Keluarga Pocong di Penginapan
Kisah Horor: Keluarga Pocong di Penginapan Tua di Garut
Namaku Livia, seorang guru SD di Bandung yang sedang melakukan perjalanan singkat ke Garut untuk mencari ketenangan. Di tengah musim liburan sekolah, aku ingin menghindari hiruk pikuk kota dan memilih menginap di sebuah penginapan tua yang tersembunyi di balik perbukitan Garut selatan. Penginapan itu sederhana, tapi pemandangannya menghadap hutan pinus dan terasa sejuk. Pemiliknya, seorang wanita tua bernama Bu Rini, menyambutku dengan ramah meski sorot matanya terasa aneh.
"Hati-hati kalau malam, ya, Neng. Jangan buka pintu kamar kalau ada yang ketuk," ucapnya pelan saat mengantarku ke kamar nomor 3 di ujung lorong kayu yang berderit setiap kali diinjak.
Aku hanya tersenyum sopan. "Kenapa, Bu? Sering ada tamu iseng?"
Bu Rini hanya menunduk, lalu menjawab lirih, "Yang ketuk biasanya bukan tamu."
Meski terasa ganjil, aku mencoba mengabaikannya. Aku pikir itu hanya cara orang tua untuk menakut-nakuti agar tamu tidak keluyuran malam-malam. Namun, malam pertama terasa sangat berbeda dari yang kubayangkan.
Jam menunjukkan pukul 00.34 saat aku terbangun oleh suara ketukan lembut di pintu.
Tok... tok... tok...
Aku terdiam. Ingat peringatan Bu Rini. Tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Perlahan aku bangkit, mendekat ke pintu, dan bertanya, "Siapa?"
Tak ada jawaban. Hening. Hanya suara dedaunan dari luar yang bergesekan tertiup angin malam. Kupikir itu hanya ranting atau binatang, lalu kembali ke tempat tidur.
Tapi suara itu terdengar lagi. Kali ini ketukannya lebih keras dan teratur.
TOK! TOK! TOK!
Jantungku mulai berdebar. Aku mengambil senter kecil dari tas dan mencoba mengintip melalui lubang pintu. Tapi di luar tak terlihat siapa-siapa. Anehnya, suhu di kamarku tiba-tiba menurun drastis. Seperti ada sesuatu yang masuk meski pintu tak terbuka.
Keesokan paginya aku memberanikan diri bertanya pada Bu Rini. "Semalam ada yang ketuk pintu saya. Dua kali."
Wajahnya berubah pucat. "Neng benar-benar dengar?"
Aku mengangguk. "Tapi tak ada siapa-siapa di luar."
"Sudah lama kamar itu tidak dipakai," katanya dengan suara gemetar. "Sebelumnya, ada keluarga yang menginap. Suami, istri, dan anak laki-laki kecil. Tapi mereka meninggal dalam kecelakaan saat hendak kembali ke kota. Tapi tubuh mereka... tidak pernah ditemukan."
Rasa dingin menjalar di punggungku. "Mereka menginap di kamar saya?"
Bu Rini hanya mengangguk pelan. "Sejak saat itu, kadang mereka kembali. Mungkin mereka belum sadar bahwa mereka sudah mati."
Hari itu aku sempat berpikir untuk pulang. Tapi entah kenapa aku seperti ditahan sesuatu. Malamnya, aku berusaha tidur cepat. Tapi sekitar pukul 01.00 dini hari, terdengar suara anak kecil tertawa dari luar jendela. Aku membuka gorden, dan saat itulah kulihat...
Seorang anak kecil berdiri di bawah lampu taman yang remang. Tubuhnya terbungkus kain putih yang kusam, dan wajahnya pucat dengan mata kosong menatap lurus ke arahku. Di belakangnya, dua sosok tinggi berdiri diam. Mereka juga memakai kain kafan yang sama. Salah satunya—aku yakin—adalah wanita. Wajahnya nyaris tertutup, tapi bagian matanya menangis darah.
"Mama..." bisik suara kecil dari luar. "Itu mama, kan?"
“BUKAN AKU!” teriakku panik sambil mundur, menjatuhkan vas bunga di meja. Jendela terbanting tertutup sendiri. Saat itulah seluruh kamar tiba-tiba berbau anyir seperti darah dan tanah basah.
Tidak berani keluar, aku menahan napas di bawah selimut, berharap pagi segera datang. Namun, yang terdengar malah suara ketukan bertubi-tubi dari pintu, jendela, bahkan lantai.
TOK! TOK! TOK!
GEDEBAG! GEDEBAG!
Suara seperti tubuh yang melompat-lompat. Khas suara pocong. Aku ingin pingsan, tapi rasa takut membuat tubuhku tetap terjaga. Suara mereka terdengar di balik pintu.
"Kami hanya ingin pulang..."
"Kami ingin bersamamu, Bu..."
"Jangan tinggalkan kami lagi..."
“Saya bukan siapa-siapa kalian!” teriakku. Tapi suara mereka hanya tertawa... lama, dalam, dan penuh dendam.
Keesokan harinya, aku kabur dari penginapan itu tanpa sempat pamit pada Bu Rini. Tapi satu hal yang membuatku benar-benar menggigil adalah saat kulihat spion mobilku. Di kursi belakang, sesosok wanita berwajah pucat duduk menatapku. Di pangkuannya, seorang anak kecil sedang tertawa sambil memegang sesuatu.
Boneka kelinci putih. Boneka yang semalam tidak pernah kulihat sebelumnya.
Aku hampir menabrak pembatas jalan karena panik. Saat menoleh ke belakang, tak ada siapa-siapa. Hanya bau busuk yang menggantung di udara, dan boneka kelinci yang entah bagaimana bisa ada di jok belakang.
Semenjak kejadian itu, aku sering mendengar ketukan pintu setiap pukul 01.00 malam, meski aku sudah kembali ke rumah. Tak ada siapa pun di luar saat aku buka. Tapi setiap pagi, boneka kelinci itu selalu berpindah tempat. Kadang di meja makan. Kadang di kamar mandi.
Dan semalam, untuk pertama kalinya, aku melihat sosok mereka berdiri di sudut kamar. Lengkap. Suami, istri, dan anak kecil itu. Keluarga pocong yang tak pernah menemukan jalan pulang.
Setiap malam, mereka makin dekat. Awalnya hanya muncul di cermin. Lalu di lorong rumah. Kini mereka duduk di ruang tamu. Bahkan aku tak lagi bisa tidur karena suara-suara mereka mulai berbicara lebih jelas. Suara perempuan itu terdengar lirih: “Rumahmu hangat... kami ingin di sini...”
Aku mulai mencari informasi soal keluarga yang disebut Bu Rini. Melalui internet, aku menemukan berita lama: Sebuah keluarga kecil meninggal dalam kecelakaan bus pariwisata di daerah Cisurupan, Garut. Bus mereka terperosok ke jurang, tapi hanya ditemukan potongan-potongan barang dan darah—tanpa jasad.
Yang membuatku merinding, dalam artikel itu, disebutkan nama anaknya: Fikri. Nama yang sama seperti suara kecil yang terdengar memanggilku malam itu.
Suatu malam, aku mencoba berkomunikasi. Aku meletakkan boneka kelinci di tengah ruang tamu, menyalakan dupa dan membaca doa. Tapi malam itu justru semakin buruk.
Semuanya mulai bergetar. Boneka itu berputar sendiri, dan terdengar suara tangisan wanita. “Kenapa kau tinggalkan kami di sana?”
"Aku bukan kalian!" jeritku sekuat tenaga.
Tiba-tiba, seluruh rumah mati lampu. Dalam gelap, hanya satu cahaya terlihat... dari mata boneka kelinci yang menyala merah menyala. Lalu kulihat sosok anak kecil melompat-lompat mendekatiku, diikuti dua pocong dewasa di belakangnya.
Mereka tidak ingin aku pergi. Mereka menganggapku keluarga mereka yang hilang. Istri yang tak pernah ditemukan. Ibu yang tidak ikut dalam perjalanan maut itu. Mereka... mengira aku adalah bagian dari mereka yang tertinggal di dunia ini.
Dan sekarang... aku bahkan tidak tahu siapa aku sebenarnya.
Karena di cermin... bayanganku tak lagi manusia.
Posting Komentar