Mantanku Meneror Malam Pertamaku

Table of Contents
Teror Malam Pertama dari Mantan Wanitaku - Cerpen Horor Mania

Teror Malam Pertama dari Mantan Wanitaku

Namaku Dimas. Usia 29 tahun. Seminggu lalu aku menikahi wanita yang sangat kucintai—Rani. Kami bertemu saat kuliah, dan setelah bertahun-tahun hubungan naik turun, akhirnya kami memutuskan untuk mengikat janji suci. Tapi malam pertama kami bukanlah malam penuh cinta dan kebahagiaan seperti yang kubayangkan. Itu menjadi malam tergelap dalam hidupku—malam yang menyeret masa laluku kembali… bersama arwah mantan kekasihku.

Pernikahan kami digelar sederhana di rumah orang tua Rani, di daerah Wonosobo. Karena tradisi, kami menginap di rumah itu selama tiga hari setelah pesta. Kamar di lantai atas khusus disiapkan untuk kami. Dihias cantik, ranjang besar dengan tirai tipis berwarna putih. Tapi sejak pertama masuk ke kamar itu, bulu kudukku berdiri.

"Sayang, kamar ini berasa... dingin ya?" bisikku ke Rani.

Ia tersenyum kecil. "Mungkin karena udara pegunungan."

Malam tiba. Setelah semua keluarga turun ke lantai bawah, kami berdua pun akhirnya tinggal berdua. Rani masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi foto pernikahan kami yang sudah dicetak dan ditaruh di meja kecil. Tapi mataku tiba-tiba tertumbuk pada bingkai kayu itu… di refleksi kacanya… ada sosok perempuan berambut panjang berdiri di belakangku.

Refleks aku menoleh. Kosong. Tak ada siapa-siapa. Tapi aroma bunga melati tiba-tiba memenuhi ruangan.

"Sayang, kamu pakai minyak wangi ya?" tanyaku ketika Rani keluar dari kamar mandi.

Ia mengernyit. "Enggak. Aku cuma pakai sabun biasa."

Malam pertama kami berjalan kaku. Entah kenapa aku merasa seperti diawasi. Rani tampak tidak nyaman juga. Matanya sering menatap ke pojok ruangan yang gelap, meski lampu menyala. Kami akhirnya hanya berbaring saling membelakangi, berusaha tidur.

Jam dua dini hari, aku terbangun. Udara semakin dingin. Tapi lebih dari itu—aku mendengar isakan pelan. Tangisan perempuan. Suaranya datang dari dekat pintu kamar.

"Rani?" bisikku. Tapi Rani masih di sampingku, tertidur.

Perlahan aku bangkit dan melangkah ke arah pintu. Tangisan itu masih terdengar. Ketika kubuka pintu… tidak ada siapa-siapa. Tapi lantai kayu lorong tampak basah seperti dilintasi kaki yang baru selesai mandi. Aku menoleh ke arah tangga—dan saat itulah aku melihatnya.

Seorang wanita berbaju putih, rambutnya panjang menutupi wajah, berdiri membelakangiku. Bahunya berguncang. Ia menangis.

"Mbak…?" sapaku dengan suara gemetar.

Ia tak menjawab. Perlahan ia memutar tubuhnya. Dan ketika wajahnya terlihat… aku terpaku.

Itu Winda. Mantan kekasihku. Winda yang dua tahun lalu meninggal karena bunuh diri setelah aku memutuskan hubungan secara tiba-tiba.

"Kamu bahagia sekarang, Mas?" suaranya lirih, nyaris tak terdengar.

Jantungku serasa berhenti berdetak. "Wi… Winda? Itu kamu?"

"Aku nunggu kamu. Tapi kamu nikah sama orang lain. Kamu ingkar janji..."

Aku mundur selangkah. Tapi ia mendekat. Matanya hitam legam, air mata darah mengalir dari sudut-sudutnya.

"Kamu pernah janji... malam pertama kita, cuma buat aku. Kamu lupa, Mas?"

“Ini... ini mimpi...” gumamku.

Winda tersenyum, lalu menghilang seketika. Aku jatuh terduduk, gemetar hebat. Tiba-tiba, dari dalam kamar, terdengar Rani menjerit.

Aku berlari kembali ke kamar. Rani duduk di ranjang, wajahnya pucat.

"Kamu... kamu narik rambut aku barusan?!" katanya dengan napas terengah.

"Enggak! Aku... aku di luar tadi."

Rani menunjukkan segumpal rambut hitam yang baru saja terlepas dari kepalanya. Rambut itu bukan miliknya. Terlalu panjang dan... berbau anyir.

Kami tak bisa tidur malam itu. Lampu kamar kami nyalakan terus. Tapi suara-suara aneh tetap terdengar. Suara cekikikan dari balik tirai. Ketukan di cermin. Bayangan berjalan di bawah ranjang. Kami hanya saling menggenggam tangan, berdoa dalam hati agar malam segera berlalu.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk bicara dengan ibu Rani. Awalnya ia tampak ragu, tapi akhirnya ia berkata pelan, “Kamar atas itu memang jarang dipakai. Dulu sempat dipakai tamu wanita yang sakit... katanya dia sering meracau tentang lelaki yang meninggalkannya.”

“Namanya siapa, Bu?” tanyaku.

“Winda...” jawabnya pelan. “Dia teman Rani semasa SMA dulu. Waktu tahu kamu tunangan Rani, dia mendadak datang ke rumah, lalu tinggal beberapa hari. Setelah itu... dia gantung diri.”

Darahku seperti membeku. Jadi... rumah ini pernah didatangi Winda? Bahkan... dia meninggal di kamar yang sekarang aku pakai?

Rani menatapku dengan mata berkaca. "Kamu... kamu pernah pacaran sama Winda?"

Aku hanya bisa mengangguk. Lalu aku menceritakan segalanya. Tentang bagaimana aku pernah berjanji menikahi Winda. Tentang perpisahan kami yang mendadak. Tentang pesan terakhirnya yang tidak pernah kubalas.

"Aku enggak tahu kalau dia sampai se-... sampai seputus asa itu, Ran."

Rani hanya diam. Tapi sejak malam itu, dia mulai berubah. Ia sering termenung. Beberapa kali aku menemukan dia duduk di lantai kamar sambil menyisir rambut sendiri berulang-ulang, menatap ke cermin tanpa berkedip.

“Sayang, kamu kenapa?”

“Winda... dia datang tiap malam. Dia bilang dia belum selesai.”

“Jangan didengar. Itu cuma mimpi buruk.”

“Bukan. Dia masuk ke tubuhku, Mas...”

Rani mulai bicara dengan suara yang bukan miliknya. Lebih serak, dingin, seperti bukan dia. Ia sering bicara sendiri, bahkan kadang memanggilku 'sayang' dengan gaya bicara Winda dulu.

Suatu malam, aku terbangun dan melihat Rani berdiri di balkon. Ia mengangkat satu kakinya ke pagar, seolah hendak melompat.

“Rani! Jangan!” teriakku sambil berlari.

Ia menoleh pelan. Tapi wajah itu... bukan wajah istriku. Itu wajah Winda. Mata merah. Senyum tipis menyeringai. “Kalau aku enggak bisa nikmati malam pertama, dia juga enggak boleh...”

Sejak malam itu, Rani aku bawa ke Jakarta, jauh dari rumah itu. Tapi gangguan masih datang. Di apartemen, suara langkah kaki tetap terdengar tengah malam. Cermin kamar mandi berkabut dengan tulisan: *“JANJIMU BELUM LUNAS.”*

Sampai pada suatu malam, aku dipanggil ke rumah sakit. Rani ditemukan di jalan, berjalan tanpa arah, sambil membawa foto lama aku dan Winda. Di rumah sakit, ia terus mengucapkan satu kalimat, “Aku... bukan aku... Aku cuma wadahnya...”

Rani dirawat intensif dengan pengawasan psikiater. Tapi tak ada kemajuan. Setiap malam, tepat pukul dua, ia menjerit keras sambil memeluk udara kosong.

Dan aku? Kini hidup dalam ketakutan. Karena kemarin malam, pintu apartemenku diketuk tiga kali. Saat kubuka, tidak ada siapa-siapa. Tapi di lantai tergeletak secarik kertas, bertuliskan: *“Aku belum selesai, Mas...”*

Dan malam ini, saat kutulis cerita ini… suara cekikikan itu kembali terdengar dari balik dinding. Wangi melati menyelimuti ruanganku. Bayangan di cermin mulai membentuk wajah yang sangat kukenal—dan tangannya... sudah meraih bahuku.

Posting Komentar