Teror Rambut Gaib di Puncak Surodipo

Table of Contents
Rambut yang Berterbangan Kisah Horor - Cerpen Horor Mania

Rambut yang Berterbangan: Kisah Horor di Perbukitan Temanggung

Di sebuah desa kecil di lereng perbukitan Temanggung, terdapat cerita yang tak pernah benar-benar dilupakan oleh warga setempat. Kisah ini tentang sesosok perempuan dengan rambut panjang yang konon masih bergentayangan, mencari sesuatu yang belum selesai di dunia ini. Mereka menyebutnya: “Si Rambut yang Berterbangan”.

Sore itu, Dimas dan teman-temannya—Raka dan Lila—memutuskan untuk berkemah di bukit Surodipo, sebuah tempat yang terkenal indah, namun memiliki sejarah kelam. Banyak warga percaya bahwa bukit itu pernah menjadi lokasi pembantaian pada masa penjajahan, dan salah satu korbannya adalah seorang wanita muda yang meninggal secara tidak wajar.

“Kita harus sampai sebelum maghrib, ya,” ujar Lila sambil memanggul ranselnya. “Warga sini bilang, jangan di atas bukit saat senja.”

Raka tertawa kecil. “Ah, itu cuma mitos buat nakut-nakutin anak kecil. Biasa lah.”

Dimas yang sedari tadi diam, menatap langit yang mulai menguning. Ada kegelisahan yang mengendap di hatinya, entah kenapa. Bukit itu terasa... tidak biasa.

Setibanya di lokasi, mereka segera mendirikan tenda. Langit telah beranjak jingga. Angin mulai bertiup lebih kencang dari biasanya, membawa serta aroma tanah basah dan... wangi bunga melati yang menyengat.

“Kalian cium wangi ini gak?” tanya Dimas pelan.

Lila mengangguk, “Iya, kayak wangi bunga... tapi kuat banget.”

Raka mengibaskan tangannya. “Udah ah, jangan mulai parno. Ini di alam, wajar lah bau aneh-aneh.”

Malam tiba. Mereka duduk melingkar sambil memanggang jagung dan bercanda. Tapi tak lama, suasana berubah. Dari balik semak belukar, terdengar suara seperti ranting patah. Lalu, tiba-tiba angin bertiup kencang dan membuat tenda mereka bergoyang hebat.

“Woy, itu apaan?!” Lila berdiri, matanya menatap ke arah semak-semak gelap itu.

Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke sana, tapi tak terlihat apa pun. Namun, suara itu terus terdengar... disusul helai-helai rambut panjang yang tiba-tiba berterbangan di udara, melayang-layang tanpa kepala.

“Astaga... itu rambut?!” Raka mundur perlahan, wajahnya pucat pasi.

Salah satu helai rambut mendarat di bahu Lila. Ia berteriak histeris dan menepisnya.

“Kita harus turun! Sekarang juga!” seru Dimas.

Mereka berlari menuruni bukit, tapi langkah mereka terhambat oleh kabut yang tiba-tiba turun dan menyelimuti jalan setapak. Suara perempuan tertawa lirih mulai terdengar, entah dari mana datangnya.

“Kalian sudah menginjak wilayahku...” bisik sebuah suara di antara kabut.

Dimas menoleh, dan di balik kabut itu, samar terlihat sosok perempuan berbaju putih dengan rambut sangat panjang, terurai hingga menyentuh tanah. Tapi wajahnya... kosong, tanpa mata, tanpa hidung, tanpa mulut. Hanya kulit putih pucat yang membentang seperti kanvas kosong.

“Lariii!” teriak Raka.

Mereka terus berlari hingga tiba di kaki bukit. Nafas mereka tersengal, keringat dingin membasahi tubuh. Tapi... Lila tidak bersama mereka.

“Lila... Lila ke mana?!” Dimas berteriak panik.

Raka gemetar, “Dia... dia tadi di belakangku. Aku gak sadar dia hilang!”

Mereka berdua mencoba kembali naik, tapi jalan sudah tertutup kabut dan udara menjadi dingin membekukan.

Warga desa yang mendengar keributan itu segera membantu pencarian. Namun hingga fajar menjelang, Lila tidak ditemukan.

Baru keesokan siang, tubuh Lila ditemukan dalam keadaan duduk mematung di bawah pohon besar, rambutnya memutih seutuhnya, dan matanya menatap kosong ke depan. Ia tidak berbicara. Tidak merespons apa pun. Seperti kehilangan jiwanya.

Dimas tidak pernah lupa malam itu. Bahkan ketika ia kembali ke kota, aroma melati kadang muncul begitu saja di kamarnya. Kadang, saat ia membuka mata di tengah malam, ia melihat helai rambut panjang tergeletak di bantalnya.

Suatu malam, Lila yang dirawat di rumah sakit jiwa, akhirnya membuka suara—setelah dua minggu terdiam.

“Dia... dia tidak suka ada yang datang ke bukit itu...” bisiknya lirih.

“Dia siapa, Lila?” tanya perawat yang menemaninya.

“Perempuan yang rambutnya... terbang mencari tubuh. Dia... kehilangan tubuhnya sejak lama...”

Sejak saat itu, warga desa membuat larangan tegas: tidak ada yang boleh naik ke bukit Surodipo saat matahari mulai tenggelam. Bukit itu bukan sekadar alam, tapi tempat peristirahatan bagi arwah yang gelisah. Terutama satu sosok... yang rambutnya masih terus berterbangan mencari siapa pun yang berani menatapnya.

Beberapa orang yang melanggar, mengaku melihat rambut yang beterbangan seperti benang hitam panjang melayang di udara. Bahkan ada yang bilang, jika kamu menyentuhnya... kamu akan mendengar bisikan, dan dalam beberapa hari, kamu akan kehilangan jiwamu, seperti Lila.

“Aku pernah mendaki bukit itu tahun lalu,” ujar Pak Gunadi, salah satu warga senior. “Saat aku masih muda dan belum tahu ceritanya. Aku mendengar suara tangisan di balik angin. Sejak itu, rambutku mulai rontok tak terkendali. Aku tahu, dia meninggalkan ‘tanda’ padaku.”

Legenda tentang “Rambut yang Berterbangan” kini menjadi cerita yang dituturkan dari generasi ke generasi. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi sebagai peringatan bahwa tidak semua tempat bisa dijamah manusia sesuka hati.

Dimas, yang merasa bersalah atas kejadian itu, memutuskan untuk kembali ke desa dua bulan kemudian. Ia merasa harus menyelesaikan apa yang dimulai. “Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak mau Lila terus seperti itu,” katanya kepada Raka yang mencoba mencegahnya.

“Gila kamu, Dim. Kamu pikir dengan kembali ke sana, kamu bisa lawan hantu?”

“Aku gak mau melawan. Aku mau bicara... atau minta maaf, kalau perlu.”

Dengan berat hati, Dimas naik sendiri ke bukit itu saat siang bolong, membawa sesajen dari warga desa—berupa kembang tujuh rupa, air bunga, dan kain kafan kecil yang sudah dibacakan doa oleh dukun kampung.

Di tengah bukit, ia duduk diam, menabur bunga dan menunduk.

“Kalau kau mendengar, aku minta maaf... Kami tidak berniat mengganggu,” katanya pelan, hampir seperti berbisik.

Angin berhenti berembus. Sunyi. Tiba-tiba, satu helai rambut melayang turun dan mendarat di telapak tangannya. Dingin. Tapi tidak menyakitkan.

Lalu, suara samar terdengar... “Dia belum selesai... Lila harus kembali...”

Dimas gemetar. “Apa maksudmu?”

“Lila telah membuka jalan. Dia melihat wajahku... dan itu tak boleh. Tapi dia bisa kembali... jika kamu menggantinya.”

Udara tiba-tiba membeku. Kabut turun cepat, dan rambut-rambut mulai melayang mengitari Dimas. Suara jeritan terdengar dari berbagai arah. Lalu gelap.

Hari berikutnya, warga menemukan Dimas tertidur di bawah pohon besar yang sama, tempat Lila dulu ditemukan. Tapi Lila... kini sudah sadar. Ia bisa bicara. Ia menangis. Ia memanggil nama Dimas berkali-kali di rumah sakit, seolah tahu sesuatu telah terjadi.

Namun Dimas tidak pernah kembali normal. Ia tidak lagi mengenali siapa pun. Ia hanya bicara satu kalimat berulang-ulang.

“Rambutnya... rambutnya terlalu panjang... dia belum selesai...”

Dan setiap malam, helai-helai rambut selalu muncul di kamarnya. Melayang, bergulung, dan menyelimuti tubuhnya yang semakin kurus dari hari ke hari.

Sampai suatu malam, Dimas menghilang. Tidak ada jejak. Hanya sebuah bantal dengan helaian rambut hitam yang berkilau di atasnya, dan aroma melati yang tak pernah hilang dari rumah itu sejak saat itu.

Bukit Surodipo kini sepenuhnya tertutup untuk umum. Papan larangan besar didirikan, dengan tulisan merah menyala: “Dilarang Masuk Setelah Matahari Tenggelam.”

Namun, tetap saja... ada yang penasaran. Dan kisah “Rambut yang Berterbangan” belum benar-benar usai. Karena rambut itu masih mencari. Masih melayang. Masih berbisik di tengah kabut.

Posting Komentar