Dimas kerap terbangun dengan mimpi buruk yang sama—dirinya terjebak di dalam ruangan yang sama, dengan sosok wanita itu mendekat perlahan.

Rika juga mengaku beberapa kali mencium bau melati saat tengah malam, padahal tak ada bunga di kamarnya. Bahkan, ia sempat melihat bayangan wanita di cermin kamar mandi kosnya yang menghilang begitu ia menoleh.

Putri yang tinggal di rumah keluarganya pun mengalami gangguan. Ia merasa selalu diawasi, dan pernah suatu malam mendapati tulisan \"pergi...\" tercoret di jendela kamarnya dari dalam, padahal semua tertutup rapat.

Merasa tak tahan, Arya menghubungi seorang spiritualis. Lelaki tua itu mengajak mereka melakukan ritual pembersihan dan meminta mereka datang kembali ke Gedung Sate untuk meminta maaf secara spiritual.

Dengan membawa sesajen berupa bunga tujuh rupa, air kembang, dan dupa, mereka kembali ke gedung tersebut pada malam Jumat Kliwon. Di bawah langit mendung, mereka melakukan ritual di halaman depan, lalu di lorong dan ruangan tempat kejadian.

Saat doa tengah dibacakan, angin kencang berhembus tiba-tiba dan semua lilin padam. Dupa terbakar lebih cepat, dan aroma melati menyengat. Suara tangisan samar terdengar dari arah dalam gedung.

“Dia mendengar kita,” ucap sang spiritualis pelan. “Tetap tenang, jangan takut. Tunjukkan niat baik.”

Lalu, dalam sekejap, suara itu hilang. Angin reda. Lilin kembali menyala dengan sendirinya. Ritual selesai. Tapi suasana tetap mencekam.

Setelah kejadian itu, gangguan perlahan menghilang. Mereka mulai bisa tidur tenang. Namun rasa trauma tetap tertinggal. Mereka tidak pernah kembali ke sana, dan tak lagi melihat bangunan itu dengan cara yang sama.

Gedung Sate memang tetap berdiri megah, menjadi simbol Bandung dan kantor pemerintahan Jawa Barat. Tapi di balik dinding putih dan ornament tusuk sate di atasnya, ada kisah luka lama yang belum sepenuhnya hilang.

Dan bagi mereka yang pernah mengusik, sosok wanita berkebaya itu tetap menunggu. Di jendela lantai atas. Menatap keluar. Mencari mereka yang berani masuk tanpa izin.

Jadi, jika kamu lewat Gedung Sate saat malam hari dan merasa seolah diawasi, jangan berhenti terlalu lama. Karena mungkin saja, dia sedang mengamatimu... dan berharap kamu ikut masuk.

Posting Komentar