Rahasia Jari Berdarah di Rumah Tua
Perempuan Itu Menginginkan Jarinya
Ketika Dita dan suaminya, Aldi, memutuskan untuk pindah ke rumah baru di daerah Ciawi, Bogor, mereka tak menyangka bahwa keputusan itu akan mengubah hidup mereka selamanya. Rumah bergaya kolonial tua itu mereka dapatkan dengan harga murah dari lelang pemerintah. Meski agak usang, Dita jatuh cinta pada balkon kayunya yang menghadap langsung ke perbukitan yang berkabut.
"Ini rumah impian, Dit. Akhirnya kita punya tempat sendiri," kata Aldi sambil membuka pintu depan dengan kunci tua yang berdecit.
Dita tersenyum, namun ada perasaan aneh menyelinap di dadanya. Entah karena suasana rumah yang terlalu sunyi, atau karena tetangga sekitar yang tampaknya menghindari kontak mata saat mereka lewat.
Malam pertama di rumah itu, Dita terbangun sekitar pukul dua dini hari. Ia merasa jemari tangan kirinya dingin dan nyeri. Saat dilihat, jari telunjuknya berdarah. Luka kecil seperti goresan tipis, namun anehnya, darahnya mengucur tanpa henti selama hampir lima menit.
"Kenapa bisa berdarah, ya?" gumamnya sambil menekan kapas di luka itu.
Aldi yang setengah tertidur hanya mengangguk. "Mungkin kegores waktu tadi bersih-bersih. Udah, tidur lagi."
Dita mencoba tidur kembali, tapi malam itu terasa sangat panjang. Ia merasa ada yang mengawasinya dari pojok kamar. Suara lantai kayu berderit terdengar meski tak ada yang berjalan.
Keesokan harinya, saat menyapu halaman belakang, Dita menemukan sebuah potongan jari plastik berlumuran cat merah di antara semak-semak. Awalnya ia mengira itu mainan. Tapi ketika diambil, jari itu begitu realistis—dengan kuku panjang dan lapisan kulit yang terasa seperti daging manusia.
"Al, kamu taruh ini di sini buat ngerjain aku ya?" tanyanya sambil menunjukkan benda itu.
Aldi menggeleng sambil merokok di beranda. "Apaan tuh? Jijik amat. Buang aja!"
Namun malam berikutnya, kejadian aneh kembali terjadi. Dita kembali terbangun di jam yang sama. Dan jari manisnya kini berdarah. Goressannya sama seperti sebelumnya—rata, halus, seakan bukan karena benda tajam, tapi sesuatu yang menjilat kulitnya dengan sangat presisi.
Dita mulai curiga. Ia membuka laptop dan mencari informasi soal rumah itu. Ia menemukan satu artikel lama dari tahun 1986 tentang seorang perempuan bernama Mirna yang dibunuh oleh suaminya sendiri karena dituduh berselingkuh. Mayatnya dimutilasi dan dikuburkan di halaman belakang rumah—yang sekarang jadi taman mungil mereka.
Sejak itu, Dita tak bisa tenang. Ia mulai mengalami mimpi-mimpi buruk. Dalam mimpi itu, ia melihat seorang wanita bergaun putih duduk di balkon, menangis sambil memegang jari-jarinya yang terpotong satu per satu.
“Jangan ambil rumahku... kembalikan jari-jariku...”
Suara itu menggema di kepala Dita bahkan saat ia terbangun. Ia memutuskan untuk bercerita ke Aldi, namun reaksi sang suami mengejutkannya.
"Dit... kamu jangan terlalu percaya hal-hal kayak gitu. Rumah ini cuma tua, bukan berhantu. Kamu capek, itu aja."
"Tapi setiap malam jari aku berdarah, Al! Lihat ini!" Dita menunjukkan luka di jari manisnya yang kini mulai membusuk kecil di ujung kuku.
"Mungkin kamu punya gangguan kulit atau penyakit. Kita periksa ke dokter aja ya."
Dita hanya terdiam. Ia merasa Aldi berbohong. Terutama saat malam itu ia mendengar suara laki-laki bercakap dengan suara perempuan dari kamar mandi. Saat Dita mengintip, ia melihat Aldi berdiri sendiri di depan cermin, tapi bayangannya di cermin menunjukkan seorang perempuan berdiri di belakangnya.
Keesokan harinya, Dita pergi ke pasar dan bertanya-tanya pada warga sekitar soal rumah mereka. Seorang pedagang buah tua akhirnya bicara setelah melihat Dita tampak gelisah.
"Rumah yang di tanjakan itu ya? Ibu tinggal di situ sekarang?" tanyanya lirih.
"Iya, kenapa Bu?"
"Dulu itu rumah Mirna. Suaminya gila, dipikir istrinya selingkuh padahal enggak. Malam-malam, dia potong jari-jari istrinya satu-satu sebelum ngebunuhnya. Terus dikubur di taman belakang. Tapi katanya... Mirna enggak pernah benar-benar pergi."
Jantung Dita berdegup kencang. Ia pulang dengan wajah pucat. Malam itu, ia bertekad untuk menyelidiki taman belakang sendiri. Dengan sekop kecil, ia mulai menggali tanah di sudut taman, dekat pohon kamboja.
Baru sedalam 30 cm, sekopnya menghantam sesuatu yang keras. Sebuah kotak besi tua. Dita membukanya dengan gemetar. Di dalamnya... potongan-potongan jari manusia. Kering, tapi utuh. Ada delapan jari. Dua lagi... hilang.
Tiba-tiba suara dari balik bahunya membisik, "Yang dua ada padamu, Dita..."
Dita menjerit dan membalikkan badan. Tak ada siapa pun. Tapi saat ia menatap jarinya, luka-luka di ujung jarinya kini tampak makin parah, seperti... dicabut dari akarnya.
Panik, ia masuk ke rumah sambil memanggil Aldi. Tapi yang ia temukan hanya kertas kecil di meja makan, bertuliskan:
"Terima kasih sudah membantuku mengembalikan jari-jariku. Yang terakhir akan kuambil malam ini."
Dita ketakutan. Ia mengunci diri di kamar. Tapi tepat jam 2 dini hari, ia merasakan tubuhnya lumpuh. Dari langit-langit kamar, muncul sosok perempuan bergaun putih, wajahnya rusak, matanya hitam legam. Tangannya menggapai ke arah Dita.
"Kau sudah ambil rumahku... sekarang kukembalikan rasa sakitku padamu."
Dita ingin menjerit, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Ia hanya bisa menyaksikan bagaimana sosok itu menyentuh jari kelingking kirinya... dan perlahan... menariknya lepas dari tangan.
Esok paginya, Aldi ditemukan sendirian di rumah itu. Polisi datang setelah tetangga melapor karena mendengar jeritan di malam hari. Dita tidak ditemukan. Yang tersisa hanya bercak darah di tempat tidur... dan satu jari kelingking yang sudah menghitam.
Namun cerita tak berakhir di situ. Dua minggu setelah kejadian itu, Aldi mulai menunjukkan perilaku aneh. Ia sering berbicara sendiri, tertawa di tengah malam, dan memandangi cermin selama berjam-jam. Suatu malam, ia menelpon polisi sendiri dan mengaku, “Dia masih di sini. Dita. Tapi bukan Dita yang kalian kenal.”
Polisi kembali menyelidiki rumah itu. Mereka menemukan ruangan kecil tersembunyi di balik lemari kamar utama. Di dalamnya, penuh dengan coretan tangan berdarah di dinding, dan tulisan berulang kali: “Kembalikan semua jariku.”
Aldi ditahan di rumah sakit jiwa setelah malam itu berusaha memotong jarinya sendiri dengan pisau dapur, sambil terus berkata, “Aku harus bayar utang, aku yang ikut lelang rumah itu, aku yang bawa dia kembali.”
Rumah tersebut kini kosong. Tidak ada yang berani mendekat. Tetangga bahkan menyarankan untuk membongkar rumah itu, tapi pemerintah desa menolak karena status tanahnya masih bersengketa.
Beberapa warga melaporkan suara tangisan di malam hari dari arah rumah itu. Bahkan ada yang mengaku melihat sosok perempuan berkebaya berdiri di balkon, memandangi jalanan, dengan tangan yang terus berdarah.
Legenda tentang rumah itu kini menjadi bagian dari kisah horor setempat. Mereka menyebutnya: Rumah Jari Tertinggal. Sebab katanya, siapa pun yang masuk dan tinggal di sana... akan mulai kehilangan jari-jarinya... satu per satu.
Posting Komentar