Hantu Kereta Api di Stasiun Lawang
Jangan Jawab Peluit Tengah Malam: Kereta Api Stasiun Lawang
“Kamu yakin mau nunggu kereta terakhir di sini?” tanya Siska sambil melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 23.45.
“Udah terlanjur beli tiket, Sis. Lagian, ini cuma stasiun kecil, bukan tempat angker,” jawab Dimas santai sambil duduk di bangku panjang Stasiun Lawang yang sepi dan tua itu.
Malam itu, hanya mereka berdua yang menunggu kereta api Malabar menuju Bandung. Stasiun Lawang di Kabupaten Malang tampak sunyi, hanya ada satu petugas jaga yang duduk termenung di loket tiket, sementara lampu di peron berkedip lemah, menambah kesan angker.
“Aku tadi dengar cerita dari warga sekitar. Katanya, kalau kamu dengar suara peluit tanpa kereta lewat, jangan dijawab,” kata Siska dengan suara pelan.
Dimas mengangkat alisnya. “Kenapa? Ada hantunya?”
“Iya. Mereka bilang, itu arwah masinis kereta yang dulu anjlok di dekat terowongan. Keretanya meledak dan nggak pernah ditemukan bangkainya,” jawab Siska, menatap ke arah rel gelap di ujung peron.
Dimas tertawa kecil. “Ah, kamu percaya mitos. Mana ada kereta anjlok nggak ketemu bangkainya.”
Siska mengangkat bahu, tapi wajahnya tetap tegang. Angin malam berembus, membawa aroma besi dan tanah basah. Jam stasiun berdentang satu kali. Sudah tengah malam.
Beberapa menit berlalu. Suasana makin sunyi. Tiba-tiba, terdengar suara peluit nyaring dari arah barat rel. Siska langsung menegang.
“Itu dia!” bisiknya sambil menggenggam tangan Dimas.
“Mungkin itu kereta kita,” balas Dimas, berdiri dan melangkah ke tepi peron. Tapi tak ada lampu kereta. Tak ada suara roda. Hanya peluit… dan diam.
Petugas jaga di loket tiba-tiba menutup jendela pelayanannya. Ia mengunci pintu dan mematikan lampu dalam ruangan. Seolah tahu apa yang akan datang.
“Ini aneh. Keretanya harusnya datang jam 00.05, bukan sekarang,” gumam Dimas.
Suara peluit kembali terdengar. Kali ini lebih dekat. Siska memejamkan mata. “Jangan dibalas. Jangan ngomong apa-apa…”
Tapi Dimas, yang penasaran, berseru, “Pak Masinis! Kami di sini! Keretanya belum kelihatan!”
Seketika itu juga, suhu udara turun drastis. Lampu peron padam. Hanya bulan yang menyinari sebagian kecil rel. Dari kejauhan, muncul kereta tua dengan warna hijau kusam, penuh karat. Tidak ada suara mesin. Hanya suara logam gesek dan derit pelan.
Kereta itu berhenti tepat di depan mereka. Pintu terbuka perlahan, dan uap putih keluar dari dalam gerbong. Dimas melangkah maju.
“Dimas, jangan!” teriak Siska.
Namun Dimas seperti terhipnotis. Ia menaiki gerbong pertama. Di dalamnya, kursi-kursi reyot, beberapa penumpang duduk membungkuk dengan wajah tak terlihat. Mereka berpakaian seperti dari zaman kolonial. Dingin menusuk tulang.
Seorang kondektur berdiri di ujung lorong. Wajahnya hancur terbakar, dan satu matanya mengeluarkan darah hitam.
“Tiket…” bisiknya serak.
Dimas mundur, tersadar. Ia berbalik hendak keluar, namun pintu sudah tertutup. Kereta mulai bergerak perlahan. Dari luar, Siska menangis, mengejar kereta yang melaju menuju terowongan gelap yang tak ada dalam peta.
***
Keesokan paginya, warga menemukan Siska terduduk di tepi rel, sendirian. Ia tak henti-henti memanggil nama Dimas. Tubuhnya lemas, matanya merah dan tidak fokus.
Petugas stasiun berkata, tidak ada kereta lewat semalam. Jalur menuju barat ditutup untuk perbaikan rel sejak dua minggu lalu. Tidak mungkin ada kereta lewat.
Siska dibawa pulang oleh keluarganya. Tapi malam berikutnya, ia mendengar suara peluit lagi. Kali ini lebih dekat. Ia memejamkan mata, namun suara roda dan uap itu membuatnya bangkit. Dari jendela rumah, ia melihat kereta tua itu berhenti sebentar di depan rumahnya… lalu menghilang di balik kabut.
Siska mulai menuliskan semua kejadian itu dalam buku harian. Ia mencoba mencari penjelasan ilmiah, tapi yang ia temukan justru sejarah kelam Stasiun Lawang.
Pada tahun 1952, sebuah kereta api barang yang dimodifikasi membawa tahanan politik mengalami kecelakaan di jalur terowongan tua. Seluruh awak dan penumpangnya tewas terbakar. Karena jalurnya dianggap tidak aman, terowongan ditutup dan dilupakan. Tapi beberapa saksi di masa lalu mengatakan, kereta itu masih kadang muncul… untuk membawa penumpang baru.
***
Tiga hari setelah hilangnya Dimas, seseorang menemukan ponsel miliknya di semak-semak dekat jalur lama. Dalam ponsel itu, ada satu rekaman suara berdurasi 10 detik.
“Aku di dalam kereta… mereka semua diam. Aku nggak tahu ini kereta apa. Tapi pintunya terkunci dan… Tuhan, mereka semua lihat ke arahku!”
Rekaman itu berhenti tiba-tiba. Lalu terdengar suara peluit panjang… dan jeritan samar.
***
Siska merasa hidupnya tak lagi sama. Ia mencoba pergi ke dukun, ke psikolog, hingga ke paranormal. Semuanya hanya bilang satu hal: "Jiwa Dimas belum selesai. Masih tertahan di antara dunia."
Ia pun kembali ke Stasiun Lawang, sendirian, membawa barang-barang milik Dimas: jam tangan, buku catatan, dan ponsel. Ia duduk di bangku yang sama seperti malam itu, menunggu hingga lewat tengah malam.
Dan seperti sebelumnya, peluit itu terdengar lagi.
Kereta itu datang. Perlahan. Tanpa suara mesin, tanpa lampu. Tapi kini ia tidak takut. Ia berdiri di tepi peron, memegang barang-barang Dimas dengan erat.
Pintu gerbong terbuka. Di dalamnya, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya. Dimas, dengan wajah pucat dan mata kosong, berdiri mematung.
“Siska…” bisik suara lirih dari dalam.
Ia maju, menahan air mata. “Kamu bisa pulang… kalau aku ikut?”
Dimas tak menjawab. Tapi ia mengangguk lemah. Siska pun melangkah masuk.
Namun begitu ia melangkah, suara keras terdengar dari belakang. Seorang pria tua berjubah muncul di peron, memegang kitab tua dan cermin hitam. “JANGAN MASUK!” teriaknya.
Kereta bergetar hebat. Semua lampu stasiun menyala terang. Asap hitam keluar dari rel. Sosok Dimas berubah — wajahnya hancur, matanya kosong. Itu bukan lagi Dimas.
Siska menjerit, mundur cepat. Pria tua itu segera mengurung kereta dengan mantra dan menaburkan garam di sepanjang rel. Kereta itu menjerit—benar-benar menjerit, seperti makhluk hidup yang kesakitan. Lalu... menghilang perlahan.
Pria itu menghampiri Siska. “Namaku Mbah Wiryo. Aku penjaga jalur gaib ini. Kamu hampir dibawa selamanya.”
“Itu… bukan Dimas?” tanya Siska lemah.
Mbah Wiryo menggeleng. “Itu hanya topeng. Arwah yang tertinggal di dunia bisa digunakan oleh yang mati penasaran untuk menipu kita.”
Siska menangis. Tapi ia juga lega. Setidaknya, ia tak ikut masuk ke dunia yang tak bisa kembali itu.
Sejak malam itu, ia bertekad menulis buku. Buku yang akan memperingatkan semua orang tentang legenda stasiun, terowongan tua, dan kereta yang tak pernah berhenti di dunia manusia.
Judul bukunya sederhana, tapi mencekam: “Jangan Jawab Peluit Tengah Malam.”
Posting Komentar