Misteri Bukit Bintang Yogyakarta

Daftar Isi
Misteri Bukit Bintang Yogyakarta - Cerpen Horor Mania

Bukit Gaib di Balik Lampu Kota Jogja

Malam itu langit Yogyakarta tampak cerah, bertabur bintang. Bukit Bintang di perbatasan antara Gunungkidul dan Bantul ramai seperti biasa. Warung-warung kopi dipenuhi pasangan muda dan wisatawan. Namun, di balik keramaian itu, ada satu cerita yang hanya dibisikkan warga sekitar—tentang bukit lain yang tak terlihat mata, namun selalu mengamati dari kegelapan.

Nadya, seorang mahasiswi pendatang dari Bandung, datang ke Bukit Bintang bersama dua temannya, Rama dan Intan. Mereka baru saja menyelesaikan skripsi dan ingin merayakannya dengan nongkrong sambil menikmati pemandangan malam.

"Gila, ini keren banget sih pemandangannya. Kayak lautan lampu," kata Intan sambil menyeduh kopinya.

"Iya. Tapi kalian pernah denger cerita tentang 'Bukit Gaib' di sekitar sini nggak?" tanya Rama tiba-tiba, nada suaranya berubah serius.

"Apaan tuh?" Nadya langsung menoleh.

Rama menatap ke arah hutan gelap di ujung bukit. "Katanya, kalau terlalu malam di sini dan kamu jalan terlalu jauh ke timur, kamu bisa masuk ke wilayah yang bukan bagian dari dunia kita. Bukit itu munculnya hanya saat malam tertentu, katanya dihuni oleh 'penunggu langit'. Banyak orang hilang di sana."

Intan tertawa. "Ah, mitos. Ini Jogja, bukan film horor."

Tapi Nadya merasa ada yang aneh sejak mereka datang. Sejak turun dari motor, ia merasa seperti diawasi. Dan sekarang, suasana jadi berbeda. Angin lebih dingin. Suara serangga berhenti.

"Eh, kalian denger nggak? Sunyi banget tiba-tiba," gumam Nadya.

Rama berdiri. "Aku mau lihat-lihat ke arah timur sebentar. Mau buktiin omongan itu."

"Rama, jangan aneh-aneh deh," cegah Intan.

"Tenang. Lima menit aja."

Rama berjalan ke arah ujung bukit, melewati jalur tanah kecil yang nyaris tak terlihat. Nadya dan Intan menunggu, tapi setelah sepuluh menit, Rama tak kembali.

"Gue kejar dia, deh," kata Nadya cemas.

"Gue ikut."

Mereka menyusuri jalur sempit yang gelap. Anehnya, jalur itu terus memanjang, seolah tidak pernah berujung. Lampu-lampu kota di belakang mulai menghilang. Lalu mereka tiba di suatu tempat yang tidak mereka kenal.

Di depan mereka terbentang bukit sunyi, tanpa warung, tanpa suara. Bulan menggantung tinggi, tapi tidak memberi cahaya. Hanya siluet pepohonan dan kabut tipis menutupi tanah.

"Nad... ini bukan Bukit Bintang lagi," bisik Intan.

Sebuah bayangan muncul dari balik kabut. Sosok perempuan berdiri, membelakangi mereka. Rambutnya panjang, tubuhnya membeku seperti patung.

"Rama?" tanya Nadya pelan.

Perempuan itu perlahan menoleh. Wajahnya kosong. Matanya tidak punya bola mata, hanya hitam legam. Ia membuka mulutnya dan bersuara pelan, seperti gemuruh dari dasar bumi.

"Satu telah masuk... dua akan menyusul."

Intan menjerit. Mereka berlari, tapi jalur kembali berubah. Tidak ada jalan setapak. Bukit itu seperti melingkar tanpa arah keluar. Kabut semakin tebal.

"Ini... ini tempat yang diceritain Rama!" teriak Nadya.

Mereka kembali melihat sosok lain. Kali ini, tubuh Rama. Tapi ia berdiri kaku, matanya kosong seperti perempuan tadi. Mulutnya bergerak, tapi suaranya bukan suara manusia.

"Langit telah membuka... bumi tidak mengenali kami."

Nadya menarik tangan Intan, berlari ke arah manapun. Lalu mereka melihat sebuah warung kayu berdiri sendirian. Mereka masuk tanpa pikir panjang.

Di dalam, duduk seorang lelaki tua, mengenakan surjan dan ikat kepala batik. Wajahnya pucat dan matanya tertutup kain putih.

"Kalian sudah masuk terlalu dalam," katanya tanpa membuka matanya.

"Tolong kami... kami tersesat!" seru Nadya panik.

"Yang bisa keluar... hanya mereka yang tidak membawa jiwa baru. Tapi kalian... sudah terikat."

"Apa maksudnya?" tanya Intan dengan suara gemetar.

Lelaki itu berdiri. "Kalian harus kembali sebelum langit tertutup. Ikuti jalan yang hanya bisa dilihat dengan hati... bukan mata."

Dia memberikan mereka daun kering, lalu meniupkan sesuatu ke arah mereka. Seketika warung itu lenyap. Mereka kembali berdiri di tengah bukit kosong.

Namun kali ini, jalur kecil yang sebelumnya hilang mulai tampak samar. Mereka mengikuti jalur itu tanpa suara, sambil memegang erat daun pemberian lelaki tadi.

Setelah berjalan lama, mereka melihat cahaya lampu kota. Bukit Bintang kembali di depan mata. Namun Rama tidak bersama mereka.

Keesokan harinya, Nadya melapor ke polisi. Tapi pencarian selama seminggu tidak membuahkan hasil. Tidak ada jejak Rama, bahkan di rekaman CCTV pun tidak terlihat ia pernah datang ke Bukit Bintang malam itu.

Yang lebih mengejutkan, nama Rama tidak ada di daftar mahasiswa kampus mereka. Tidak ada yang mengingatnya... kecuali Nadya dan Intan.

Intan mulai kehilangan akal. Dia keluar dari kos dan menghilang. Nadya mencarinya ke mana-mana, hingga akhirnya mendatangi kembali Bukit Bintang sendirian.

Malam itu bulan kembali bulat sempurna. Bukit ramai, tapi Nadya merasa seperti berada di dunia lain. Semua orang di sekitarnya diam dan hanya menatap langit. Seolah menunggu sesuatu.

Dari balik pepohonan, muncul suara langkah. Seorang perempuan berkerudung tua mendekat dan duduk di bangku kosong di sebelah Nadya.

"Kamu mencarinya, ya? Yang hilang itu..."

"Bu... ibu tahu di mana Intan?"

"Dia menjemput yang sebelumnya tertinggal. Tapi kini dia yang tertinggal."

Nadya terdiam. Perempuan itu menyerahkan sebuah cermin kecil. Di dalamnya, Nadya melihat bayangan Intan berdiri di bukit yang sama, tapi warnanya pucat kelabu. Di belakangnya, sosok Rama muncul perlahan, tersenyum samar... lalu bayangan itu pecah.

"Kamu masih bisa kembali dan mengakhiri ini. Tapi kau harus pilih satu... yang kau selamatkan. Satu saja."

"Apa maksudnya?"

"Bukit ini tidak suka sendirian. Setiap malam tertentu, ia akan memanggil jiwa untuk menemaninya. Kalau kau bawa dua pulang... maka tiga akan masuk."

Nadya menangis. Tapi tekadnya bulat. Ia kembali menyusuri jalan timur, kali ini seorang diri. Ia berjalan melewati kabut, melafalkan doa dalam hati. Cermin kecil di tangan kirinya memantulkan bayangan gelap.

Ia kembali ke bukit itu. Kali ini, bukit tampak seperti dunia mati. Angin berhenti. Tidak ada bintang. Tapi dua sosok berdiri di kejauhan—Rama dan Intan, diam tanpa kata.

"Aku di sini! Pulanglah dengan aku!"

Intan menoleh lebih dulu. Tapi Rama tetap berdiri kaku. Intan berjalan perlahan, seperti bingung. Nadya menjulurkan tangan, tapi tanah di bawahnya retak. Sosok hitam raksasa muncul dari balik bukit. Mata merah membara, lidah menjulur ke langit.

"PILIH SATU!"

Nadya menangis, lalu menarik Intan dengan sekuat tenaga. Rama tertinggal. Saat mereka keluar, suara jeritan panjang menggema hingga ke langit.

Nadya dan Intan terbangun di pelataran warung Bukit Bintang, menjelang Subuh. Semua tampak normal. Tapi langit masih kelabu, dan satu bintang jatuh tepat di ujung timur.

Rama tak pernah kembali. Tapi malam-malam tertentu, Nadya kadang melihat siluet seseorang berdiri di tepi bukit... menatap ke arahnya dengan pandangan kosong.

Dan di balik gemerlap lampu kota, suara dari langit masih berbisik, "Gantian... kau yang temani aku sekarang."

Posting Komentar