Teror Hantu Pohon Beringin di Rumah Baru

Table of Contents
Teror Hantu Pohon Beringin di Rumah Baru - Cerpen Horor Mania

Perempuan Bergaun Putih di Tepi Beringin

Suara jangkrik bersahutan ketika Rina dan suaminya, Damar, pertama kali menginjakkan kaki di rumah baru mereka yang terletak di pinggiran Yogyakarta. Rumah itu tampak asri, dikelilingi pepohonan rindang, dan yang paling mencolok adalah pohon beringin tua yang menjulang tinggi di samping rumah.

"Sayang, kamu yakin kita harus tetap pertahankan pohon itu? Serem banget liatnya malam-malam," bisik Rina sambil menatap batang beringin yang tampak menghitam di bawah cahaya lampu taman.

Damar hanya tersenyum. "Itu pohon udah ada dari dulu. Kata pemilik lama, malah itu yang bikin rumah adem."

Malam pertama mereka berlalu dengan tenang, meski Rina sempat mendengar suara seperti ranting digesek dari arah jendela kamar. Ia mengira itu hanya suara angin malam. Tapi keesokan harinya, saat Rina menyapu teras, ia melihat bekas jejak kaki tanah merah yang basah, mengarah dari pohon beringin ke depan pintu rumah.

"Dar, kamu keluar rumah tadi malam?" tanya Rina saat sarapan.

"Enggak. Tidurku pulas banget kok," jawab Damar tanpa curiga.

Rina hanya diam, tapi firasatnya tidak enak. Ia merasa seperti sedang diawasi.

Beberapa hari kemudian, suasana rumah makin mencekam. Perabotan sering berpindah tempat, lampu menyala dan mati sendiri, dan suara tangisan lirih terdengar setiap lewat tengah malam. Rina yang lebih sering di rumah mulai merasa tertekan.

"Aku mimpi buruk terus, Dar. Mimpi ada perempuan bergaun putih berdiri di bawah pohon beringin, menatap aku dari jauh."

"Itu cuma mimpi, Rin. Kamu stres kali," jawab Damar berusaha menenangkan.

Namun malam itu, mimpi Rina semakin nyata. Ia terbangun karena mendengar suara langkah kaki di lantai kayu. Dengan jantung berdebar, ia membuka pintu kamar dan melihat ke arah ruang tamu. Sesosok perempuan berbaju putih dengan rambut panjang menutupi wajah berdiri di depan jendela, menatap ke luar—tepat ke arah pohon beringin.

Rina menjerit, dan saat Damar keluar kamar, sosok itu sudah menghilang. "Aku lihat dia! Perempuan itu, dia ada di dalam rumah!"

Damar masih mencoba berpikir rasional, tapi ketakutan di mata istrinya tak bisa ia abaikan. Keesokan harinya, mereka memanggil Pak Karto, tetua kampung yang tinggal di sebelah.

"Pohon itu, dulunya tempat gantung diri seorang wanita. Namanya Sri, gadis pembantu dari pemilik lama rumah ini. Katanya, dia diperkosa dan dituduh mencuri. Malam itu dia gantung diri di pohon beringin itu. Sejak itu, banyak yang bilang dia gentayangan," cerita Pak Karto sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.

Wajah Damar menegang. "Kenapa pemilik lama enggak bilang apa-apa?"

"Dia juga ngalamin hal yang sama. Makanya rumah ini kosong hampir dua tahun."

Rina langsung meminta agar pohon itu ditebang. Tapi malam sebelum rencana penebangan, Damar bermimpi aneh. Dalam mimpinya, seorang wanita bersimbah darah berbisik padanya, "Jangan ganggu tempatku, atau kau akan kehilangan dia..."

Ketika terbangun, Damar mendapati tempat tidur kosong. Rina tidak ada. Ia panik dan berlari keluar rumah. Lampu taman berkedip-kedip. Di bawah pohon beringin, terlihat sosok Rina sedang berdiri menghadap batang pohon sambil berbicara sendiri.

"Rina! Kamu ngapain di situ!"

Rina tidak menjawab. Ketika Damar mendekat, wajah istrinya pucat dan matanya kosong. Ia terus menggumam, "Dia tak bersalah... dia tak bersalah..."

Dengan susah payah, Damar membawa Rina masuk ke rumah. Setelah kejadian itu, Rina jatuh sakit. Tubuhnya lemah, dan sering meracau tentang "Sri" dan "ketidakadilan". Damar merasa ini lebih dari sekadar gangguan biasa.

Ia mendatangi seorang spiritualis bernama Mbok Ratmi yang dikenal bisa mengusir makhluk halus.

"Kamu tidak boleh menebang pohon itu sembarangan. Arwah Sri masih terikat di sana karena kematian yang tidak adil. Kamu harus bantu bebaskan dia," jelas Mbok Ratmi.

Ritual dilakukan malam Jumat Kliwon. Rina didudukkan di depan pohon beringin dengan lingkaran garam di sekelilingnya. Mbok Ratmi mulai membacakan doa dan mantra. Tiba-tiba angin bertiup kencang dan cahaya lampu padam. Suara perempuan menangis terdengar dari dahan pohon.

"Maafkan aku... aku hanya ingin didengar... mereka menyakitiku..."

Tubuh Rina kejang, matanya memutih. Dari mulutnya terdengar suara lain. "Aku Sri... aku ingin kebenaran... jangan biarkan mereka melupakan aku."

Mbok Ratmi kemudian memercikkan air kembang tujuh rupa ke arah Rina dan pohon. Tangisan itu perlahan reda, dan suasana menjadi hening. Rina pingsan, namun napasnya mulai stabil.

Esok harinya, Rina pulih seperti sedia kala. Ia tidak lagi mengalami gangguan. Pohon beringin tetap berdiri, namun kini di bawahnya diletakkan sesajen dan batu nisan kecil bertuliskan nama Sri.

"Kita enggak bisa selalu menghapus masa lalu, tapi kita bisa memberi kedamaian," ucap Rina lirih sambil menaburkan bunga di bawah pohon.

Namun ternyata, teror belum usai. Beberapa minggu setelah ritual, tetangga sebelah, Bu Darmi, datang tergopoh-gopoh ke rumah Rina sambil membawa koran lawas dari tahun 1989. Di halaman depan, terpampang berita: *“Gadis Pembantu Ditemukan Tewas Gantung Diri, Diduga Bunuh Diri Setelah Diperkosa.”*

“Ini dia, Sri. Tapi… lihat yang ini,” kata Bu Darmi sambil menunjuk bagian nama tersangka. “Pemilik rumah yang dulu… itu ayahnya Damar, ya?”

Rina terdiam, matanya membelalak. Ia segera memanggil suaminya. Damar membaca artikel itu dengan wajah pucat.

“Aku... aku enggak tahu apa-apa soal ini. Papa memang pernah punya rumah ini, tapi dia enggak pernah cerita,” gumam Damar.

Rina merasa tubuhnya gemetar. Tiba-tiba lampu di ruang tamu berkedip, dan dari arah jendela, terdengar suara ketukan. Pelan, namun terus-menerus.

Ketika Rina membuka tirai, di luar jendela terlihat bekas tangan berlumur tanah yang menempel di kaca. Rina berteriak.

“Dia belum tenang, Dar… Dia belum selesai.”

Semakin hari, gangguan menjadi lebih intens. Suara tangis berubah jadi jeritan. Televisi menyala sendiri dan menampilkan berita lama tentang kasus Sri. Bahkan, Rina mulai melihat sosok Sri berdiri di cermin, menatapnya seolah meminta sesuatu.

Akhirnya, Rina dan Damar memutuskan menggali tanah di bawah pohon beringin, tepat di mana Sri sering muncul. Dengan bantuan Pak Karto dan Mbok Ratmi, mereka menggali hingga sedalam dua meter. Di sana mereka menemukan tulang-belulang, bersama dengan sepotong gaun putih yang sudah lapuk dan liontin kecil berinisial “S”.

“Dia nggak bunuh diri… dia dibunuh dan dikubur di sini… lalu digantung untuk disamarkan,” ujar Mbok Ratmi dengan mata berkaca-kaca.

Setelah pemakaman ulang dilakukan secara layak di pemakaman umum, gangguan pun berhenti total. Suasana rumah menjadi lebih damai, dan Rina tak lagi dihantui mimpi buruk.

Namun suatu malam, Damar duduk di ruang kerja dan membuka laci meja lama milik ayahnya. Di sana, ia menemukan sebuah surat tua bertuliskan tangan: *“Maafkan aku, Sri. Aku tidak bisa menyelamatkanmu. Aku terlalu takut pada ayahku.”* Surat itu ditandatangani dengan nama “Raka”—paman Damar yang hilang sejak lama.

Damar terdiam. Segalanya mulai masuk akal. Keluarga mereka menyimpan rahasia kelam, dan Sri adalah korban dari kebungkaman itu.

Di malam sunyi, pohon beringin tetap berdiri tegak, namun kini tak lagi menyeramkan. Kadang-kadang, bunga melati jatuh satu per satu ke tanah, seolah ada yang menaburkannya dari dahan. Entah angin... atau mungkin, Sri yang kini akhirnya tenang.

Posting Komentar