Menginap di Rumah Hantu Mengerikan

Table of Contents
Menginap di Rumah Hantu Mengerikan - Cerpen Horor Mania

Teror Menginap di Rumah Angker

Aku, Lestari, seorang wanita karier dari Jakarta, belum pernah benar-benar percaya pada cerita-cerita mistis kampung. Namun satu pesan dari seorang sahabat lamaku, Dinda, mengubah segalanya.

“Tar, mainlah ke kampungku di Wonosari. Udah lama kita nggak ketemu. Keluargaku juga kangen.”

Pesan itu muncul tiba-tiba setelah bertahun-tahun kami tak berkomunikasi. Aku sempat heran, tapi rasa rindu mengalahkan logika. Aku ambil cuti, berkemas, dan memesan tiket ke Jogja, lalu melanjutkan perjalanan dengan bus kecil ke Wonosari.

Saat tiba di kampung Dinda, suasana sangat tenang. Rumah-rumah berjajar rapi, pepohonan rindang, dan udara segar membuatku betah. Dinda menjemputku di halte kecil, mengenakan baju terusan putih dan senyum manis yang tak berubah sejak SMA.

“Akhirnya kamu datang juga, Tar,” katanya sambil memelukku erat. “Ayah sama Ibu udah nggak sabar ketemu kamu.”

Rumahnya masih sama seperti dulu: rumah joglo besar berdinding kayu, penuh ukiran Jawa kuno. Hangat dan penuh kenangan. Ayah dan Ibu Dinda menyambutku ramah, menyuguhkan teh panas dan pisang goreng.

“Lestari, anak kota yang nggak pernah berubah,” canda Ayah Dinda.

Malam pertama terasa menyenangkan. Kami ngobrol sampai larut, mengenang masa-masa sekolah. Namun, saat aku hendak tidur, kudengar ketukan di jendela kamarku. Pelan, namun jelas. Saat kulihat ke luar, tak ada siapa pun.

“Angin kampung,” pikirku sambil mencoba tidur.

Keesokan harinya, aku mulai merasa ada yang ganjil. Saat sarapan, Dinda diam saja, memandangi nasi goreng di piringnya tanpa menyentuhnya.

“Dinda, kamu sakit?” tanyaku.

Dia hanya menggeleng pelan. Ibunya juga tak berkata apa-apa, hanya menunduk sambil memegang rosario kayu di tangan.

Siangnya, aku berjalan ke pasar dekat rumah. Ingin beli oleh-oleh dan menghirup udara segar. Tapi ketika kusebut nama Dinda kepada pedagang buah, mereka menatapku aneh.

“Mbak kenal Dinda? Yang rumah besar di ujung jalan itu?” tanya si pedagang dengan suara rendah.

“Iya. Aku nginap di rumahnya.”

Pedagang itu terdiam. “Mbak, itu rumah udah lama kosong.”

“Apa maksudnya kosong?” tanyaku, merasa geli.

“Keluarga itu... meninggal waktu kebakaran setahun lalu. Semua isi rumah hangus, Mbak.”

Jantungku seperti berhenti. “Mungkin salah orang,” kataku sambil buru-buru pergi.

Sore itu, aku kembali ke rumah Dinda. Kulihat dari jauh, rumah itu tetap berdiri utuh, tak ada tanda-tanda pernah terbakar. Tapi perasaan aneh mulai membekapku.

Di dalam rumah, suasana makin sunyi. Tak ada suara televisi, tak ada aroma masakan. Dinda duduk di ruang tamu, memandang jendela dengan tatapan kosong.

“Dinda... kamu kenapa?”

Dia menoleh perlahan. “Kamu ingat waktu kita pernah main petak umpet dan kamu sembunyi di loteng?”

“Ingat. Kenapa?”

“Coba kamu ke sana malam ini. Ada yang pengen ketemu.”

Malam pun datang. Aku terjaga di kamar, menatap loteng yang terbuka. Rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Aku naik ke atas. Loteng itu gelap, berdebu, tapi ada cahaya samar dari lampu minyak di sudut ruangan.

Di sana, kulihat sesuatu yang membuat darahku membeku.

Foto keluarga Dinda yang kusut dan gosong tergantung di tembok. Di bawahnya, ada tiga pasang baju putih penuh noda hitam tergantung di gantungan. Udara menjadi dingin, bau kayu terbakar menyengat.

“Lestari...”

Suara itu datang dari belakangku. Aku menoleh. Dinda berdiri di sana, wajahnya pucat, matanya kosong.

“Aku cuma pengen kamu datang... lihat kami sekali lagi...”

Di belakangnya, muncul sosok ayah dan ibunya, wajah mereka hitam legam seperti arang, mata menganga, tangan terbakar.

“Kami kedinginan... rumah ini dingin... sepi...”

“TIDAKKK!!” Aku menjerit dan terjatuh dari loteng. Gelap. Segalanya menjadi gelap.

Aku terbangun di rumah sakit desa. Seorang ibu tua duduk di samping ranjangku.

“Kamu beruntung ditemukan warga. Katanya kamu pingsan di depan rumah kosong yang hangus terbakar.”

“Tapi... Dinda... dia...”

Ibu itu mengangguk pelan. “Kamu salah satu teman yang dia tunggu sejak lama. Mungkin... arwahnya belum tenang.”

Aku pulang ke Jakarta keesokan harinya. Tapi tiap malam, aku selalu bermimpi. Dinda berdiri di depan rumah tua itu, melambaikan tangan. Kadang aku terbangun dengan bau asap kayu yang begitu nyata.

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi meremehkan cerita kampung. Karena kadang, mereka yang telah mati... hanya ingin dikenang.

Namun cerita tidak selesai di sana. Dua bulan setelah kejadian itu, aku mendapat sebuah paket tanpa nama. Isinya sebuah foto tua yang belum pernah kulihat. Foto itu menunjukkan Dinda dan keluarganya, mengenakan baju putih yang sama seperti yang kulihat di loteng, berdiri di depan rumah joglo, tapi dengan latar rumah yang hangus terbakar.

Di balik foto itu tertulis tangan yang sangat aku kenal: “Terima kasih sudah datang. Jangan lupakan kami. – Dinda.”

Foto itu tidak kubakar, tidak kukembalikan. Aku bingung, takut, tapi juga merasa bersalah. Mungkin Dinda hanya ingin didoakan.

Setiap malam Jumat Kliwon, aku menyalakan lilin kecil di jendela apartemenku. Kubaca Al-Fatihah untuk Dinda dan keluarganya. Dan anehnya, sejak saat itu... mimpi burukku berhenti.

Namun satu malam, aku menerima pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal.

“Tar, kamu masih ingat loteng itu?”

Aku membeku. Pesan itu hilang sendiri setelah beberapa detik. Nomornya pun tak bisa ditemukan kembali.

Dan malam itu... dari jendela lantai 12 apartemenku, aku mencium bau kayu terbakar lagi. Samar, tapi nyata.

Mungkin, bagi mereka yang mati dengan tragis, waktu dan jarak bukanlah penghalang untuk datang kembali. Bahkan ke kota. Bahkan ke apartemen.

Karena bagi Dinda... persahabatan tak pernah benar-benar berakhir.

Posting Komentar