Pintu yang Terkunci: Kisah Teror
Kisah Teror di Rumah Tua Bandung
Di sebuah sudut kota Bandung yang jarang dijamah, berdiri sebuah rumah tua peninggalan zaman Belanda. Rumah itu tampak kokoh, tapi menyimpan aura kelam yang sulit dijelaskan. Warga sekitar menyebutnya "Rumah Pintu Terkunci". Konon, tidak ada yang bisa membuka pintu kayu besar di lantai dua sejak puluhan tahun lalu.
Rina, seorang mahasiswa arsitektur, tertarik untuk mengangkat rumah tua itu sebagai bahan skripsinya. Bersama dua temannya, Dito dan Sari, ia memutuskan untuk menyelidikinya lebih dalam.
"Aku udah tanya ke warga sekitar, katanya rumah itu kosong sejak tahun 1985," ujar Rina sambil membolak-balik catatannya.
"Tahun segitu? Wah, berarti udah lebih dari tiga dekade!" sahut Dito takjub. "Pasti banyak cerita seramnya."
"Justru itu yang bikin menarik," kata Sari sambil tersenyum miring. "Misteri pintu yang nggak bisa dibuka itu lho."
Mereka akhirnya tiba di rumah tua itu pada sore hari. Angin semilir menerbangkan daun-daun kering di halaman depan. Bangunan besar dengan jendela-jendela kayu tua tampak berdiri membisu. Pintu depan berderit saat mereka dorong masuk.
Begitu mereka melangkah masuk, udara dingin seolah menyambut. Aroma apek dan tanah basah langsung menusuk hidung. Ruang tamu penuh dengan perabot tua berdebu, namun tak ada tanda-tanda kerusakan besar.
"Ini rumahnya masih lumayan utuh ya," komentar Rina sambil menyalakan senter. "Coba kita cari tangga ke lantai dua."
Mereka menyusuri lorong panjang, melewati foto-foto tua yang tergantung miring di dinding. Saat mereka menemukan tangga, suasana semakin sunyi. Seakan semua suara dari luar telah menghilang.
Di lantai dua, mereka langsung melihat pintu besar berwarna coklat tua di ujung koridor. Kayunya tampak kokoh, namun ada bekas goresan seperti cakaran di bagian bawahnya.
"Itu dia pintunya," bisik Sari. "Yang katanya nggak pernah bisa dibuka."
Rina mencoba memutar gagangnya. Benar saja, pintu itu terkunci. Ia lalu mencoba mencongkelnya dengan obeng kecil dari tasnya, tapi sia-sia. Dito bahkan sempat mencoba mendorongnya dengan tubuh, namun tak bergerak sedikit pun.
"Kayaknya kita butuh alat berat kalau mau buka ini," gumam Dito sambil mengusap peluh.
Namun malam mulai tiba. Mereka memutuskan untuk kembali keesokan harinya dengan alat lebih lengkap. Tapi sebelum mereka turun, terdengar suara ketukan dari dalam pintu itu.
Tok... Tok... Tok...
Mereka saling berpandangan. Tidak ada yang berbicara. Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras.
"Kalian denger juga kan?" tanya Sari dengan suara gemetar.
"Iya... itu dari dalam pintu," sahut Rina perlahan.
Saat mereka bersiap turun, tiba-tiba lampu senter Rina berkedip lalu mati. Koridor menjadi gelap gulita. Sari menjerit saat merasakan sesuatu menyentuh pundaknya.
"Ada yang megang aku!" teriaknya panik.
Dito buru-buru menyalakan senter dari ponselnya. Tapi tak ada siapa-siapa di belakang Sari. Hanya udara dingin yang menusuk, seolah berasal dari dalam pintu terkunci itu.
"Kita harus pergi sekarang," ujar Rina tegas.
Mereka berlari menuruni tangga, namun saat hendak membuka pintu depan, pintunya tak bisa digerakkan. Seolah terkunci dari luar.
"Apa-apaan ini! Tadi bisa kebuka!" Dito mencoba menggedor pintu, tapi tak ada reaksi.
Lalu terdengar suara langkah kaki dari lantai atas. Perlahan tapi pasti, seperti seseorang sedang menuruni tangga. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang berani menoleh.
"Jangan lihat ke belakang," bisik Sari, gemetar.
Langkah itu berhenti di belakang mereka. Lalu terdengar suara berbisik...
"Jangan ganggu dia..."
Begitu suara itu terdengar, pintu depan tiba-tiba terbuka dengan keras. Angin malam langsung menyapu wajah mereka. Tanpa pikir panjang, mereka berlari keluar dan tak menoleh ke belakang.
Keesokan harinya, Rina kembali bersama petugas setempat dan membawa tukang kunci profesional. Anehnya, pintu di lantai dua itu terbuka sedikit, seperti ada yang membukanya dari dalam.
Saat mereka mendorongnya, terlihat sebuah kamar kosong dengan jendela besar menghadap halaman. Namun yang paling mencolok adalah bercak darah kering di lantai dan sebuah boneka tua duduk di pojok ruangan, menghadap ke pintu.
"Apa yang terjadi di ruangan ini?" gumam salah satu petugas.
Rina menatap boneka itu. Entah kenapa, boneka itu terlihat seperti tersenyum kepadanya. Ia segera menutup pintu dan memutuskan untuk tidak melanjutkan skripsinya tentang rumah itu.
Sejak malam itu, Rina kerap bermimpi tentang gadis kecil yang berdiri di balik pintu, menatapnya dari kegelapan. Dan tiap pagi ia bangun, telinganya masih bisa mendengar suara ketukan pelan...
Tok... Tok... Tok...
Beberapa minggu kemudian, Rina mencoba mencari tahu lebih banyak tentang sejarah rumah itu melalui arsip kota dan wawancara dengan warga lama. Ia menemukan sebuah artikel lama tahun 1985 yang menyebutkan bahwa rumah itu milik seorang dokter Belanda bernama Hendrik Van Houten. Setelah kemerdekaan, rumah itu dihuni oleh keluarga Indonesia bernama Darmawan.
Salah satu anggota keluarga, seorang anak perempuan bernama Nita, dilaporkan hilang secara misterius di dalam rumah itu. Ia terakhir terlihat masuk ke kamar lantai dua yang kini dikenal sebagai "pintu terkunci". Sejak kejadian itu, penghuni rumah mengalami gangguan: suara-suara aneh, pintu terbuka sendiri, dan penampakan gadis kecil berambut panjang.
"Mungkin itu alasan keluarganya pindah tiba-tiba dan rumah ini dikunci," kata Rina saat bertemu Pak Sugeng, warga tua yang pernah menjaga rumah itu.
"Saya masih ingat betul, Nak. Waktu itu saya dengar sendiri suara anak kecil menangis tiap malam. Tapi begitu dicek, kosong. Lalu suatu malam, semua lampu rumah padam, dan dari kamar itu terdengar jeritan. Sejak saat itu, nggak ada yang berani ke atas," jelas Pak Sugeng sambil menatap kosong ke kejauhan.
Rina menggeleng. Semakin ia mencari, semakin banyak teka-teki yang muncul. Namun ada satu yang mengganggunya: kenapa hanya dia yang terus diganggu sejak kunjungan itu?
Suatu malam, saat Rina sendirian di kosnya, ia terbangun karena suara ketukan pelan di pintu kamarnya.
Tok... Tok... Tok...
Ia bangkit, menatap ke arah pintu. "Siapa?" tanyanya. Tak ada jawaban. Saat ia membuka pintu, tak ada siapa pun di lorong. Tapi saat ia menoleh ke belakang, boneka yang ia lihat di rumah tua itu... kini duduk di kursinya.
Rina berteriak dan menjatuhkan dirinya. Pagi harinya, teman-teman kos menemukannya pingsan. Boneka itu menghilang.
Sejak itu, Rina memutuskan pindah ke luar kota, berhenti kuliah, dan memutus semua komunikasi. Namun cerita tentang rumah itu menyebar. Banyak mahasiswa penasaran, mencoba masuk, namun beberapa dilaporkan kerasukan atau bahkan hilang akal.
Rumah itu kini dipasangi garis polisi dan dilarang untuk didekati. Namun bagi warga sekitar, rumah itu tetap hidup. Ketika malam tiba, suara ketukan dari lantai dua masih terdengar...
Tok... Tok... Tok...
Dan di balik pintu yang terkunci itu, ada sesuatu... atau seseorang... yang masih menunggu untuk dibebaskan.
Posting Komentar