Rahasia Kelam di Bawah Kamar Tidur
Bisikan Arwah yang Terkubur di Bawah Kamar Tidur
Di sebuah desa tua di lereng Gunung Merapi, tinggal seorang pemuda bernama Arman. Ia baru saja membeli rumah warisan milik seorang kakek yang tak punya keturunan. Rumah itu tampak kokoh dari luar, namun bagian dalamnya suram dan sunyi. Sejak malam pertama, Arman merasa ada yang tidak beres.
“Kenapa kamar ini dingin sekali, ya?” gumamnya sambil merapatkan selimut.
Suara angin menderu dari sela ventilasi, dan di antara sunyi malam, terdengar suara lirih seperti bisikan samar. Arman awalnya mengira itu suara angin. Namun malam-malam berikutnya, bisikan itu semakin jelas. Ia terdengar dari bawah tempat tidur.
“Tolong aku...” bisik suara itu pelan namun menyeramkan.
Arman sontak duduk tegak. Matanya membelalak. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanya halusinasi karena lelah. Tapi malam demi malam, suara itu kembali. Terkadang terdengar menangis, terkadang hanya mengulang kata “tolong” berulang kali.
Pada malam kelima, Arman memberanikan diri membuka lantai kayu di bawah tempat tidurnya. Dengan senter dan peralatan seadanya, ia melepas papan lantai yang sudah tua dan lapuk. Bau anyir segera menyeruak dari celah kayu.
“Astaga...” Arman mundur selangkah. Ia melihat sesuatu yang terbungkus kain kafan setengah membusuk di bawah lantai. Sebuah jasad.
Panik dan ketakutan, Arman segera melapor ke kepala dusun. Polisi datang esok harinya dan menggali jasad tersebut. Hasil forensik menyatakan jasad itu milik seorang perempuan muda yang hilang belasan tahun lalu, bernama Sari. Ia dikenal sebagai pembantu rumah tangga sang pemilik rumah terdahulu.
Sejak penemuan itu, rumah Arman ramai didatangi warga. Tapi malam-malam Arman justru makin mencekam. Arwah Sari tidak pergi. Ia justru makin sering muncul dalam mimpi Arman.
“Aku dikubur hidup-hidup... tolong sampaikan ke ibuku... namanya Bu Marni... dia tinggal di Desa Sidomulyo...”
Arman terbangun dengan keringat dingin. Ia merasa tidak bisa tinggal diam. Keesokan paginya, ia menyewa motor dan pergi ke Desa Sidomulyo untuk mencari Bu Marni. Ia bertanya ke beberapa warga hingga akhirnya menemukan seorang wanita tua yang tinggal di rumah kecil di pinggir kebun teh.
“Ibu... apakah Ibu kenal seseorang bernama Sari?” tanya Arman hati-hati.
Wajah wanita tua itu langsung berubah. Matanya berkaca-kaca. “Sari... itu anak saya, Nak. Dia hilang waktu kerja jadi pembantu di rumah seorang juragan tua di dekat Merapi sana...”
Arman menunduk. “Saya yang menemukan jasadnya, Bu. Dia... dikubur di bawah kamar tidur saya. Dia minta disampaikan pesan. Dia... minta maaf karena tak bisa pulang...”
Tangis Bu Marni pecah seketika. Ia memeluk Arman dan mengucapkan syukur karena akhirnya mendapat kabar tentang anaknya, meski kabar itu pahit.
Setelah itu, Arman mengajak Bu Marni untuk datang ke rumah dan ikut dalam pengajian kecil yang ia adakan untuk mengirim doa pada arwah Sari. Beberapa tetangga juga ikut membantu. Malam itu, rumah terasa lebih hangat. Seolah Sari telah berpamitan dengan damai.
Namun ketenangan itu hanya bertahan seminggu.
Pada suatu malam Jumat Kliwon, Arman terbangun karena mendengar suara orang berjalan di dalam kamarnya. Ia membuka mata dan melihat sesosok perempuan berdiri membelakanginya, rambut panjang, baju putih lusuh, dan tubuhnya kaku seperti mayat.
“Sari...?” gumam Arman gemetar.
Sosok itu menoleh, tapi wajahnya hancur separuh. Matanya menangis darah, dan ia menunjuk ke lantai kamar.
“Bukan hanya aku... masih ada yang lain...” bisiknya sebelum menghilang dalam gelap.
Arman segera bangun dan memeriksa bagian bawah lantai lagi. Dengan bantuan dua warga, ia menggali lebih dalam... dan benar saja, ditemukan tulang belulang lain yang lebih tua. Diduga korban-korban lain dari si pemilik rumah lama, yang ternyata adalah seorang dukun hitam yang melakukan pesugihan.
Desa pun gempar. Rumah itu kini dianggap angker. Warga menolak mendekat setelah matahari terbenam. Tapi Arman, yang sudah kadung tinggal di sana, bertekad untuk mendoakan para arwah yang menjadi korban. Ia mengadakan pengajian rutin setiap malam Jumat, dan satu per satu suara bisikan itu mulai mereda.
Namun tidak semua arwah pergi begitu saja. Beberapa malam, Arman masih mendengar tangisan anak kecil dari loteng. Padahal rumah itu hanya satu lantai. Suara-suara langkah di atap juga kerap terdengar, meski tidak ada siapa-siapa. Ia mencoba mengabaikan, tapi rasa penasaran mendorongnya memeriksa struktur rumah lebih detail.
Dari salah satu warga senior, ia mendapat informasi bahwa rumah itu dulu pernah dibangun di atas lahan kuburan tua zaman Belanda. Beberapa keluarga yang pernah tinggal di situ kabarnya pindah karena kerasukan atau mengalami gangguan psikis berat.
“Mungkin itu sebabnya rumah ini tak pernah laku bertahun-tahun,” ujar Pak Darmo, tetua desa. “Tapi kamu beda, Man. Kamu hadapi semua ini dengan hati bersih. Mungkin itu kenapa kamu bisa diterima oleh mereka...”
Arman mulai rutin mengundang ustaz dan pemuka agama untuk mendoakan rumah itu. Ia juga menyiapkan kamar khusus yang dijadikan musala. Beberapa warga mulai merasa tenang dan berani mendekat kembali. Rumah itu perlahan menjadi simbol penyucian dari dosa masa lalu.
Namun semua berubah saat Arman menemukan sebuah ruangan tersembunyi di balik lemari tua di ruang belakang. Ia membuka pintu kecil yang tertutup debu dan menemukan ruang bawah tanah berisi berbagai benda aneh—jimat, boneka berpaku, kendi berisi darah kering, dan sebuah buku tua bertulisan aksara kuno.
Begitu Arman menyentuh buku itu, ia mendengar jeritan keras dari seluruh penjuru rumah. Semua lampu padam. Angin kencang menerjang dari dalam. Suara langkah dan tangisan kembali menggema, tapi kali ini lebih kuat, lebih marah.
“Kamu membangunkan mereka...” terdengar suara berat berbisik dari dalam dinding.
Arman tersungkur dan tak sadarkan diri. Ia ditemukan oleh Pak Darmo keesokan paginya di ruang tengah dalam keadaan lemas. Buku dan semua benda di ruang bawah tanah telah lenyap, seolah tak pernah ada.
Sejak kejadian itu, Arman berubah. Ia tidak banyak bicara, namun tetap menjaga rumah dan menjaga doa. Ia tahu bahwa tempat itu menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa dijelaskan. Namun ia juga tahu, arwah-arwah yang pernah berbisik padanya... kini mempercayainya.
Dan ketika malam datang, dan angin menerpa lembut, suara bisikan itu kadang kembali. Bukan meminta tolong, bukan menangis, tapi berdoa. Sebuah bisikan lirih dari mereka yang terkubur dalam sunyi, akhirnya didengar oleh seseorang yang mau membuka hati.
“Terima kasih... Arman...”
Posting Komentar