Misteri Keris Pusaka di Solo

Table of Contents
Misteri Keris Pusaka di Solo - Cerpen Horor Mania

Pusaka Terlarang dari Tanah Solo

Kota Solo selalu identik dengan budaya Jawa yang kental, keraton megah, gamelan, dan peninggalan leluhur. Namun di balik segala kemegahan itu, tersimpan kisah gelap tentang sebuah pusaka kuno—keris yang tak boleh disentuh sembarangan. Konon katanya, keris itu memiliki "isi", bukan hanya sebatas logam, tapi nyawa.

Namaku Anjar. Aku seorang mahasiswa jurusan sejarah di Solo. Ketertarikanku pada budaya Jawa membuatku rajin melakukan riset tentang benda-benda pusaka. Suatu hari, aku mendapat kabar bahwa seorang kolektor tua bernama Pak Reksan akan melelang beberapa pusaka dari keratonnya. Aku tak ingin melewatkan kesempatan langka itu.

Saat aku datang ke rumah Pak Reksan yang berada di pinggiran kota, suasananya langsung membuat merinding. Rumah besar dengan arsitektur Jawa kuno itu terasa dingin meski siang hari. Di ruang tengah, berbagai benda tua dipajang rapi—topeng, tombak, wayang, dan tentu saja, keris.

“Silakan, Nak Anjar. Pilih saja mana yang menarik untukmu,” ujar Pak Reksan dengan suara berat dan sorot mata tajam.

Di antara semua pusaka, pandanganku tertarik pada satu keris yang diletakkan terpisah di dalam kotak kaca. Warangkanya hitam legam, dan bilahnya tampak sedikit berkarat namun memancarkan aura yang tak bisa dijelaskan.

“Apa yang ini boleh saya lihat dari dekat?” tanyaku sambil menunjuk.

Pak Reksan terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Itu... bukan untuk dilelang. Tapi kalau kamu bersungguh-sungguh dan tak main-main, boleh kuberikan dengan satu syarat.”

Aku mengangguk antusias. “Syarat apa, Pak?”

“Jangan sekali-kali digunakan untuk pamer. Simpan di tempat gelap, dan jangan membangunkannya,” katanya lirih.

Aku tak begitu paham maksudnya, tapi aku setuju. Mungkin itu hanya semacam mitos yang biasa menyelimuti benda tua. Malamnya, aku membawa pulang keris itu ke rumah kontrakanku yang tak jauh dari kampus.

Keris itu kuletakkan di atas meja belajar. Entah kenapa, malam itu udara di kamarku terasa lebih lembab. Listrik sempat padam selama beberapa menit. Saat menyala, aku merasa seperti ada seseorang yang baru saja berdiri di pojok ruangan. Tapi saat kulihat, hanya bayangan lemari tua.

Kejadian aneh mulai terjadi. Keesokan harinya, temanku, Arga, datang main ke kamar. Saat ia melihat keris di atas meja, ia tertawa.

“Wah, kamu simpan ginian? Serem juga. Coba kita lihat lebih dekat,” katanya sambil membuka warangkanya tanpa izin.

“Astaga, jangan sembarangan!” seruku. Tapi terlambat. Saat bilah keris terbuka, ruangan terasa lebih dingin. Angin bertiup dari celah jendela meski semua tertutup rapat.

Arga mendadak terdiam. Matanya kosong. Tiba-tiba dia berkata dengan suara datar, “Dia bangun.”

Aku langsung merebut keris dari tangannya dan menutup warangkanya. Arga terjatuh, lalu kembali sadar seolah tak terjadi apa-apa.

“Maksud lo apa tadi?” tanyaku.

“Ha? Maksud gue apa?” Ia tampak kebingungan. Bahkan ia tak ingat telah membuka keris itu.

Malamnya, aku bermimpi. Dalam mimpiku, aku berada di halaman keraton tua. Di depanku berdiri seorang pria berjubah merah darah, dengan mata hitam pekat dan wajah penuh luka. Di tangannya, ia menggenggam keris yang sama.

“Kau telah membangunkan aku...” bisiknya. “Sekarang kau harus membayar.”

Aku terbangun dengan napas memburu dan peluh dingin membasahi punggung. Kulirik keris di meja—warangkanya terbuka. Padahal aku yakin sudah menguncinya.

Hari-hari selanjutnya, gangguan semakin sering terjadi. Aku mendengar langkah kaki dari atap, bayangan yang menyelinap di balik pintu, bahkan suara gamelan halus yang hanya terdengar saat tengah malam.

Aku mencoba mengembalikan keris itu ke rumah Pak Reksan, tapi rumahnya sudah kosong. Tetangga bilang, rumah itu telah kosong bertahun-tahun sejak Pak Reksan meninggal. Aku tak percaya.

“Aku baru saja bertemu beliau minggu lalu!” kataku setengah berteriak.

Tetangga itu hanya menggeleng. “Mustahil, Mas. Rumah itu sudah lama kosong. Kalau Mas ke sana, lalu siapa yang Mas temui?”

Perlahan aku sadar: keris itu bukan sekadar benda tua. Ia membawa entitas yang pernah hidup dan haus darah. Malam itu, aku bertekad menguburnya di pekarangan belakang. Tapi saat menggali lubang, tanah terasa berat dan penuh akar meski itu hanya tanah biasa.

Tiba-tiba aku mendengar suara perempuan menangis dari balik pohon pisang. Tangis lirih yang perlahan berubah menjadi jeritan.

“Jangan dikubur... Biarkan aku keluar...” suara itu bercampur dengan tawa lirih.

Tanganku gemetar. Saat aku hendak melempar keris ke lubang, bilahnya bergetar sendiri. Lalu... terdengar suara.

“Anjar...” suara itu berasal dari keris. “Kau... akan menjadi wadah baru...”

Aku pingsan. Terbangun pagi hari dengan tanah masih tergali, namun kerisnya sudah tidak ada.

Seminggu kemudian, Arga ditemukan meninggal di kamar kosnya. Lehernya tertusuk benda tajam. Di samping tubuhnya... tergeletak keris yang sama.

Polisi menganggap itu pembunuhan. Tapi aku tahu... itu bukan pembunuhan biasa.

Aku mencoba membuang keris itu ke sungai, tapi selalu kembali. Entah bagaimana, setiap pagi, ia muncul kembali di meja belajarku—bersih, tak berdebu, dan tampak makin mengilap.

Terakhir kali aku coba meninggalkannya di kuburan tua, aku justru melihat bayangan Pak Reksan berdiri di ujung jalan, tersenyum.

“Kau miliknya sekarang, Nak Anjar. Tidak ada jalan keluar.”

Aku memutuskan pergi ke keraton, berharap seseorang di sana bisa menjelaskan tentang keris ini. Seorang abdi dalem tua bernama Mbah Sastro menerima kedatanganku. Saat aku memperlihatkan keris itu, wajahnya langsung pucat.

“Ini... keris Brojobangkit,” katanya pelan. “Keris milik seorang pangeran sesat yang hilang saat pemberontakan. Konon, jiwanya terperangkap di dalam bilah keris ini.”

Aku memohon agar keris itu dimusnahkan. Tapi Mbah Sastro menggeleng lemah. “Tidak bisa dimusnahkan. Kau hanya bisa mengikatnya kembali... lewat ritual panggilan arwah. Tapi itu sangat berbahaya.”

Tanpa pilihan lain, kami menggelar ritual pada malam Jumat Kliwon di halaman keraton. Asap dupa mengepul, suara kidung kuno dilantunkan. Lalu tiba-tiba, langit mendadak gelap. Angin bertiup kencang. Dari balik asap, sosok berjubah merah muncul—sama persis seperti dalam mimpiku.

“Kenapa kau ingin mengusirku, Anjar?” katanya.

“Karena kau telah membunuh orang. Kau bukan pemilik tubuh ini!” teriakku.

Sosok itu tertawa. “Tapi aku sudah ada di dalam dirimu sejak kau menyentuh keris ini. Bahkan... sejak sebelum kau dilahirkan.”

Tubuhku bergetar. Kepalaku sakit luar biasa. Mbah Sastro cepat membaca mantra terakhir dan mengunci keris ke dalam peti logam tua yang telah diberi rajah.

Sosok itu meraung sebelum akhirnya menghilang. Tapi sebelum lenyap, ia berbisik di telingaku, “Kau pikir ini akhir? Masih banyak wadah di luar sana...”

Kini keris itu disimpan di ruang bawah tanah keraton. Terbungkus kain mori, dililit doa-doa dan besi pengikat. Tapi setiap kali aku melintasi kawasan keraton, aku merasa seperti dia masih mengawasiku. Kadang terdengar suara gamelan lirih saat malam. Kadang bayangan merah melintas di jendela rumahku.

Dan kadang... keris itu muncul kembali dalam mimpi. Dengan sosok Pak Reksan di belakangnya, tersenyum seperti dulu.

Keris memang pusaka, tapi tidak semua pusaka membawa berkah. Ada yang justru menjadi pintu menuju kegelapan—dan aku, Anjar, telah membukanya.

Posting Komentar