Teror di Pulau Terpencil Kepulauan Seribu

Table of Contents
Kisah Horor di Kepulauan Seribu - Cerpen Horor Mania

Misteri Pulau Terlarang di Kepulauan Seribu

Namaku Rina, seorang mahasiswa arkeologi yang sangat menyukai petualangan. Cerita ini terjadi dua tahun lalu, saat aku dan tiga temanku—Dimas, Lita, dan Andi—memutuskan untuk melakukan ekspedisi ke salah satu pulau tak berpenghuni di Kepulauan Seribu. Tujuan kami sederhana, mengeksplorasi situs tua yang konon berasal dari masa penjajahan Belanda. Tapi ternyata, kami menemukan lebih dari sekadar peninggalan sejarah. Kami menemukan teror.

“Pulau ini nggak ada di peta komersial,” kata Dimas sambil menunjukkan GPS yang menunjukkan titik kecil di tengah laut. “Tapi katanya dulu pernah jadi tempat karantina penderita kusta.”

“Serius lo?” tanya Lita. Wajahnya sedikit berubah pucat. “Kok kesannya kayak tempat angker, sih.”

“Justru itu menarik,” sahutku. “Kalau benar ada sisa bangunan kolonial, itu bisa jadi temuan bagus.”

Setelah perjalanan laut selama dua jam, kami akhirnya sampai di pulau itu. Pulau kecil, dipenuhi pepohonan rimbun dan tanpa tanda-tanda kehidupan manusia. Pantainya sepi dan sunyi. Tak ada dermaga, hanya pasir putih dan ombak kecil yang menyapa kaki kami.

“Serem juga ya suasananya,” kata Andi. “Terlalu... hening.”

Kami mulai menjelajahi pulau. Sekitar lima ratus meter dari tepi pantai, kami menemukan reruntuhan bangunan tua yang setengah tertutup akar pohon. Dindingnya dari batu bata merah, dan beberapa ukiran tua masih terlihat samar.

“Lihat ini!” seruku sambil menyentuh simbol salib yang terpahat di salah satu dinding. “Mungkin ini dulu rumah sakit atau gereja.”

Kami memutuskan mendirikan tenda tak jauh dari bangunan tersebut. Malam pertama terasa normal. Kami menyalakan api unggun, memasak mie instan, dan tertawa-tawa membahas hal-hal remeh. Tapi saat malam semakin larut, suasana berubah.

“Kalian denger itu?” bisik Lita tiba-tiba. Suaranya gemetar.

Semua diam. Lalu terdengar... suara langkah kaki di semak-semak. Pelan, lalu berhenti.

“Mungkin hewan,” kata Dimas, meskipun suaranya tak meyakinkan.

Namun yang membuat bulu kuduk berdiri adalah suara erangan pelan yang terdengar setelahnya. Seperti seseorang yang kesakitan... atau menahan tangis.

“Itu bukan hewan,” bisikku. Kami saling pandang, lalu Andi mengambil senter dan mengarahkannya ke arah suara. Tak ada apa-apa.

Malam itu kami nyaris tidak tidur. Esoknya, kami menemukan sesuatu yang lebih menyeramkan. Bekas jejak kaki di sekitar tenda kami—besar dan dalam. Seperti kaki manusia, tapi jari-jarinya terlalu panjang.

“Ada orang lain di pulau ini?” tanya Lita dengan suara gemetar.

“Atau bukan orang,” gumam Andi.

Meski ketakutan, kami tetap melanjutkan eksplorasi. Di balik reruntuhan, kami menemukan sebuah ruangan bawah tanah. Pintu kayunya setengah terbuka dan tangga menurun menuju kegelapan pekat.

“Kita harus turun,” kataku.

“Gila kamu,” sahut Dimas. “Kita nggak tahu apa yang ada di bawah.”

“Justru itu. Kita ke sini buat cari tahu, kan?”

Akhirnya, kami menyalakan senter dan turun satu per satu. Di bawah sana, kami menemukan ruangan berdebu dengan ranjang besi tua, borgol yang masih tergantung di dinding, dan bau busuk yang menyengat.

“Kayaknya ini tempat penahanan pasien,” ujar Andi.

“Lihat ini...” Lita memungut buku catatan tua. Halamannya lapuk, tapi beberapa tulisan masih bisa dibaca.

"Hari ke-34: Pasien nomor 12 berteriak sepanjang malam. Dia bilang melihat 'bayangan tanpa kepala' berjalan di lorong. Kami terpaksa mengurungnya di ruangan isolasi bawah."

Kami saling berpandangan. Bayangan tanpa kepala?

Suasana tiba-tiba menjadi dingin. Terlalu dingin untuk daerah tropis. Napasku mulai terlihat dalam uap. Lalu... suara tangisan kembali terdengar. Tapi kali ini... dari belakang kami.

Kami menoleh. Di ujung lorong, sesosok tubuh tinggi berdiri. Tanpa kepala. Darah menetes dari lehernya. Tangannya terentang, menunjuk ke arah kami.

“LARI!!” teriak Dimas.

Kami berlari naik ke permukaan, hampir terjatuh di tangga kayu rapuh. Di atas, suasana pun berubah. Langit mendung pekat dan angin tiba-tiba bertiup kencang. Kami langsung berkemas dan memutuskan untuk meninggalkan pulau meskipun hari belum malam.

Saat kami tiba di pantai, perahu kami sudah tak ada. Hanyut? Tidak. Tambatannya masih utuh, hanya tali tambat yang seolah... dipotong.

“Kita terjebak,” ucap Andi putus asa.

Malam kedua jauh lebih mencekam. Kami berempat duduk berdekatan, memegangi senter dan pisau kecil satu-satunya yang kami punya. Angin seolah membawa suara-suara bisikan. Daun-daun bergerak sendiri padahal tak ada angin. Dan sesekali, kami melihat sosok bayangan di balik pepohonan.

Pukul tiga dini hari, Lita menghilang.

“Dia tadi di sini!” teriak Dimas panik.

Kami mencari ke seluruh penjuru pulau, memanggil namanya, tapi hanya suara gema yang menjawab. Di dekat reruntuhan, kami menemukan syal miliknya—berlumuran darah.

“Kita harus pergi dari sini, apapun caranya,” kataku tegas.

Keesokan paginya, kami mencoba membuat rakit sederhana dari batang kayu dan tali tenda. Ombak tinggi, langit masih kelabu, tapi kami tak punya pilihan. Kami meninggalkan pulau itu dengan perasaan hampa... dan kehilangan.

Dua hari kemudian, kami ditemukan nelayan dan dibawa ke Jakarta. Kami melaporkan hilangnya Lita, tapi hingga hari ini, jasad atau tanda-tandanya tak pernah ditemukan.

Tapi cerita ini tidak selesai sampai di sana.

Setelah kejadian itu, hidup kami bertiga berubah drastis. Andi mulai mengalami gangguan tidur. Ia sering berteriak di malam hari, menyebut nama Lita, atau meminta agar ‘sosok tanpa kepala’ itu berhenti menatapnya.

Dimas memutuskan berhenti kuliah. Ia pindah ke daerah pedalaman Sumatera, tanpa pamit. Kabar terakhir, ia sering terlihat berbicara sendiri di tengah hutan. Dan aku?

Aku mencoba melanjutkan hidup. Tapi mimpi buruk itu terus datang. Tangisan dari balik dinding. Langkah kaki di tengah malam. Dan yang paling mengerikan… suara bisikan di telingaku, tepat saat aku hendak tidur: “Aku belum selesai.”

Suatu malam, aku mencoba menghubungi keluarga Lita, berusaha menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Tapi sebelum aku membuka mulut, ibunya berkata, “Kami tahu. Kami sudah mimpi tentang dia… dan pulau itu.”

Rasa bersalah mencekik dadaku. Aku merasa kami telah membangunkan sesuatu di pulau itu. Sesuatu yang seharusnya tetap tertidur.

Tiga bulan kemudian, seorang peneliti tua dari Belanda menghubungiku. Ia membaca laporanku di jurnal kampus dan ingin bertemu. Di sebuah kafe tua di Jakarta, ia menunjukkan peta dan dokumen tua yang mencengangkan.

“Pulau itu dulunya dikenal sebagai 'Pulau Dendam' oleh pelaut Belanda,” katanya. “Bukan hanya tempat karantina, tapi juga tempat eksperimen medis. Mereka menyiksa orang sakit dengan harapan menemukan 'obat keabadian'. Banyak yang mati mengenaskan.”

Aku terpaku. Semua mulai masuk akal. Energi negatif. Bayangan tanpa kepala. Tangisan yang tak berhenti. Semua berasal dari penderitaan yang tertanam di tanah itu.

“Kalau begitu… mereka yang muncul itu…?”

“Mereka yang belum pergi,” katanya sambil menatap mataku dalam. “Dan mereka akan terus menghantui siapa pun yang mengganggu mereka.”

Hari ini, aku menulis cerita ini sebagai bentuk peringatan. Banyak orang tertarik menjelajah Kepulauan Seribu karena keindahannya. Tapi ketahuilah, tidak semua pulau menyimpan keindahan. Beberapa menyimpan luka. Dan beberapa… menyimpan kutukan.

Jika kau melihat pulau kecil tanpa nama di ujung utara Kepulauan Seribu, dan mendengar suara tangisan… jangan dekati. Atau kau akan menjadi bagian dari mereka yang tak pernah kembali.

Catatan: Jangan pernah meremehkan cerita-cerita lama tentang pulau terkutuk di Kepulauan Seribu. Sebab mungkin, mereka tidak hanya legenda... tapi peringatan yang telah dilupakan.

Posting Komentar