Jiwa yang Terjebak di Alam Kubur
Arwah Sri: Terperangkap Antara Dunia Nyata dan Alam Kubur
Malam itu angin berdesir kencang, menyapu dedaunan kering di pekuburan tua di pinggiran desa Wonosari, Jawa Tengah. Rina, seorang mahasiswi jurusan antropologi, datang bersama dua temannya, Dani dan Putri, untuk menyelesaikan tugas penelitian tentang budaya pemakaman tradisional. Mereka tidak tahu, malam itu adalah malam ketika batas antara dunia manusia dan dunia arwah menjadi tipis.
"Rin, kamu yakin kita harus wawancara juru kunci kuburan ini malam-malam begini?" tanya Putri sambil memeluk jaketnya erat.
"Pak Darmin cuma bisa ditemui malam hari. Katanya, kalau siang dia jaga ladang," jawab Rina, tetap yakin walau langkah kakinya mulai ragu.
Mereka bertiga tiba di sebuah rumah kecil di tepi kuburan. Rumah itu tua dan tampak ditinggalkan. Pintu depannya terbuka sedikit, seperti mengundang mereka masuk.
"Ini rumahnya, ya?" bisik Dani sambil menyorotkan senter ke dalam. Tampak debu dan sarang laba-laba di mana-mana.
"Sepertinya iya. Tapi kok sepi ya? Padahal tadi di telepon dia bilang tunggu di dalam," kata Rina pelan.
Mereka masuk. Aroma kayu lapuk dan tanah basah memenuhi udara. Tiba-tiba terdengar suara batuk dari dalam.
"Masuk saja...," suara parau terdengar dari balik pintu belakang.
Mereka berjalan perlahan ke arah suara, dan menemukan seorang lelaki tua duduk bersila di lantai, menatap mereka dengan mata yang dalam dan gelap.
"Kalian datang mencari cerita... tapi cerita yang kalian cari bisa membawa kalian ke tempat yang tak ingin kalian datangi," katanya dengan senyum tipis.
"Kami hanya ingin tahu tentang ritual kematian di desa ini, Pak. Tentang kuburan yang katanya tidak bisa diganggu sembarangan," ujar Rina hati-hati.
Pak Darmin menunduk, lalu perlahan berkata, "Kalau begitu, dengarkan baik-baik..."
Dia mulai bercerita tentang seorang wanita bernama Sri, yang mati muda karena dibakar hidup-hidup oleh warga desa karena dituduh sebagai penyihir. Tapi jasad Sri tidak diterima bumi. Tanah selalu membuang jasadnya keluar dari liang kubur. Akhirnya, dibuatlah makam batu khusus di sisi timur pemakaman, terkunci dengan mantra dan paku besi, untuk mengurung rohnya.
"Tapi kenapa harus dikurung?" tanya Dani penasaran.
"Karena kalau tidak, jiwanya akan berkeliaran... dan mengambil siapa pun yang mendekat," jawab Pak Darmin datar.
Tiba-tiba lampu petromaks di sudut ruangan padam. Senter Dani bergetar dan mati. Suasana gelap gulita.
"Pak Darmin?!" seru Putri panik.
Tidak ada jawaban.
Ketika Rina menyalakan ulang senternya, ruangan itu kosong. Tidak ada Pak Darmin. Tidak ada jejak ke mana dia pergi. Mereka bertiga saling pandang, ketakutan.
"Ayo keluar dari sini!" jerit Putri.
Mereka berlari ke luar, tapi pintu rumah sudah tertutup rapat. Rina mencoba membukanya, namun gagal. Dani menendang jendela, dan mereka berhasil keluar melewati celah kecil itu.
Namun begitu keluar, mereka terkejut. Kuburan di luar berubah. Tidak seperti saat mereka datang. Batu nisan-nisan tampak jauh lebih tua, sebagian roboh, dan tidak ada jejak jalan setapak yang tadi mereka lalui.
"Ini bukan tempat yang sama," bisik Rina dengan suara gemetar.
Di kejauhan, tampak makam batu besar dengan rantai besi melilitnya. Dari dalam makam, terdengar suara tangisan lirih.
"Kita harus pergi," bisik Dani, menarik tangan Rina dan Putri.
Namun, suara itu berubah menjadi teriakan menyayat telinga. Kabut tebal mulai menyelimuti area itu. Dan dari balik kabut, muncul siluet wanita dengan rambut panjang dan gaun putih penuh darah.
"Sri...!" desis Rina tanpa sadar.
Wanita itu mendekat perlahan. Matanya kosong, mulutnya terus bergerak seolah berdoa. Tiba-tiba Putri jatuh ke tanah, tubuhnya kejang seperti disetrum.
"Dia masuk ke tubuhnya!" jerit Dani.
Putri berdiri dengan tubuh tegak, tapi wajahnya berubah. Senyuman lebar menghiasi wajahnya, dan matanya tidak menunjukkan kehidupan.
"Terima kasih... sudah datang ke tempatku," katanya dengan suara berbeda. Bukan suara Putri.
Rina dan Dani berlari tanpa arah, menabrak nisan demi nisan, tapi kabut tidak mengizinkan mereka keluar.
Hingga akhirnya Rina terjatuh ke sebuah lubang. Sebuah liang kubur terbuka. Dia menjerit, tubuhnya tertarik ke dalam oleh tangan-tangan dari dalam tanah. Dani berbalik, ingin menyelamatkan, tapi dia sendiri ditarik oleh Putri yang kerasukan.
Gelap. Hening.
Rina membuka mata. Dia berada di dalam ruangan sempit. Dinding tanah basah menekan tubuhnya. Udara pengap. Dia mencoba berteriak, tapi tidak ada suara.
Lalu dia sadar. Dia berada di dalam kubur. Tapi tidak mati.
Di sisi lain, Dani duduk di rumah Pak Darmin. Seorang pria tua menyuguhinya teh. Tapi pria itu bukan Pak Darmin. Pria itu adalah kepala desa.
"Kamu bilang kamu datang bersama dua temanmu? Rumah ini sudah kosong sejak 30 tahun lalu. Pak Darmin sudah meninggal lama... dan tidak pernah punya telepon," kata pria itu.
Dani pucat. Dia berlari ke kuburan, tapi tidak ada makam batu yang tadi dia lihat. Hanya tanah lapang dan satu papan kecil bertuliskan: "Sri - Tidak Pernah Tenang."
Beberapa hari kemudian, Dani ditemukan tidak sadarkan diri di sisi jalan desa. Tak ada yang tahu bagaimana dia bisa kembali. Namun sejak itu, Dani tidak pernah berbicara. Matanya kosong... dan setiap malam dia berbisik, "Rina... masih di dalam."
Namun cerita tak berhenti sampai di sana. Seorang ustaz muda dari kota, bernama Ustaz Farid, mendengar kabar dari warga tentang Dani. Ia pun memutuskan datang ke Wonosari dan mencari tahu lebih jauh.
Farid menyambangi rumah kepala desa. "Saya dengar ada yang terjebak di alam kubur. Saya tidak percaya begitu saja, tapi saya tahu tanda-tandanya... ini bukan gila. Ini gangguan."
Kepala desa mengangguk. "Kalau memang bisa membantu, silakan. Tapi sudah banyak yang coba... dan gagal."
Farid lalu menemui Dani. Saat ia membacakan ayat suci, Dani menjerit dan matanya memutih. Dari mulutnya, keluar suara perempuan.
"Dia di bawah... dia menggantikan tempatku. Aku... bebas."
Farid gemetar. Ia tahu roh Sri telah menukar tempatnya dengan Rina. Dia harus menyusulnya.
Malam itu, Farid datang sendiri ke pemakaman. Ia membawa segenggam tanah dari makam tua dan air doa. Ia duduk di tengah pemakaman dan mulai membaca ayat-ayat perlindungan. Angin berhembus. Kabut turun perlahan. Suara tangisan kembali terdengar.
Farid menoleh. Sosok wanita muncul lagi. Tapi kali ini bukan Sri. Ini Rina. Bajunya compang-camping, tubuhnya pucat. Tapi matanya menunjukkan harapan.
"Tolong... bawa aku pulang," bisiknya.
Namun saat Farid hendak menjulurkan tangan, bayangan hitam besar muncul dan menyerang. Sosok Sri, lebih menyeramkan dari sebelumnya, dengan tubuh setengah terbakar, melolong seperti anjing kesetanan.
Farid membaca doa lebih keras. Tanah bergetar. Rantai-rantai dari makam batu mencair dan menyatu ke tubuh Sri. Ia berteriak, terbakar cahaya putih, lalu lenyap.
Rina jatuh pingsan di pelukan Farid. Esok paginya, ia terbangun di masjid desa. Wajahnya masih pucat, tapi ia hidup.
Dani memeluknya sambil menangis. "Kamu kembali... kamu benar-benar kembali."
Rina hanya berkata pelan, "Tapi aku masih bisa dengar suara-suara dari dalam tanah... dia belum benar-benar pergi."
Sejak saat itu, pemakaman tua di Wonosari ditutup dan dijaga. Tapi sesekali, orang-orang yang lewat malam hari masih mendengar tangisan lirih, dan bau daging terbakar di udara.
Dan di tengah malam... kalau kau cukup berani berdiri di depan makam Sri, kau mungkin akan mendengar bisikan... "Gantian... sekarang giliranmu."
Posting Komentar