Boneka Beranak di Lembang
Misteri Boneka Hamil di Vila Lembang
Namaku Dian. Tiga bulan lalu, aku dan suamiku, Reza, memutuskan untuk pindah ke Lembang, sebuah daerah sejuk di Bandung Barat. Kami menyewa sebuah vila tua di pinggir hutan pinus, berharap bisa memulai kehidupan baru yang tenang setelah aku keguguran.
“Udara di sini bagus buat penyembuhan kamu,” kata Reza sambil menggandeng tanganku. Aku hanya tersenyum, meski hatiku masih rapuh.
Hari-hari pertama di vila itu tenang. Namun, pada malam kelima, aku mendengar suara tawa kecil dari arah lemari tua di kamar tidur. Seperti suara anak kecil. Awalnya kupikir hanya imajinasi. Tapi suara itu terus muncul setiap malam pada jam yang sama: pukul 2 dini hari.
“Reza, kamu dengar suara anak kecil semalam?” tanyaku saat sarapan.
Ia menggeleng. “Nggak, mungkin kamu mimpi.”
Karena penasaran, malam berikutnya aku diam-diam merekam suara dari kamar menggunakan ponsel. Dan saat kuputar kembali pagi harinya, kudengar suara itu jelas: suara tawa kecil dan... isakan bayi.
Merasa terganggu, aku mulai memeriksa seluruh kamar. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah boneka tua di dalam lemari. Boneka itu seperti boneka bayi, mengenakan kain batik lusuh dan ada bercak merah seperti darah di bagian dadanya.
“Reza, kamu naro boneka ini di lemari?” tanyaku sambil menunjukkan benda itu.
“Hah? Nggak pernah lihat itu. Dari mana?”
Ketika aku mencoba membuang boneka itu ke tempat sampah luar, entah bagaimana, keesokan paginya boneka itu kembali ke atas tempat tidurku. Aku mulai merasa tidak aman. Ada sesuatu yang salah dengan tempat ini.
Malamnya, aku bermimpi. Dalam mimpi, seorang perempuan tua berbaju hitam menatapku tajam sambil menggendong boneka itu. Ia berkata, “Jangan ambil anakku. Dia sedang mengandung.”
“Apa maksudnya?” aku bertanya dalam mimpi.
“Dia akan beranak. Dan kamu... akan menjadi pengganti.”
Aku terbangun dengan napas tersengal. Perutku terasa sakit, seperti sedang kontraksi, padahal aku tidak sedang hamil. Reza mulai panik melihat kondisiku memburuk setiap malam. Ia mengusulkan untuk kembali ke Jakarta, tapi aku merasa tubuhku terikat sesuatu. Setiap kali hendak meninggalkan vila, tubuhku lemas dan pingsan di pintu gerbang.
Suatu pagi, Reza memanggil seorang warga setempat, Pak Rahmat, untuk memeriksa vila. Saat melihat boneka itu, wajahnya langsung pucat.
“Ini boneka Nyi Sekar...” bisiknya. “Konon katanya, dulu vila ini milik seorang dukun perempuan. Ia mengutuk boneka ini agar mengandung arwah anaknya yang mati dalam kandungan.”
Pak Rahmat menyarankan agar kami membakar boneka itu. Malam harinya, kami membuat api unggun di halaman belakang. Reza melemparkan boneka itu ke dalam api. Tapi yang terjadi justru di luar nalar.
Boneka itu mengeluarkan suara tangisan bayi. Tidak meleleh. Api justru meredup, seolah ditelan energi gelap. Tiba-tiba, boneka itu menggeliat dan perutnya... robek sendiri.
Keluar dari dalam perut boneka itu, muncul sesuatu yang membuat kami menjerit: sosok bayi kecil, berdarah, matanya terbuka, dan langsung menangis keras. Bayi itu hidup.
Reza jatuh terduduk. Aku berteriak tak terkendali. Bayi itu... merangkak pelan ke arahku. Pak Rahmat membaca doa-doa keras, tapi suara bayi itu semakin nyaring. Lalu, suara perempuan tua dalam mimpiku terdengar lagi—kali ini nyata.
“Kamu ibu barunya... Kamu harus menyusuinya...”
Sejak malam itu, aku tak bisa tidur. Bayi itu kini berada di dalam kamar kami. Kami sudah coba melaporkan ke kepolisian, tapi saat mereka datang, boneka itu hanya terlihat seperti biasa. Tidak ada bayi, tidak ada suara.
Saat polisi pergi, bayi itu kembali muncul. Kali ini di pelukanku. Aku tidak sadar kapan mulai menggendongnya, tapi tubuhku terasa lebih dingin, lebih lemah setiap hari.
Reza mulai mencurigai ada yang merasukiku. Ia merekam perilakuku dan menunjukkan padaku video pagi-pagi. Dalam video itu, aku sedang menyanyikan lagu nina bobo di tengah malam sambil menggoyang boneka itu—dengan mata kosong dan senyum yang bukan milikku.
“Kamu bukan kamu, Dian,” kata Reza ketakutan.
Ia membawa kembali Pak Rahmat dan seorang ustaz dari desa tetangga. Mereka melakukan ruqyah ringan, dan saat ayat-ayat suci dibacakan, boneka itu melompat sendiri dari meja. Udara jadi dingin seketika. Lampu padam.
Suara tawa perempuan tua menggema. “Kalian mau ambil anakku? Sekarang... kalian semua harus ikut denganku.”
Pak Rahmat menjerit. Tiba-tiba tubuhnya terbakar ringan seperti tersambar sesuatu. Reza pingsan. Ustaz terus membaca ayat-ayat Al-Qur'an sambil memercikkan air ruqyah ke boneka itu. Boneka itu akhirnya diam... lalu retak perlahan. Perutnya pecah untuk kedua kalinya dan mengeluarkan darah kental berbau anyir yang memenuhi ruangan.
Keesokan harinya, ustaz menyarankan kami segera pergi dari vila itu. Kami tidak membawa apa pun kecuali pakaian. Boneka itu dikubur dalam tanah dan disegel dengan bacaan khusus.
Namun, meski kami telah kembali ke Jakarta, aku tahu cerita ini belum selesai. Dua minggu lalu, aku kembali merasakan sakit di perut yang sama. Seperti ada yang bergerak dari dalam.
Dan pagi ini, saat membuka lemari di kamar kosku, aku melihatnya berdiri tegak. Boneka itu. Tidak rusak. Tidak terbakar. Dengan bercak darah baru di perutnya... dan suara tangisan kecil yang kembali terdengar.
Aku pergi ke psikiater. Mereka bilang ini trauma pasca-keguguran. Tapi bagaimana menjelaskan bercak darah yang muncul setiap pagi di tempat tidurku? Atau suara bayi menangis yang hanya aku dengar, tapi tetap terekam saat kugunakan perekam suara?
Reza mulai menjauh. Ia bilang aku berubah. Malam-malam, katanya, aku sering duduk di sudut kamar, memandangi boneka yang tidak ada.
“Kamu bilang dia butuh susu, kamu bahkan bicara padanya,” katanya takut.
Aku tidak bisa menjawab. Aku sendiri mulai kehilangan batas antara nyata dan tidak. Hingga suatu malam, aku benar-benar melihat bayi itu... keluar dari dalam tubuhku. Tapi tak ada darah, tak ada rasa sakit. Hanya seperti kabut hitam yang menggumpal lalu berubah wujud menjadi makhluk kecil dengan mata merah membara.
Ia tertawa. Lalu melompat ke boneka yang ada di kursi dan menghilang ke dalamnya.
Aku tidak tahu berapa lama aku terdiam. Tapi saat tersadar, aku sudah berada di rumah sakit jiwa.
“Suami Anda yang mengantar,” kata seorang perawat. “Dia bilang Anda mencoba menyusui bangku kayu selama tiga hari.”
Tapi aku tahu, ini bukan delusi. Karena semalam, saat sendirian di ruang isolasi, aku mendengar bisikan tepat di telingaku.
“Ibu… anak kita akan lahir lagi malam ini…”
Dan di pojok ruangan, boneka itu sudah duduk. Menggeliat. Hamil kembali.
Posting Komentar