Pohon Tua yang Menyeramkan di Lereng Merapi
Kutukan Pohon Tua yang Menghantui Warga
Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Merapi, terdapat sebuah pohon tua yang berdiri menjulang di tepi sawah. Pohon itu sudah ada sejak zaman nenek moyang dan dikenal oleh warga dengan nama "Pohon Simbar." Konon katanya, pohon tersebut menjadi tempat bersemayam makhluk halus dan tidak boleh sembarangan didekati, apalagi dilukai.
Warga Desa Srimulyo sudah terbiasa hidup berdampingan dengan pohon tersebut. Namun, ketenangan mereka terusik ketika Darto, pemuda dari kota yang baru pindah ke desa itu bersama keluarganya, memutuskan untuk menebang sebagian ranting pohon demi memperluas lahan rumahnya.
"Pak, apa Bapak yakin mau tebang pohon itu? Itu Pohon Simbar, lho," kata Pak Darman, tetangga sebelah yang sudah tinggal di desa itu seumur hidupnya.
"Ah, masa iya pohon bisa bikin celaka? Saya cuma mau potong sedikit, bukan nebang sampai akar," jawab Darto dengan santai sambil tertawa kecil.
Pak Darman hanya menggeleng pelan, "Sudah banyak yang kena batunya. Jangan main-main sama tempat wingit."
Darto tak menghiraukan peringatan itu. Keesokan harinya, ia menyewa dua pekerja untuk memotong beberapa dahan besar yang menjulur ke lahannya. Ketika gergaji motor mulai menggigit kulit pohon, udara mendadak berubah. Langit yang semula cerah mendadak gelap, dan angin berputar kencang di sekitar pohon.
"Pak, kok anginnya aneh banget, ya?" tanya salah satu pekerja sambil menghentikan alat beratnya.
"Lanjut saja! Ini cuma perubahan cuaca," teriak Darto dari teras rumahnya.
Malam itu, suasana rumah Darto berubah mencekam. Lampu-lampu padam meski rumah tetangga tetap terang. Anjing tetangga menggonggong ke arah halaman belakang tanpa henti.
"Pak, tadi aku lihat bayangan tinggi di luar jendela kamar," bisik istrinya, Mira, dengan suara bergetar.
Darto mencoba menenangkan, "Mungkin cuma ranting pohon yang goyang kena angin."
Namun suara langkah berat dan hembusan napas kasar terdengar jelas dari luar kamar mereka. Saat Darto memberanikan diri membuka jendela, tak ada siapa pun di sana. Tapi tanah di bawah jendela tampak berlubang seperti bekas pijakan kaki raksasa.
Keesokan paginya, salah satu pekerja yang ikut menebang ranting ditemukan tewas di rumahnya, dengan wajah ketakutan dan tubuh membiru seperti dicekik sesuatu yang tak kasat mata.
Desa pun geger. Warga percaya roh penunggu Pohon Simbar murka. Darto mulai dihantui setiap malam. Bayangan hitam muncul di pojok kamar, suara perempuan menangis terdengar dari arah pohon, dan anaknya yang berusia lima tahun mulai berbicara sendiri.
"Ayah, Mbak tinggi di bawah pohon bilang dia marah karena Ayah potong rambutnya," kata si kecil, Rini, dengan wajah kosong.
"Apa maksudmu, Rin? Siapa Mbak tinggi?" tanya Darto, berusaha tetap tenang.
"Dia yang tinggal di dalam pohon. Dia bilang Ayah akan diajak tinggal juga," jawab Rini sambil tersenyum tipis.
Darto akhirnya mendatangi Pak Darman dan memohon bantuan. "Saya salah, Pak. Tolong saya. Saya... saya gak kuat lagi."
Pak Darman membawanya ke seorang dukun tua bernama Mbah Sarwi. Setelah mendengar semuanya, Mbah Sarwi hanya menghela napas panjang.
"Pohon Simbar bukan pohon biasa. Di dalamnya hidup penunggu dari zaman dulu. Dia tidak suka diganggu, apalagi dilukai," ucap Mbah Sarwi lirih.
Malam harinya, dilakukan ritual permohonan maaf di bawah pohon. Darto diminta membawa sesajen dan membaca doa khusus. Saat doa dilantunkan, pohon bergoyang pelan meski tak ada angin. Suara tangisan terdengar samar, seperti berasal dari dalam batang kayu.
"Dia belum menerima permintaan maafmu," kata Mbah Sarwi setelah ritual selesai. "Kamu harus mengembalikan yang sudah kamu ambil."
"Tapi saya cuma ambil dahan-dahan itu... sudah dibakar," ucap Darto panik.
Mbah Sarwi menatap tajam. "Itulah masalahnya."
Sejak malam itu, Darto dan keluarganya terus mengalami gangguan. Setiap malam, suara ketukan di jendela, langkah di loteng, dan suara tertawa perempuan terdengar semakin nyata. Rini mulai demam tinggi dan terus mengigau menyebut nama "Simbar."
Darto akhirnya memutuskan meninggalkan desa, menjual rumahnya meski dengan harga murah. Tapi kabar mengejutkan datang beberapa minggu setelah kepergiannya. Darto meninggal dalam kecelakaan tragis di jalan tol. Mobilnya terguling tanpa sebab yang jelas, dan tubuhnya ditemukan menggenggam sepotong ranting pohon yang terbakar hangus.
Warga percaya roh Pohon Simbar menuntut balas hingga ke mana pun pelakunya pergi. Rumah Darto kini terbengkalai, dan pohon tua itu masih berdiri kokoh di tepi sawah, lebih menyeramkan dari sebelumnya. Tak ada lagi yang berani mendekat, apalagi menyentuhnya.
Namun cerita tidak berhenti di sana. Lima tahun setelah kematian Darto, pemerintah desa merencanakan pembangunan jalan desa yang melewati lahan bekas rumah Darto. Warga kembali gelisah ketika mendengar kabar bahwa proyek itu harus memotong akar Pohon Simbar yang menjulur ke sisi jalan.
"Apa kalian sudah gila? Sudah lupa kejadian lima tahun lalu?" teriak Bu Ranti, warga tertua di desa tersebut.
Namun kepala desa, Pak Hadi, berkeras. "Ini demi kemajuan desa. Kami akan lakukan prosesi adat sebelum mulai menggali."
Sayangnya, upacara itu dilakukan seadanya. Hanya beberapa sesajen dan doa singkat dari tokoh muda desa. Dua hari setelah alat berat mulai menggali, pengemudi buldoser mengalami kecelakaan di rumahnya sendiri. Ia ditemukan tergantung di ruang tamu dengan posisi kaki tak menyentuh lantai. Anehnya, tak ada kursi atau alat bantu di sekitarnya.
Warga desa kembali dicekam ketakutan. Malam-malam menjadi sunyi mencekam, dan beberapa anak kecil mulai melihat sosok tinggi dengan rambut menjuntai menutupi wajah, berdiri di dekat Pohon Simbar.
Mbah Sarwi yang kini semakin renta akhirnya dipanggil lagi. Ia menolak datang. "Saya sudah bilang dulu. Pohon itu bukan sekadar tumbuhan. Di sana ada kekuatan yang lebih tua dari desa ini sendiri. Biarkan dia hidup damai, jangan ganggu."
Akhirnya proyek jalan dibatalkan. Pemerintah desa memilih membuat jalur memutar, meski harus mengeluarkan dana lebih besar. Sejak itu, tak ada lagi yang berani menyentuh pohon tua tersebut. Bahkan, anak-anak desa dilarang bermain di dekatnya.
Menurut legenda yang mulai kembali muncul, dahulu kala, seorang wanita sakti tinggal di kawasan itu. Ia dihukum mati oleh penjajah karena dianggap membawa pengaruh buruk. Sebelum meninggal, ia bersumpah akan menjaga tanah itu, dan jasadnya dikuburkan tepat di bawah pohon yang kemudian tumbuh menjadi Pohon Simbar.
Sampai hari ini, setiap malam Jumat Kliwon, beberapa warga mengaku mendengar suara gamelan dari arah pohon, diiringi nyanyian wanita dengan nada sendu. Tidak ada yang tahu dari mana suara itu berasal. Tapi semua sepakat: Pohon Simbar bukan sekadar pohon biasa.
Ia adalah penjaga. Ia adalah kutukan. Dan ia akan terus berdiri, menjadi saksi bisu tentang bagaimana manusia yang serakah akan selalu dihukum oleh alam yang mereka abaikan.
Jika suatu hari kamu melewati Desa Srimulyo dan melihat pohon besar yang tampak seperti tua dan rapuh namun tetap menjulang megah di tepi sawah, jangan mendekat. Jangan ambil daunnya. Jangan patahkan dahannya. Dan yang paling penting, jangan sekali-kali mencoba menebangnya.
Sebab, dia masih di sana. Menunggu. Mengamati. Dan mengingat setiap wajah yang pernah mengusiknya.
Posting Komentar