Rahasia Kamar Terkunci di Desa Karangjati
Suara Tangisan dari Kamar Terkunci
Namaku Rina, seorang mahasiswi tingkat akhir yang sedang menjalani program KKN di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah. Desa itu bernama Desa Karangjati, letaknya jauh dari keramaian kota, dikelilingi sawah dan hutan lebat. Aku dan empat teman lainnya ditempatkan di rumah kosong milik mantan kepala desa yang sudah meninggal lima tahun lalu.
“Kayaknya rumah ini udah lama gak ditempatin, ya,” kata Lilis sambil membersihkan debu dari jendela kayu.
“Iya, tapi lumayan luas dan dekat sama balai desa,” jawabku, mencoba tetap positif.
Hari-hari pertama berjalan lancar. Kami melakukan kegiatan sosial seperti mengajar anak-anak, membantu panen, dan mendata penduduk. Tapi pada malam kelima, sesuatu yang aneh mulai terjadi.
Pukul dua dini hari, aku terbangun karena mendengar suara tangisan lirih dari dalam rumah. Suara itu terdengar jelas, berasal dari kamar yang berada di ujung lorong. Kamar itu selalu terkunci rapat sejak kami tiba. Tidak ada yang tahu apa isi di dalamnya karena kuncinya hilang.
“Kalian denger suara tangisan itu nggak?” bisikku pada Lilis yang tidur sekamar denganku.
Ia mengangguk pelan. “Iya. Dari kamar yang terkunci itu, kan?”
Keesokan paginya, kami memberanikan diri menanyakan tentang kamar itu kepada Pak Joko, ketua RT setempat. Wajahnya langsung berubah ketika kami menyebut kamar terkunci.
“Itu kamar almarhumah Sari, anak Pak Lurah. Dia meninggal karena bunuh diri di situ. Sejak itu, kamar dikunci dan nggak pernah dibuka lagi. Jangan diganggu ya, Nak,” katanya dengan nada serius.
Aku merasa merinding. Tapi rasa penasaranku justru semakin besar. Mengapa suara tangisan itu muncul setiap malam? Apakah arwah Sari masih bergentayangan?
Malam berikutnya, suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. Tangisan lirih berubah menjadi isakan memilukan, seperti seseorang yang sangat menderita. Kami semua terbangun. Aku, Lilis, Dani, Bima, dan Vina berkumpul di ruang tengah.
“Ini udah gak bisa dibiarkan,” kata Dani. “Besok kita cari cara buat buka kamar itu.”
Esok harinya, Bima berhasil menjebol pintu dengan alat tukang. Saat pintu terbuka, bau anyir menyengat menyambut kami. Di dalam kamar itu hanya ada ranjang tua, meja rias yang pecah, dan bercak merah di lantai yang seolah tak pernah bisa dibersihkan.
“Ada yang aneh di bawah ranjang,” kata Vina sambil menunjuk ke arah kolong. Dani merangkak masuk dan menarik sebuah kotak kayu tua yang terkunci rapat.
Kami berhasil membukanya setelah memecah gemboknya. Di dalamnya terdapat tumpukan surat, foto-foto keluarga, dan sebuah boneka rusak yang tampak seperti pernah dicakar-cakar.
Surat-surat itu adalah curahan hati Sari. Isinya mencengangkan. Ternyata Sari tidak bunuh diri. Ia dipaksa menikah dengan pria yang tidak ia cintai dan disiksa selama berbulan-bulan sebelum akhirnya meninggal dalam kondisi mengenaskan. Surat terakhir berisi ancaman kepada keluarganya.
“Kalau kalian kunci aku di kamar ini lagi, aku akan kembali dan membuat kalian merasakannya. Satu per satu,” baca Lilis dengan suara gemetar.
Sejak malam itu, kejadian makin parah. Cermin di kamar Vina pecah sendiri, Dani jatuh dari tangga tanpa sebab, dan Bima terus mengigau menyebut nama Sari. Lilis bahkan pernah menemukan boneka rusak itu pindah ke tempat tidurnya, padahal kami sudah mengembalikan semuanya ke dalam kotak dan menguncinya kembali.
Pada malam ketujuh, aku memimpikan Sari. Ia berdiri di lorong dengan mata hitam pekat dan darah menetes dari bibirnya. “Tolong aku... atau kalian semua akan ikut mati...”
Aku terbangun dengan nafas memburu. Tidak bisa menunggu lebih lama, kami memutuskan untuk melakukan ritual pembersihan. Kami meminta bantuan seorang dukun lokal, Mbah Darmo.
“Kalian telah membangunkan dendam yang sudah tertidur. Tapi dia belum selesai. Masih ada yang belum kalian tahu,” ucap Mbah Darmo saat tiba di rumah kami.
Ritual dilakukan pada tengah malam. Asap dupa memenuhi rumah. Mbah Darmo membaca mantra dengan suara keras. Tiba-tiba, Lilis menjerit. Matanya terbalik dan tubuhnya kejang.
“Dia masuk ke tubuhnya!” teriak Mbah Darmo. “Cepat ambil boneka itu dan bakar!”
Dani segera mencari boneka di dalam kamar. Tapi boneka itu tidak ada. Kami panik. Lalu terdengar suara tawa dari langit-langit rumah. Di atas plafon, boneka itu tergantung seperti digantung pakai rambut manusia.
Bima memanjat dan berhasil mengambilnya. Kami segera membakarnya di halaman rumah. Saat boneka itu terbakar, suara jeritan panjang terdengar dari dalam kamar terkunci, seolah seseorang sedang dihanguskan dari dalam. Lilis pingsan setelah itu.
Keesokan paginya, semuanya tampak tenang. Tidak ada lagi suara tangisan. Tidak ada kejadian aneh. Tapi aku tahu, ini belum berakhir. Saat kami berkemas untuk pulang ke kota, aku menemukan secarik kertas di bawah bantal tempat tidurku.
Isinya hanya satu kalimat: *“Terima kasih telah membebaskanku. Tapi yang menyiksaku masih hidup.”*
Dan saat aku membuka ponselku, ada satu pesan masuk dari nomor tak dikenal: *"Kamu yang selanjutnya."*
Setelah kembali ke kota, kami mencoba mencari informasi lebih lanjut. Ternyata pria yang dulu memaksa Sari menikah adalah seorang tokoh masyarakat yang masih berkuasa di desa itu. Tak lama setelah ritual pembakaran boneka, pria itu ditemukan tewas terbakar di rumahnya. Tidak ada bukti pembakaran atau penyebab kebakaran yang jelas.
Namun, kisah ini tak berhenti di situ. Beberapa minggu kemudian, Vina menghilang tanpa jejak. Terakhir kali dia terlihat, ia sedang berbicara di telepon sambil menangis, menyebut nama “Sari” berulang kali.
Polisi tidak bisa menemukan petunjuk. Semua rekaman CCTV rusak, dan ponsel Vina mati total. Anehnya, di meja kosnya, ditemukan sebuah boneka rusak yang sangat mirip dengan yang dulu kami bakar. Tapi ini tidak mungkin. Boneka itu sudah habis jadi abu.
“Kita harus kembali ke desa itu,” kataku pada Lilis dan Dani. “Ada yang belum selesai.”
Kami kembali ke Desa Karangjati seminggu kemudian, tanpa memberitahu siapa pun. Rumah tua itu masih kosong. Namun sesuatu terasa berbeda. Udara lebih dingin. Pepohonan di sekitar rumah tampak seperti mengering. Dan kamar yang dulu terkunci... kini terbuka lebar.
Di dalam kamar, kami melihat tulisan di dinding dengan darah kering: *“Bukan aku yang terakhir.”*
Ketika kami hendak keluar, pintu rumah tiba-tiba tertutup dan terkunci dari luar. Kami mencoba membuka jendela, tapi semua dipaku dari luar. Suara tangisan kembali terdengar. Kali ini lebih dekat. Sangat dekat.
“Dia... di sini,” bisik Lilis, tubuhnya gemetar hebat.
Bayangan hitam muncul di sudut ruangan. Wujudnya menyerupai Sari, tapi wajahnya rusak. Mulutnya sobek lebar, dan matanya melotot seolah ingin keluar dari rongga. Ia berjalan perlahan ke arah kami sambil menangis dan tertawa bersamaan.
“Aku tidak sendiri...” bisiknya.
Dinding-dinding rumah mulai berdarah. Suara-suara aneh bergema dari segala arah. Kami berpelukan di tengah ruangan, tak mampu bergerak. Lalu semuanya gelap.
Ketika aku terbangun, aku sudah berada di rumah sakit. Polisi bilang aku ditemukan tak sadarkan diri di pinggir jalan desa. Tapi Dani dan Lilis tidak pernah ditemukan.
Setiap malam sejak itu, aku mendengar suara tangisan dari balik lemari di kamar kosku. Dan setiap kali aku buka... tak ada siapa pun. Tapi boneka rusak itu kini ada di mejaku, menatapku dengan mata kosongnya.
Dan malam ini... aku mendengar pintu lemariku terkunci sendiri... dari dalam.
Posting Komentar