Pengalaman Mistis di Goa Jepang Bandung
Penampakan Hantu di Goa Jepang Bandung: Kisah Sejarah
Goa Jepang di Bandung dikenal sebagai salah satu tempat bersejarah peninggalan masa penjajahan. Tapi, di balik dinding batu yang dingin dan lorong gelapnya, banyak kisah misterius yang tersembunyi. Inilah kisah nyata yang dialami oleh sekelompok mahasiswa saat melakukan penelitian sejarah di sana.
“Serius, lo mau nginep di Goa Jepang?” tanya Bima dengan nada tak percaya.
“Ini untuk skripsi gue, Bim. Gak akan lama, cuma semalam. Gue juga ngajak si Rani, Dika, sama Novi,” jawab Arya sambil memasukkan alat perekam suara ke dalam tasnya.
Keempat mahasiswa Universitas Padjadjaran itu memang sedang melakukan riset tentang peninggalan era penjajahan Jepang di Jawa Barat. Goa Jepang di kawasan Dago Pakar, Bandung, menjadi salah satu tempat yang harus mereka dokumentasikan. Namun, tak satu pun dari mereka menyangka bahwa malam itu akan menjadi malam paling menyeramkan dalam hidup mereka.
Mereka tiba di kawasan Taman Hutan Raya sekitar pukul lima sore. Udara mulai dingin, kabut tipis turun perlahan. Setelah meminta izin petugas setempat dan menjelaskan maksud mereka, mereka diizinkan masuk ke area goa sebelum waktu tutup. Karena dianggap kegiatan ilmiah, petugas memberi kelonggaran hingga malam hari.
“Hawa di sini aneh, ya,” bisik Rani sambil memeluk jaketnya erat-erat.
“Biasa aja kali, Rin. Ini cuma suasana pegunungan,” kata Dika mencoba menenangkan. Tapi sebenarnya, dia pun merasa bulu kuduknya merinding sejak masuk ke mulut goa.
Mereka menyalakan senter dan memasuki lorong gelap. Suara langkah mereka menggema di dinding batu. Dika mulai merekam video dokumenter. Arya mengatur alat perekam suara di salah satu ruangan sempit yang dulunya dipakai sebagai tempat interogasi oleh tentara Jepang.
“Kalau menurut catatan sejarah, banyak tawanan yang disiksa di sini. Bahkan beberapa dibunuh,” kata Arya sambil mencatat sesuatu di bukunya.
Tak lama setelah mereka duduk untuk istirahat, suara lirih terdengar dari dalam goa. Seperti seseorang merintih kesakitan.
“Kalian denger itu?” tanya Novi, matanya membesar.
“Mungkin suara hewan,” jawab Dika, walau suaranya terdengar ragu.
Namun suara itu makin jelas. Seolah ada yang mengerang, lalu terdengar suara rantai yang diseret.
“Udah, kita keluar aja yuk. Ini nggak enak banget suasananya,” kata Rani gemetar.
Arya mencoba bersikap rasional. “Tenang dulu. Kita rekam aja. Kalau ini suara asli dari dalam goa, itu jadi bahan menarik untuk skripsi.”
Namun, tak sampai satu menit kemudian, suasana berubah drastis. Udara mendadak menjadi sangat dingin, dan lampu senter Dika mulai berkedip-kedip.
“Sial, baterai gue penuh tadi pagi!” maki Dika sambil menggoyangkan senter.
Di saat itu pula, terdengar suara langkah kaki—berat, seperti tentara dengan sepatu besi—bergerak mendekat dari lorong belakang.
Mereka membeku. Tak satu pun berani bergerak. Suara langkah itu semakin dekat… dan kemudian berhenti tepat di belakang Arya.
Novi menjerit. Sosok bayangan tinggi besar, dengan pakaian lusuh tentara Jepang dan wajah pucat berdarah, berdiri diam sambil menatap mereka. Di tangannya, menggantung cambuk kulit yang meneteskan darah hitam.
“LARI!” teriak Arya.
Mereka berempat lari tergopoh-gopoh menyusuri lorong gelap, berusaha menemukan jalan keluar. Tapi setiap belokan terasa seperti jalan buntu. Seakan mereka tersesat dalam dimensi yang berbeda.
“Tadi ini jalan keluarnya! Gue yakin!” teriak Dika, panik.
Namun yang terlihat hanya lorong batu yang sama, berputar-putar seperti labirin tak berujung. Dan suara jeritan kesakitan terus terdengar—kali ini lebih banyak, seperti puluhan orang disiksa bersamaan.
Tiba-tiba, Rani jatuh tersungkur. Arya membantunya bangkit, tapi Rani terisak, “Tangan gue... ada yang narik dari bawah!”
Arya menyorotkan senter ke tanah. Sebuah tangan putih pucat muncul dari celah lantai batu, mencengkeram kaki Rani erat-erat sebelum perlahan menghilang kembali ke dalam kegelapan.
Mereka terus berlari, hingga akhirnya sinar bulan tampak samar dari kejauhan. Mereka menerobos keluar dari goa dengan napas tersengal, jatuh tersungkur di rerumputan luar. Tubuh mereka kotor dan penuh luka lecet.
Petugas yang berjaga terkejut melihat mereka. “Kenapa kalian keluar dari arah barat? Goa itu udah ditutup dari 10 tahun lalu, jalannya buntu.”
Arya terdiam. Mereka masuk dari pintu utama di sisi timur, bagaimana bisa keluar dari arah barat yang katanya sudah tertutup?
Beberapa hari kemudian, Arya memeriksa kembali rekaman suara yang ia letakkan di ruangan interogasi. Saat didengarkan, suara mereka berlima terdengar jelas. Namun, di tengah-tengah rekaman, ada suara lain yang tak mereka kenali.
“Kowareta… tasukete… watashi o korosanaide…”
Suara perempuan, lirih dan penuh ketakutan. Lalu terdengar suara cambukan, jeritan, dan seseorang tertawa... tawa menyeramkan yang bukan berasal dari manusia.
Malam-malam berikutnya, Arya mulai bermimpi aneh. Ia sering melihat lorong gelap, dan di ujungnya, perempuan berseragam lusuh menatapnya dengan mata kosong. Kadang, ia terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dan merasa ada seseorang yang duduk di ujung tempat tidurnya.
Rani pun mengalami hal serupa. Ia mengaku sering mendengar suara rantai dari bawah tempat tidurnya. Suatu malam, ia bahkan melihat bayangan tinggi di cermin kamarnya, padahal ia sendirian. Sejak itu, Rani memilih tidur di rumah bibinya dan menolak membicarakan soal Goa Jepang lagi.
Dika, yang biasanya paling berani, menjadi pendiam. Ia menghapus semua file rekaman dari ponselnya dan berkata, “Gue nggak peduli nilai skripsi. Yang penting gue masih hidup.”
Novi justru menjadi semakin penasaran. Ia mulai menelusuri kisah-kisah serupa tentang Goa Jepang. Ternyata, bukan mereka saja yang mengalami kejadian aneh. Beberapa komunitas pemburu hantu pernah merekam penampakan serupa, termasuk suara perempuan Jepang yang menangis dan jeritan tahanan.
Dari hasil penelusuran Novi, diketahui bahwa salah satu ruangan di Goa Jepang konon dulunya digunakan untuk menyimpan mayat-mayat tahanan yang meninggal karena siksaan. Beberapa korban bahkan tidak pernah diidentifikasi dan dibiarkan membusuk dalam ruangan batu tanpa upacara pemakaman.
“Bayangkan jiwa-jiwa yang disiksa di sana, tanpa doa, tanpa keluarga. Mereka pasti belum bisa tenang,” ujar Novi pada Arya suatu malam.
Meski sudah berlalu beberapa minggu, rasa takut masih menghantui mereka. Hingga akhirnya, Arya memutuskan untuk melakukan satu hal terakhir. Ia kembali ke Goa Jepang, kali ini ditemani oleh seorang ustaz dan dua warga lokal yang paham tentang energi gaib.
Saat masuk ke lorong tempat rekaman diambil, ustaz itu langsung berkata, “Tempat ini bukan sekadar goa. Ini liang azab. Banyak arwah yang terjebak di sini, berteriak minta keadilan.”
Mereka membacakan doa, menaburkan bunga, dan meminta maaf kepada semua arwah yang mungkin terganggu oleh kedatangan Arya dan teman-temannya.
“Kadang kita lupa, bahwa tempat sejarah bukan sekadar saksi, tapi juga penyimpan luka,” ucap salah satu warga.
Setelah ritual itu, gangguan mulai mereda. Arya tidak lagi bermimpi buruk, Rani bisa kembali ke rumah, dan Dika mulai membuka diri lagi.
Namun mereka sepakat untuk tidak pernah kembali ke sana. Bagi mereka, pengalaman di Goa Jepang bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang batas antara dunia nyata dan yang tak kasatmata. Batas yang, sekali tersentuh, tak akan pernah bisa dilupakan.
Goa Jepang Bandung kini tetap menjadi salah satu tujuan wisata sejarah. Tapi bagi mereka yang pernah mengalami kengerian di dalamnya, tempat itu adalah pengingat bahwa sebagian dari masa lalu masih hidup… dan terus menuntut untuk diingat.
Dan hingga kini, dalam lorong gelap dan sunyi itu, suara rantai masih kadang terdengar... menunggu siapa pun yang cukup berani, atau cukup bodoh, untuk masuk lagi ke dalamnya.
Posting Komentar