Jangan Pernah Percaya Dia
Jangan Percaya Siapa pun di Sana
Namaku Wira, mahasiswa tingkat akhir di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Semester ini aku mengikuti program KKN di sebuah desa terpencil bernama Girimulya, yang terletak di lereng pegunungan Menoreh. Desa itu tampak biasa saja di awal—udara sejuk, penduduk ramah, dan suasana yang tenang. Tapi semuanya berubah ketika kami bertemu dengan seorang perempuan bernama Lastri.
Lastri tinggal sendirian di rumah tua di ujung desa. Saat itu, aku dan temanku, Rani, sedang melakukan pendataan warga lansia. Rumah Lastri adalah rumah terakhir yang kami kunjungi hari itu.
"Permisi... Bu Lastri?" panggil Rani sambil mengetuk pintu kayu yang sudah lapuk.
Pintu itu terbuka perlahan, dan muncullah seorang perempuan tua dengan rambut panjang terurai dan senyum lebar yang agak kaku. "Masuklah, Nak. Sudah kutunggu sejak pagi," katanya dengan suara pelan namun jelas.
Ada yang aneh. Kami belum pernah memberi tahu kalau kami akan datang hari itu. Tapi karena Lastri tampak bersahabat, kami masuk dan mulai mengajukan beberapa pertanyaan.
"Bu Lastri tinggal sendirian?" tanyaku sambil mencatat.
"Iya. Suamiku sudah meninggal lama. Anak-anak juga tak pernah kembali ke sini," jawabnya sambil menatap langit-langit rumah.
Suasana mendadak hening. Entah kenapa, hawa di dalam rumah itu terasa dingin meski jendela tertutup rapat. Rani tampak gelisah dan terus melirik jam tangannya.
Setelah selesai, kami pamit dan keluar dari rumah itu. Tapi sebelum menutup pintu, Lastri berkata lirih, "Jangan percaya dia kalau malam datang."
"Maksudnya siapa, Bu?" tanya Rani bingung.
Lastri hanya menutup pintu tanpa menjawab.
Malam harinya, saat sedang menyiapkan materi penyuluhan, Rani tiba-tiba berkata, "Wi, tadi kamu juga ngerasa rumah Bu Lastri aneh banget, nggak sih?"
"Iya. Dingin banget. Dan waktu dia bilang 'jangan percaya dia'... itu maksudnya siapa?"
Belum sempat kami lanjutkan percakapan, listrik tiba-tiba mati. Suasana basecamp kami gelap gulita. Teman-teman yang lain sudah tidur, hanya aku dan Rani yang masih terjaga.
Dari jendela, aku melihat bayangan seseorang berdiri di luar. Rani juga melihatnya. "Itu... siapa?" bisiknya ketakutan.
Aku beranikan diri keluar. Tapi saat kulihat ke luar, tidak ada siapa-siapa. Yang aneh, tanah di depan jendela basah seperti habis diinjak seseorang. Dan di kaca jendela, ada bekas tangan seperti darah mengering.
Keesokan harinya, aku dan Rani kembali ke rumah Lastri. Tapi kali ini rumah itu tampak kosong dan lebih tua dari sebelumnya. Pintu dan jendela tertutup rapat, dan halaman dipenuhi ilalang tinggi.
"Apa kita salah rumah?" bisik Rani.
"Nggak mungkin. Ini pasti rumah yang sama. Tapi kenapa...?"
Seorang warga desa yang lewat tiba-tiba berhenti melihat kami berdiri di depan rumah itu. "Nak, kalian ngapain di situ?" tanyanya cemas.
"Kami ke sini kemarin, Bu. Mau pendataan lansia. Ini rumah Bu Lastri, kan?"
Perempuan itu tampak kaget. "Lastri? Aduh, Nak... Lastri udah meninggal sejak tiga tahun lalu. Rumah itu kosong. Nggak ada siapa-siapa."
Jantungku serasa berhenti berdetak. "Tapi kemarin kami ngobrol sama dia. Dia cerita tentang anak-anaknya, suaminya..."
Warga itu menggeleng cepat. "Kalian pasti kena tipunya. Banyak yang udah diperingatkan. Jangan pernah percaya kalau kalian ketemu sama perempuan tua itu di malam hari."
Rani mulai menangis. Aku memeluknya, mencoba menenangkan, meskipun aku sendiri sangat ketakutan.
Sepulang dari rumah itu, aku mulai mencari informasi lebih dalam. Kutemui kepala dusun dan bertanya tentang Lastri. Ia bercerita bahwa Lastri adalah dukun desa yang sangat disegani dulu. Tapi suatu hari, ia dituduh menyantet warga dan dibakar hidup-hidup oleh massa. Sejak itu, banyak kejadian aneh di rumahnya. Yang paling sering, sosok Lastri muncul saat KKN atau pengunjung luar datang.
"Dia suka memilih orang baru buat dijadikan 'teman'," kata kepala dusun. "Dan kalau sudah percaya... dia akan ikut."
Malam ketiga, Rani mulai bertingkah aneh. Ia sering duduk sendiri, berbicara seperti sedang bercakap dengan seseorang yang tak terlihat. Saat kutanya, ia menjawab, "Lastri bilang dia cuma kesepian. Aku temani saja."
"Rani, dengar... Dia sudah meninggal. Jangan percaya dia!" seruku panik.
Tapi Rani hanya tersenyum. Senyum yang aneh. "Kamu nggak ngerti, Wira. Dia baik. Dia cuma pengen kita di sini selamanya."
Keesokan paginya, Rani menghilang. Kami semua mencari ke mana-mana, hingga akhirnya tubuhnya ditemukan di sumur belakang rumah Lastri. Tubuhnya kaku dengan mata melotot ke atas. Di tangannya tergenggam bunga kenanga kering.
Polisi menyatakan kematian Rani karena bunuh diri. Tapi aku tahu itu bukan bunuh diri. Aku tahu Lastri yang melakukannya. Atau sesuatu yang menyerupai Lastri.
Setelah kejadian itu, aku memilih untuk mengundurkan diri dari KKN. Tapi gangguan tidak berhenti. Di kost-ku, lampu sering mati sendiri, dan suara bisikan perempuan tua terdengar setiap malam dari balik lemari.
Suatu malam, aku menemukan kertas kecil tergelincir di bawah pintu kamar. Isinya hanya satu kalimat: "Kamu sudah percaya padaku."
Aku langsung terbirit-birit keluar, menuju rumah teman, dan sejak itu pindah tempat tinggal. Tapi teror itu tak berhenti. Aku tak bisa tidur. Setiap kali menutup mata, wajah Rani dan sosok Lastri muncul, menyeringai dalam gelap.
Suatu sore, aku bertemu dengan seorang ustaz yang kebetulan sering menangani kasus gangguan gaib. Aku ceritakan semuanya padanya. Ia diam lama, lalu berkata, "Kamu sudah membuka celah. Saat kamu meragukan kenyataan, dan mulai percaya bahwa dia nyata, itulah saat dia masuk."
"Lalu, apa yang harus saya lakukan?" tanyaku putus asa.
"Jangan pernah kembali ke sana. Jangan pernah menyebut namanya lagi. Dan yang paling penting... jangan percaya kalau dia berkata ingin berteman."
Hari-hari berlalu. Aku berusaha melanjutkan hidup. Tapi malam selalu menjadi musuh. Aku mendengar langkah kaki di atap, suara pintu berderit, dan cermin kamar yang mengembun meski tak ada uap. Pada suatu malam, aku mendengar suara Rani, sangat dekat di telingaku.
"Kita janji bareng, kan? Kamu janji bakal nemenin aku selamanya."
Dan saat aku menoleh, cermin di kamarku memperlihatkan bayangan dua orang berdiri di belakangku—Rani, dan Lastri.
Aku berteriak sekuat tenaga, tapi tubuhku tak bisa bergerak. Hanya mata yang bisa memandang ke arah mereka berdua yang perlahan mendekat. Senyum mereka identik—senyum kosong, mematikan, dan tak berperasaan.
Saat pagi datang, aku terbangun di lantai kamar dengan leher terasa sakit seperti dicekik. Tapi tidak ada luka, tidak ada siapa-siapa. Hanya secarik foto lama yang tergeletak di meja. Foto itu menunjukkan aku, Rani, dan... Lastri berdiri di tengah kami.
Yang aku tak bisa terima adalah: aku tak pernah merasa memegang foto itu sebelumnya.
Jangan pernah percaya dia. Bahkan jika dia terlihat seperti temanmu sendiri. Karena begitu kamu percaya... kamu bukan lagi milikmu sendiri.
Posting Komentar