Adikku Dapat Melihat Kematiannya

Table of Contents
Adikku Dapat Melihat Kematiannya - Cerpen Horor Mania

Adikku Tahu Siapa yang Akan Mati

Namaku Rani, usiaku 21 tahun. Aku tinggal bersama ibuku dan adikku, Nisa, di sebuah rumah kecil di daerah Cibinong, Jawa Barat. Hidup kami sederhana, tenang, meski sejak ayah meninggal dalam kecelakaan lima tahun lalu, semuanya terasa hampa.

Nisa masih duduk di kelas 5 SD. Usianya 11 tahun, tapi pikirannya jauh lebih tua dari usianya. Ia suka melamun, menatap langit, atau bicara sendiri. Ibu pernah menyebutnya anak yang "penuh firasat", tapi aku tak menyangka firasat itu adalah kutukan.

Semuanya bermula saat Nisa pulang sekolah dengan wajah pucat dan berkata, “Kak… Pak Darto bakal mati.”

Pak Darto adalah tetangga depan rumah kami. Lelaki tua, ramah, dan suka berjaga malam di pos ronda. Aku tertawa saat itu. “Jangan ngomong gitu, Nisa. Itu menakutkan.”

“Tapi tadi pas aku lewat, mukanya gosong... kayak kebakar api,” katanya dengan suara gemetar.

Besoknya, pos ronda terbakar karena korsleting. Pak Darto ditemukan tewas di dalamnya. Aku terdiam. Mungkin kebetulan?

Tapi tidak berhenti di situ. Nisa mulai menyebut nama-nama lain—Bu Endang, mas Jaka, bahkan kepala sekolahnya. Semua meninggal beberapa hari setelah disebut. Wajah Nisa semakin pucat, matanya sayu, dan ia mulai menggambar sosok-sosok hitam dengan wajah tanpa mata.

“Aku nggak mau lihat mereka lagi, Kak…” katanya suatu malam sambil menggenggam tanganku.

“Lihat siapa?” tanyaku.

“Orang-orang yang bakal mati. Aku bisa lihat mereka… kayak ada kabut hitam yang nempel di punggungnya.”

Ketakutan mulai merayapi pikiranku. Aku mencoba mencari penjelasan logis, tapi semuanya terasa janggal. Sampai suatu malam, Nisa berkata dengan pelan, “Kak… aku lihat kamu juga.”

Aku mematung. “Maksudmu, kamu lihat kabut itu… di aku?”

Nisa mengangguk perlahan, dan malam itu aku tak bisa tidur. Pikiranku kacau. Mimpi buruk datang berulang kali. Aku melihat diriku berjalan di rel kereta, lalu ditabrak dengan keras. Tapi anehnya, aku tak merasakan sakit. Hanya gelap… dan sunyi.

Setiap hari, aku makin sering merasa dunia terasa jauh. Orang-orang seperti tak benar-benar memperhatikanku. Tetangga yang biasa menyapa kini hanya melintas tanpa menoleh. Bahkan ibu jarang bicara. Ia hanya duduk memandangi foto lama di ruang tamu—foto keluarga kami, yang entah kenapa terasa berbeda. Dalam foto itu, wajahku dan Nisa tampak buram.

Aku akhirnya membawa Nisa ke seorang ustazah yang dikenal bisa membantu anak-anak dengan kemampuan gaib. Saat melihat Nisa, ustazah itu hanya menunduk dalam-dalam.

“Anak ini tidak hanya bisa melihat kematian. Dia adalah penghubung,” katanya.

“Penghubung apa?” tanyaku panik.

“Penghubung antara dunia yang hidup… dan yang sudah mati.”

Sejak malam itu, semuanya makin tak masuk akal. Jam di rumah sering berhenti pada pukul 02.17. Setiap kali aku mencoba menyalakan TV, salurannya hanya menampilkan layar hitam. Dan di cermin, aku mulai melihat bayangan lain berdiri di belakangku.

Hingga akhirnya, malam yang mengubah segalanya datang. Nisa berdiri di depan cermin sambil bergumam, “Dia akan datang malam ini.”

“Siapa?” tanyaku cemas.

“Bayangan yang menjaga batas. Dia gak suka aku kasih tahu orang yang udah seharusnya pergi.”

Tiba-tiba, jendela terbuka, angin dingin masuk menerpa. Lilin yang menyala di meja makan padam seketika. Dan di sudut ruangan, aku melihat sosok tinggi gelap, berdiri diam dengan mata merah menyala.

Aku menarik Nisa menjauh, tapi dia hanya menatapku. “Kak, kamu harus tahu... kamu dan aku... kita udah mati.”

“Jangan bicara begitu!” bentakku, ketakutan.

“Inget waktu dua bulan lalu kita naik motor ke pasar? Kita ditabrak truk, Kak. Kita nggak pernah pulang. Kita meninggal di tempat.”

Memori itu menghantamku seperti gelombang. Sirene. Darah. Suara ibu menjerit. Kegelapan. Tubuhku menggigil. Aku menatap tanganku di cermin—dan baru kali ini aku sadar... bayanganku tidak jelas. Samar. Seperti kabut.

“Tapi... ibu...”

“Ibu belum bisa melepas kita. Kita masih ada di sini karena dia masih berharap kita pulang. Tapi waktunya udah habis, Kak. Kita harus pergi.”

Keesokan harinya, kami melihat ibu duduk di ruang tamu. Ia memeluk baju sekolah Nisa dan fotoku. Wajahnya basah oleh air mata. Ia berbisik, “Rani… Nisa… maafin Ibu. Kalian boleh pergi kalau memang harus pergi…”

Suara itu bagaikan mantra yang memecah batas antara dunia. Rumah perlahan menjadi terang. Kabut hitam di sekeliling kami menghilang. Dan pintu depan rumah terbuka sendiri, memunculkan cahaya yang hangat namun menyilaukan.

“Ayo Kak,” bisik Nisa sambil tersenyum. “Kita pulang.”

Sebelum melangkah, aku menatap ibu untuk terakhir kali. Ia tersenyum ke arah foto kami, seolah tahu… bahwa kami akhirnya tenang.

Dan kami pun berjalan menuju cahaya, meninggalkan dunia yang tak lagi milik kami.

Namun sebelum semuanya menghilang, aku mendengar suara Nisa berbisik di sampingku.

“Kematian bukan akhir, Kak. Kadang... itu hanya jalan pulang.”

Posting Komentar