Hantu Putri Duyung di Pantai Losari

Table of Contents
Hantu Putri Duyung di Pantai Losari - Cerpen Horor Mania

Jejak Hantu Bersisik Pantai Losari, Makasar

Namaku Arman, seorang fotografer alam yang suka mengabadikan keindahan laut dan pantai di Indonesia. Perjalanan terakhirku membawaku ke Makassar, tepatnya di Pantai Losari. Aku tertarik dengan keindahan lautnya saat senja dan kisah-kisah lokal yang katanya "tak hanya soal keindahan". Tapi aku bukan orang yang percaya hal mistis. Sampai malam itu...

Aku tiba di Makassar sore hari. Pantai Losari memang ramai, tapi di bagian barat yang agak sepi, ada batuan besar dan dermaga tua yang sudah tak dipakai. Di situlah aku memutuskan mengambil foto senja. Langit jingga, air laut tenang, dan suara debur ombak terasa damai.

“Permisi, mas fotografer?”

Seorang pria tua menghampiriku. Bajunya kusam, rambutnya abu-abu, dan matanya tajam penuh peringatan.

“Jangan sampai motret terlalu malam di sini. Kalau dengar suara nyanyian, jangan ditanggapi,” katanya pelan.

“Maksud Bapak?”

Ia hanya tersenyum tipis dan berjalan menjauh.

Aku mengabaikan peringatannya. Mungkin hanya cerita lokal untuk menakut-nakuti wisatawan. Aku kembali memotret, lalu duduk di pinggir batu besar, memandangi laut yang perlahan mulai gelap.

Lalu aku mendengar sesuatu.

*“La... la... la...”*

Suara perempuan menyanyi, lirih dan mendayu, seperti berasal dari bawah dermaga tua. Suaranya indah. Terlalu indah.

Rasa penasaran mengalahkan akal sehat. Aku menyalakan senter dan berjalan ke bawah dermaga. Air laut menggenangi kaki. Di sana, di antara tiang-tiang tua, aku melihat sesosok perempuan.

Rambut panjang, kulit pucat, dan matanya berkilau dalam gelap. Dia tidak berdiri... melainkan setengah badannya berada di air. Dan... bagian bawah tubuhnya... bersisik seperti ikan.

"Apa... kamu?"

Dia tersenyum. “Kau melihatku... kau tak akan bisa lari sekarang.”

Tiba-tiba, air laut di sekitarku menjadi dingin seperti es. Kaki terasa berat, sulit digerakkan. Aku mencoba mundur, tapi mataku seperti terkunci pada wajahnya.

"Kau tahu, Arman..."

"Kok kamu tahu namaku?"

Dia menyeringai. "Kau memanggilku lewat lensa kameramu. Kau membuka mata yang seharusnya tak melihat."

Aku berusaha memalingkan wajah. Akhirnya berhasil berlari kembali ke atas dermaga dan menjauh ke hotel. Nafasku terengah, jantung berdetak liar. Aku melihat hasil fotoku—semuanya kabur, dan di setiap foto ada bayangan perempuan berambut panjang di balik ombak.

Keesokan paginya, aku kembali ke pantai untuk memastikan semuanya hanya mimpi. Tapi saat kuajak penjaga hotel bercerita, wajahnya langsung berubah pucat.

"Kamu lihat dia ya? Putri Duyung Losari itu bukan legenda biasa. Dulu dia manusia, penyanyi istana yang dilempar ke laut karena dituduh menghancurkan keluarga bangsawan. Tapi dia tidak mati... dia berubah. Dan sekarang dia mengutuk siapa pun yang memandangnya dengan lensa. Dia benci dipotret."

"Kenapa?"

"Karena dia kehilangan wajah aslinya saat tenggelam. Yang kau lihat bukan wajahnya. Itu hanya pantulan dari ketakutanmu sendiri."

Malam itu aku ingin meninggalkan kota, tapi kameraku hilang. Aku kembali ke pantai, berharap hanya menjatuhkannya. Tapi di atas pasir, kulihat jejak kaki basah kecil memanjang ke arah laut.

Aku menatap laut, dan di kejauhan, dia berdiri di atas air. Tak tenggelam. Wajahnya kini rusak—separuh hancur, seperti terbakar air asin. Tapi senyumnya masih sama.

“Bawakan aku wajah... atau kau akan menjadi wajah berikutnya...”

Hari-hari berikutnya menjadi kabur. Aku bermimpi setiap malam. Mimpi ditarik ke dasar laut, mimpi wajah-wajah tanpa mata yang bernyanyi memanggilku. Setiap kali aku berkaca, aku merasa bayangan di dalam cermin bukan aku.

Aku pergi ke seorang dukun lokal bernama Dg. Naba. Ia melihatku lama sebelum bicara.

"Kau sudah terikat. Dia sudah menandaimu."

"Apa yang harus saya lakukan?"

"Kau harus memotret wajah penggantinya. Seseorang yang ingin dikenal. Seseorang yang haus perhatian... lalu tawarkan fotonya ke laut."

"Tapi... itu berarti saya mengorbankan orang lain."

"Atau kau sendiri yang akan ditarik." Kata-kata Dg. Naba dingin dan tajam.

Selama tiga hari aku bimbang. Aku berjalan di kota, mencari orang yang selalu haus perhatian. Lalu aku bertemu seorang influencer lokal yang sombong, bicara keras, live streaming di tengah jalan, menghina orang kecil. Aku minta izin memotretnya, dan dia dengan senang hati menerima.

Aku mencetak fotonya, menaruhnya dalam bingkai, dan malam itu kubawa ke dermaga tua. Kuletakkan di atas air, dan membaca mantra yang diberikan Dg. Naba.

Tak ada yang terjadi. Tapi saat aku kembali ke hotel, semua video dan foto si influencer di media sosial hilang. Bahkan akun pribadinya seperti tak pernah ada.

Keesokan harinya, berita lokal memberitakan seorang pria tenggelam di dekat dermaga tua Pantai Losari, meski laut sedang surut.

Dan aku? Kamera lamaku kembali muncul di atas ranjang. Bersih. Tak ada foto hantu. Tapi aku tahu... semua belum selesai.

Karena setiap malam Jumat, aku mendengar bisikan dari laut.

"Bawa lagi wajah... atau aku ambil wajahmu."

Aku mencoba meninggalkan Makassar. Kupikir semua akan berakhir jika aku pergi jauh. Tapi suara itu ikut. Bahkan di kamar hotel di Surabaya, aku dengar nyanyian lirih saat mandi. Bayangan perempuan berambut panjang muncul di air wastafel.

“Arman...”

Ketika kutatap bayanganku di cermin, wajahku mulai berubah. Ada sisik tipis di pipi. Mataku tampak memutih sesaat, lalu normal kembali. Aku panik. Segera aku hubungi Dg. Naba, tapi nomor ponselnya sudah tak aktif.

Putus asa, aku kembali ke Makassar. Kali ini bukan hanya takut... tapi menyerah. Aku duduk di dermaga saat malam, membawa kameraku. Kuputuskan untuk memotretnya sekali lagi. Kali ini... bukan untuk melarikan diri, tapi mencari tahu siapa dia sebenarnya.

Dia muncul dari air perlahan, rambutnya menjuntai. Tapi wajahnya tak rusak seperti sebelumnya. Dia... cantik. Seperti manusia. Air mata menetes dari matanya.

“Kenapa kamu terus munculkan wajah berbeda?” tanyaku.

“Karena aku tak punya wajahku sendiri lagi,” jawabnya pelan. “Aku hanya bisa memakai wajah orang yang dikorbankan. Aku tak bisa tenang. Aku butuh seseorang yang melihatku... sebagai aku.”

“Siapa kamu sebenarnya?”

Dia menatapku dalam. “Namaku Kara. Aku bukan hantu. Aku jiwa yang terjebak. Jika kau bisa temukan wajah asliku... aku akan berhenti.”

Esoknya aku mulai menelusuri sejarah. Aku datang ke perpustakaan kota, mewawancarai orang tua di sekitar Losari. Butuh waktu dua minggu, hingga kutemukan sketsa potret tua dari masa kolonial, seorang perempuan penyanyi bangsawan yang hilang secara misterius. Nama di bawahnya: Kara Rukmini.

Kuberanikan diri mencetak gambar itu, membingkainya, dan membawanya ke dermaga. Saat aku letakkan di atas laut, ombak tenang. Tak ada suara. Tak ada nyanyian.

Sampai malam itu. Dalam mimpi, aku melihat Kara. Dia tersenyum, wajahnya utuh, indah, dan berkata:

“Terima kasih, Arman. Kau melihatku... sebagai aku.”

Setelah malam itu, tidak pernah lagi kudengar nyanyian dari laut. Dermaga tua pun dirobohkan pemerintah karena rawan ambruk. Tapi aku tahu, cerita Kara tetap hidup. Dalam lensa kameraku... dalam ingatanku... dan dalam setiap hembusan angin pantai Losari saat matahari terbenam.

Posting Komentar