Pintu Terlarang di RSJ Lawang Malang
Kisah Horor di Rumah Sakit Jiwa Lawang, Malang
Aku masih ingat betul hari itu—malam Jumat Kliwon saat aku dan dua temanku, Rendi dan Siska, memutuskan untuk melakukan eksplorasi ke salah satu bangunan paling angker di Jawa Timur: Rumah Sakit Jiwa Lawang, Malang. Bangunan tua kolonial itu sudah lama tak beroperasi, dan banyak cerita menyeramkan beredar dari warga sekitar.
"Lo yakin ini ide bagus, Di?" tanya Siska sambil merapatkan jaketnya. Udara dingin Lawang memang menggigit malam itu.
"Justru itu, Sis. Kalau kita bisa dapetin dokumentasi bagus, channel YouTube kita bisa meledak," balasku sambil menunjukkan kamera di tanganku.
Rendi hanya mengangguk pelan. Ia memang jarang bicara, tapi keberaniannya tak diragukan. Kami bertiga melewati pagar besi berkarat yang setengah roboh, lalu memasuki area rumah sakit yang dipenuhi tanaman liar dan reruntuhan tembok.
Langkah kami berhenti di depan bangunan utama. Pintu kayu besar itu berderit saat kami dorong perlahan. Bau apek dan sesuatu yang... busuk segera menyambut kami. Senter yang kami bawa menyorot lorong panjang dengan dinding berjamur dan coretan tak jelas. Sekilas, aku melihat bayangan melintas di ujung lorong, tapi saat kusorot, tak ada apa-apa.
"Kalian lihat itu?" tanyaku pelan.
"Apa?" jawab Siska, suaranya bergetar.
"Bayangan. Barusan." Aku berusaha tetap tenang.
Rendi menunjuk ke arah papan nama ruang di atas, "Ruang Isolasi Psikotik Berat".
"Kita ke sana dulu," usulku. Padahal hatiku sendiri berdebar kencang.
Setelah beberapa menit menjelajah dan merekam, kami sampai di sebuah ruangan dengan ranjang besi tua yang masih lengkap dengan sabuk pengikat. Siska menelan ludah, "Ini asli serem banget."
Saat aku sedang merekam, tiba-tiba pintu tertutup keras. BRAKKK!
"SIAPA ITU?!" teriak Siska.
Rendi langsung mencoba membuka pintu, tapi terkunci dari luar. Aku mulai panik. "Ada orang lain di sini?"
Suara langkah kaki terdengar dari atas plafon. Lalu, suara tawa kecil, seperti tawa perempuan... atau anak kecil?
"Nggak lucu, sumpah," gerutu Siska.
Tiba-tiba, senterku mati. Gelap. Hanya suara napas kami bertiga yang terdengar.
Beberapa detik kemudian, cahaya senter Rendi menyala. Ia menyorot ke arah pintu, dan... ada tangan pucat mencakar kaca kecil di atasnya. Tapi hanya sesaat—tangan itu lenyap.
Pintu terbuka sendiri. Perlahan. Kami saling pandang, tapi tak ada waktu berpikir. Kami lari keluar dari ruangan itu.
Namun lorong yang kami lewati sebelumnya... kini berubah. Tidak ada tangga. Tidak ada pintu keluar. Bahkan jam tua di dinding menunjukkan waktu yang sama sejak tadi: 02.33.
"Kita muter-muter di tempat yang sama!" teriakku. Nafasku mulai tak karuan.
Siska terisak. "Aku mau pulang, Adi..."
Rendi menyorot ke jendela. "Itu... ada orang berdiri di luar." Kami mendekat. Benar. Seorang wanita berpakaian putih berdiri menatap ke dalam. Wajahnya... kosong, tanpa mata. Dan ketika kami menatapnya lebih lama, dia menunjuk ke arah kami.
Saat kami mundur, tiba-tiba terdengar suara berbisik tepat di belakang kami. "Kalian tidak boleh keluar..."
Rendi menoleh cepat dan menyenter. Tidak ada siapa-siapa. Tapi dinding di belakang kami kini dipenuhi tulisan merah: "Satu harus tinggal."
Suasana makin kacau. Kami berdebat. Siapa yang harus tinggal? Tapi itu tak masuk akal.
Aku berteriak ke udara, "Kami cuma ingin buat video! Kami nggak ganggu siapa pun!"
Tiba-tiba lantai di bawah kami bergetar. Seolah sesuatu ingin menerkam dari bawah. Lalu, dari lorong samping, muncul sesosok laki-laki berpakaian pasien rumah sakit dengan wajah hancur. Ia berjalan perlahan ke arah kami.
"LARI!" Rendi menarik kami menuju tangga darurat yang entah kenapa kini muncul.
Kami berhasil naik ke lantai dua, tapi suasana tak lebih baik. Ada ruang operasi tua, dengan meja penuh karat dan peralatan berceceran. Tiba-tiba lampu operasi menyala sendiri, dan muncul bayangan seseorang mengenakan jas dokter... tapi wajahnya seperti tengkorak terbakar.
Siska menjerit dan jatuh terduduk. Rendi mencoba mengangkatnya, tapi sesuatu menarik kakinya. Aku menendang sekuat tenaga, dan makhluk itu menghilang dalam asap hitam.
Kami terus lari tanpa arah hingga akhirnya menemukan pintu keluar di belakang gedung. Saat kami buka—udara segar menyambut. Kami keluar, dan tiba-tiba... semua sunyi.
Kami saling pandang. Tidak ada suara, tidak ada angin, bahkan tidak ada bintang di langit. Kami berjalan pelan ke gerbang, tapi... rumah sakit itu tidak ada di belakang kami. Hanya hutan gelap.
"Tunggu... ini bukan tempat kita masuk tadi," gumamku.
Dari kejauhan terdengar suara sirine ambulans. Lalu seseorang berteriak, "KAMU HARUS BANGUN!"
Gelap.
Mataku terbuka. Aku berada di sebuah kamar rumah sakit. Putih. Sunyi.
Suster datang membawa catatan. "Akhirnya kamu sadar, Adi."
"Teman-temanku? Rendi? Siska?" tanyaku panik.
Suster itu diam. Lalu pelan menjawab, "Kamu datang sendiri ke Rumah Sakit Jiwa Lawang. Ditemukan pingsan di ruang isolasi lama. Kamu sudah tak sadarkan diri selama tiga hari. Dan… kamu datang sendirian."
"Tidak mungkin..." bisikku.
Suster itu tersenyum tipis. "Banyak yang mengaku datang bertiga. Tapi yang keluar... cuma satu."
Ia lalu menutup tirai kamar, dan di balik tirai, samar kulihat bayangan dua sosok berdiri. Mereka menatapku. Tanpa mata. Dengan senyum lebar yang tidak manusiawi.
Posting Komentar