Jeritan Malam dari Sang Mantan

Table of Contents
Teror Hantu Mantan Kekasih yang Mengguncang Jiwa - Cerpen Horor Mania

Teror Arwah Mantan Kekasih yang Tak Mau Pergi

Namaku Rangga. Aku tidak percaya hal-hal gaib, sampai akhirnya aku sendiri mengalaminya. Ini bukan cerita cinta, ini adalah kisah teror—tentang arwah seorang wanita yang dulu pernah sangat kucintai, dan ternyata tak bisa menerima bahwa segalanya telah berakhir.

Namanya Citra. Kami menjalin hubungan selama hampir tiga tahun. Ia lembut, perhatian, tapi lama-kelamaan menjadi posesif dan mudah marah. Puncaknya, aku memutuskan hubungan kami setelah pertengkaran hebat karena dia terus mencurigai setiap perempuan yang aku kenal. Saat itu, aku hanya ingin bebas.

Seminggu setelah perpisahan kami, Citra ditemukan tewas di kamarnya, gantung diri. Keluarganya menyalahkanku diam-diam. Aku merasa bersalah, tapi aku pikir waktu akan menyembuhkan semuanya. Ternyata aku salah besar.

Dua bulan setelah kepergiannya, aku pindah ke sebuah rumah kontrakan di Sleman, Yogyakarta. Awalnya tenang, hingga suatu malam aku mulai merasakan keanehan. Televisi menyala sendiri. Cermin kamar mandi berembun padahal tidak sedang mandi. Dan di atas meja kerja, aku menemukan satu foto lama—aku dan Citra, tersenyum saat piknik di Parangtritis. Masalahnya, foto itu sudah lama kuhapus dari hidupku. Aku bahkan tak punya cetakannya.

Malam berikutnya, aku terbangun karena ada suara seseorang menyebut namaku.

"Rangga..."

Itu suara perempuan. Lembut tapi dingin. Saat aku menoleh, kulihat bayangan rambut panjang di sudut ruangan. Tapi saat aku nyalakan lampu, tak ada siapa pun.

Besoknya, aku tanya ke tetanggaku, Pak Seno, pria paruh baya yang tinggal di rumah seberang. Ia hanya mengernyit.

"Rumahmu itu... dulu pernah disewa seorang perempuan. Bunuh diri juga, katanya karena masalah cinta," ujarnya.

Entah itu kebetulan atau tidak, tapi malam-malam selanjutnya semakin berat. Lampu sering mati mendadak. Telepon genggamku berkali-kali menerima pesan kosong pukul 3 pagi. Dan puncaknya, suatu malam, aku terbangun karena suara tangisan perempuan dari kamar mandi.

Dengan ragu aku membuka pintu. Di dalamnya, cermin berembun menuliskan kata: "Kenapa kamu tinggalin aku?"

Tubuhku kaku. Suara langkah pelan terdengar di belakangku. Saat aku menoleh, dia berdiri di sana—Citra. Rambut panjangnya menjuntai basah, wajahnya pucat, dan mata hitamnya menatapku tajam.

"Aku belum selesai denganmu, Rangga..."

Aku menjerit dan pingsan. Saat sadar, sudah pagi. Tapi sejak malam itu, hidupku berubah drastis. Bayangan Citra sering muncul di kaca mobil, di jendela rumah, bahkan dalam mimpiku. Ia marah. Ia menangis. Ia tertawa dengan suara mengerikan.

Tak tahan, aku mencari bantuan ke seorang paranormal bernama Bu Sri, yang dikenal masyarakat setempat sebagai dukun pelindung.

"Arwah Citra terikat denganmu karena kematiannya tak ikhlas," jelas Bu Sri sambil memandangi api dupa. "Dia tidak merasa ditinggal, tapi dikhianati."

Bu Sri menyarankan ritual pemutusan batin. Tapi sebelum ritual dilakukan, Citra muncul dalam mimpi dengan wajah mengerikan dan berkata, “Kalau kamu buang aku, aku bawa kamu sekalian.”

Ritual akhirnya tetap dilakukan. Malam itu, rumahku dipenuhi aroma melati. Bu Sri membaca doa sambil menabur bunga dan kemenyan. Tiba-tiba, angin kencang menerjang dari dalam kamar. Pintu menutup sendiri. Lilin padam. Terdengar jeritan panjang, memilukan.

Dari balik bayangan, muncul sosok Citra yang melayang ke arahku. Wajahnya setengah hancur. Tapi matanya... matanya tetap seperti dulu. Dia menatapku penuh luka.

"Kenapa kamu berubah, Rangga? Kita bisa bahagia, kenapa kamu hancurkan semuanya?"

Aku tak bisa menjawab. Air mataku jatuh. Dalam hati, aku minta maaf. Tapi Citra terus menangis, tubuhnya mulai terbakar api gaib dari ritual Bu Sri. Dia berteriak, melayang ke arahku, lalu lenyap seperti asap.

Setelah ritual itu, suasana rumah mulai tenang. Tidak ada lagi suara-suara, tidak ada bayangan, tidak ada foto misterius. Tapi aku tahu... itu belum akhir.

Dua minggu kemudian, saat sedang menyetir malam-malam menuju Magelang untuk urusan kerja, aku mendengar suara pelan dari kursi belakang mobil.

"Kamu pikir aku sudah pergi?"

Melalui kaca spion, aku melihat sosok Citra duduk diam di kursi belakang. Aku hampir menabrak pembatas jalan karena panik. Tapi saat kutoleh ke belakang, tak ada siapa-siapa.

Aku berhenti di pinggir jalan dan menangis. Ketakutan, lelah, dan merasa dihukum atas dosa masa lalu. Apakah aku pantas hidup tenang setelah membuat orang yang kucintai mengakhiri hidupnya?

Hari-hari berikutnya aku hidup seperti dihantui bayangan. Bukan hanya Citra, tapi diriku sendiri. Trauma, rasa bersalah, dan suara-suara dari masa lalu menjadi bagian hidupku. Aku mencoba shalat, berdoa, zikir—dan itu cukup membantu. Tapi tetap saja, saat malam datang, bayangan itu kadang kembali. Menatapku diam-diam dari jendela.

Dan malam ini, saat aku menulis kisah ini di blog pribadi, aku mencium aroma parfum mawar yang dulu biasa dipakai Citra. Lalu... layar laptopku tiba-tiba berubah. Muncul tulisan:

"Kalau kamu sayang aku... kenapa kamu tinggalin?"

Aku menutup laptop dan beristighfar. Cinta yang salah arah bisa jadi kutukan. Dan aku masih harus menebusnya... entah sampai kapan.

Posting Komentar