Malam Saat Aku Hilang di Jalan Gaib
Taksi yang Membawaku ke Alam Lain: Perjalanan Mencekam
Malam itu, Jakarta diguyur hujan deras. Aku baru saja keluar dari kantor setelah lembur hingga pukul satu dini hari. Transportasi online sulit didapat karena cuaca, dan angkutan umum sudah tidak beroperasi. Saat itulah, sebuah taksi tua berwarna biru kehijauan berhenti di depanku.
“Taksi, Mas?” suara sopirnya berat, namun ramah.
Tanpa pikir panjang, aku masuk ke dalam. Kursinya empuk, tapi aroma kabin terasa pengap dan agak berdebu. Papan nama sopir hanya bertuliskan huruf-huruf usang yang tak bisa terbaca jelas.
“Ke daerah Rawamangun, Pak,” ujarku sambil menutup pintu.
Sopir hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Taksi melaju pelan di tengah genangan air. Anehnya, jalanan terasa terlalu sepi untuk ukuran Jakarta, bahkan di tengah malam sekalipun.
“Sepi banget ya, Pak,” ucapku membuka percakapan.
Ia menjawab dengan nada datar, “Mereka semua sudah pulang ke dunia mereka...”
Perkataannya membuat bulu kudukku meremang. Aku mengira ia hanya bercanda, jadi aku tertawa kecil. Tapi wajahnya di kaca spion tetap serius, bahkan dingin.
Sepanjang perjalanan, aku menyadari satu hal: kami melewati jalan yang tidak kukenal sama sekali. Jalanan gelap, tanpa lampu, dan kabut perlahan mulai turun, menyelimuti kaca depan.
“Pak, ini bukan jalan ke Rawamangun...” kataku mulai panik.
“Ini jalan yang harus kamu lewati malam ini...”
Aku mencoba membuka pintu. Terkunci. Tombolnya tidak bisa digerakkan. Bahkan jendela pun tak bisa diturunkan. Ponselku tiba-tiba mati meski tadi masih 80% baterainya. Aku benar-benar terperangkap.
“Pak, berhenti! Saya mau turun!” teriakku.
Sopir tidak menjawab. Ia terus menyetir dengan ekspresi kosong. Di luar jendela, pemandangan berubah menjadi hamparan hutan gelap dengan pepohonan menjulang. Tidak ada gedung, tidak ada rumah, tidak ada tanda-tanda kota.
Tiba-tiba, taksi berhenti di sebuah gerbang besar berwarna hitam. Gerbang itu terbuat dari batu, dan di atasnya terdapat ukiran kuno yang tidak kumengerti. Ada suara gemuruh, seperti ribuan bisikan dari dalam hutan.
“Turunlah. Tempatmu sudah sampai,” kata sopir itu sambil menoleh penuh.
Wajahnya... bukan wajah manusia. Matanya hitam polos, tak memiliki bola mata. Kulitnya pucat seperti mayat. Aku membeku, tak mampu bergerak.
Pintu taksi terbuka sendiri, dan entah mengapa tubuhku melangkah keluar tanpa bisa kuhentikan. Udara dingin menyambutku, disertai kabut yang menyelimuti kakiku. Di balik gerbang itu, kulihat sosok-sosok tinggi kurus berjalan perlahan ke arahku.
“Kalian bisa mengambilnya. Dia belum sadar, tapi jiwanya sudah setengah berada di sini,” ucap sopir itu pada makhluk-makhluk itu.
Dengan panik aku mencoba melawan. “Saya tidak seharusnya di sini! Saya manusia, saya masih hidup!”
Namun salah satu dari makhluk itu mendekat dan menyentuh dahiku. Seketika itu, mataku seperti melihat ribuan wajah—semuanya berteriak, menangis, dan terjebak di tempat yang sama. Mereka semua pernah menjadi penumpang... dari taksi ini.
“Tolong... jangan jadikan aku seperti mereka!” jeritku.
Entah dari mana, terdengar suara azan. Samar, tapi nyaring. Para makhluk itu tampak gelisah. Mereka perlahan memudar, begitu pula gerbang batu di depanku. Kabut menghilang, dan dunia seolah berputar cepat ke belakang.
Ketika aku membuka mata, aku sudah berada di halte depan kantor. Jaketku basah kuyup, dan tak ada tanda-tanda taksi tadi. Orang-orang mulai muncul di jalan, tanda subuh telah menjelang.
Kupegang ponselku, dan jam menunjukkan pukul 04.45. Empat jam telah berlalu, padahal rasanya baru satu jam aku masuk ke dalam taksi itu.
Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi naik taksi sembarangan. Aku mencari informasi tentang taksi biru kehijauan itu, dan dari berbagai forum horor, ternyata aku bukan satu-satunya yang pernah mengalaminya.
Ada seorang mahasiswa UI yang mengaku pernah “dibawa” oleh taksi yang sama ke jalan yang tidak tercatat di peta. Ia tidak pernah ditemukan hingga kini. Kisahnya hanya tersisa dari status terakhirnya yang berbunyi: “Taksi ini aneh. Supirnya tidak bicara...”
Setelah peristiwa itu, aku tidak bisa tidur tenang. Beberapa malam kemudian, aku mendengar suara klakson taksi di depan rumah kontrakanku. Saat kulihat dari jendela, tak ada siapa pun—hanya jalanan kosong basah oleh gerimis.
Tapi... jejak ban terlihat jelas di aspal. Dua garis yang berhenti tepat di depan rumah.
Teman kerjaku, Rino, tertawa ketika kuceritakan kisah ini. “Ah lo kecapekan aja. Mungkin mimpi atau halusinasi. Jangan mikir yang aneh-aneh.”
Aku hanya mengangguk, tapi malam berikutnya, Rino mengirimiku pesan suara saat lembur: “Bro, lo nggak akan percaya... gue naik taksi biru tua, dan sopirnya diem aja. Lo yakin cerita lo bukan beneran?”
Pesan itu tiba pukul 01.12 dini hari. Tapi keesokan harinya, Rino tidak masuk kerja. Ia tak bisa dihubungi. Keluarganya bilang ia tidak pernah sampai di rumah. Dan lebih anehnya lagi, ponselnya ditemukan di depan pagar rumahku... dengan layar terkunci dan wallpaper berganti menjadi gambar gerbang hitam seperti dalam mimpiku dulu.
Sejak itu aku yakin—taksi itu bukan taksi biasa. Ia muncul pada orang-orang tertentu, pada waktu yang sangat spesifik: tengah malam, saat hujan turun, dan saat seseorang sedang berada dalam kondisi paling lemah atau lelah.
Beberapa orang menyebutnya “Taksi Arwah”. Katanya, dulunya itu adalah taksi sungguhan yang mengalami kecelakaan tragis dan terbakar bersama penumpangnya. Tak ada yang selamat. Dan sejak saat itu, taksi itu 'kembali'—menjemput mereka yang secara spiritual sudah terpisah dari dunia nyata.
Apakah aku akan dijemput lagi? Entahlah. Tapi kadang, di jam-jam sepi, aku masih mendengar suara mesin tua dari kejauhan. Dan ada malam-malam ketika aku bangun mendadak... dengan bau kabin pengap yang kembali menguar di kamarku.
Aku tak tahu sampai kapan bisa menghindarinya. Tapi aku tahu satu hal: jika suatu malam kamu melihat taksi tua berhenti sendiri di depanmu... jangan pernah masuk, seberapapun kamu butuh tumpangan.
Sebab mungkin, itu bukan perjalanan pulang. Tapi perjalanan ke tempat... yang tak bisa kamu kembali darinya.
Posting Komentar