Tangisan Istriku di Malam Kliwon

Table of Contents
Istriku Sering Kesurupan - Cerpen Horor Mania

Istriku Kesurupan: Misteri Tersembunyi di Rumah Kontrakan

Awalnya aku pikir semua ini hanya efek kelelahan. Istriku, Dinda, memang sering begadang membantu ibunya membuat kue pesanan. Tapi setelah kami pindah ke rumah kontrakan tua di daerah Wonosari, Yogyakarta, semuanya berubah drastis.

Hari pertama di rumah itu terasa biasa saja. Udara sejuk pegunungan membuat kami nyaman. Tapi malam harinya, Dinda tiba-tiba menangis dalam tidurnya. Tubuhnya menggigil, bibirnya komat-kamit seolah membaca sesuatu, tapi aku tak paham sepatah kata pun.

“Sayang? Bangun, ini aku, Raka,” bisikku sambil mengguncangnya pelan.

Matanya terbuka... tapi bukan seperti Dinda yang biasa. Tatapannya kosong, kemudian ia tertawa kecil—pelan namun menggetarkan.

“Kau bukan suaminya... dia milikku sekarang...”

Dadaku langsung sesak. Aku coba menenangkan diri. “Dinda, sadar... kamu cuma kecapekan.”

Tiba-tiba ia menjerit dan terkulai. Aku panik, lalu membawanya ke mushola kecil di dekat rumah. Seorang ustaz di sana menyarankan kami melakukan ruqyah ringan. Dinda sempat membaik, tapi dua malam kemudian kejadian serupa terulang.

Kali ini lebih parah. Dinda duduk di pojok kamar dengan rambut menutupi wajahnya. Ia tertawa terbahak-bahak sambil menggores dinding menggunakan kuku. Kulihat cat tembok terkelupas dan ada goresan seperti tulisan kuno. Bau anyir tiba-tiba memenuhi ruangan.

“Dinda, hentikan! Ini bukan kamu!” teriakku sambil berusaha menariknya.

Ia menoleh perlahan. Wajahnya kini bukan lagi Dinda—kulitnya tampak pucat kehijauan, dan matanya merah menyala.

“Kenapa kau pindahkan aku dari pohon itu?” katanya dingin.

“Pohon? Pohon apa maksudmu?”

“Yang kau tebang demi tempat menjemur pakaian... aku tidur di sana, manusia bodoh!”

Keringat dingin membasahi punggungku. Aku ingat, tiga hari lalu aku memang menebang pohon beringin kecil di halaman belakang karena menghalangi cahaya matahari. Tak terpikir sedikit pun bahwa pohon itu mungkin ‘berpenghuni’.

Keesokan harinya, aku mendatangi tetangga sebelah, seorang wanita tua bernama Bu Surti. Ia hanya geleng-geleng saat mendengar ceritaku.

“Mas Raka, rumah itu dulu ditinggal tanpa penghuni selama hampir delapan tahun. Orang-orang sini nggak berani ngontrak. Pohon yang Mas tebang itu, katanya, tempat ‘penunggu’. Saya juga ndak ngerti... tapi dulu pernah ada keluarga kecil tinggal di sana, anaknya kesurupan juga...”

Aku tercekat. Malam itu, aku minta bantuan Ustaz Malik untuk melakukan pembersihan rumah secara spiritual. Ia datang dengan beberapa santri. Kami membaca ayat-ayat suci, menyiram sudut-sudut rumah dengan air ruqyah. Di kamar tidur, Dinda tiba-tiba menjerit keras dan tubuhnya melayang sebentar sebelum terjatuh ke lantai.

“Allahu Akbar!” seru Ustaz Malik. “Kuat sekali yang menempel padanya...”

Selama hampir dua jam proses berlangsung. Dinda muntah cairan hitam dan tubuhnya memar-memar. Setelahnya, ia tertidur lemas. Tapi belum selesai. Malam berikutnya, ia kembali kesurupan, kali ini di kamar mandi. Ia menyalakan shower, berdiri di bawah air dingin sambil tertawa tanpa suara.

“Dia belum pergi... ada lebih dari satu,” kata Ustaz Malik saat aku menghubunginya lagi. “Kemungkinan rumah itu menjadi tempat berkumpulnya makhluk halus. Kau harus cari tahu asal-usul tanahnya.”

Aku pergi ke kantor kelurahan keesokan harinya. Dari arsip lama, aku tahu bahwa dulu rumah itu berdiri di atas tanah bekas kuburan desa yang dipindah paksa pada tahun 1985 karena pembangunan jalan. Banyak kerangka yang tidak ditemukan hingga kini.

Petugas kelurahan hanya berkata, “Kalau saya, Mas... enggak bakal tinggal di situ. Banyak kejadian aneh dari dulu.”

Aku pulang dengan hati berat. Tapi malam itu... adalah yang terparah.

Dinda tak hanya kerasukan satu entitas. Suaranya berubah-ubah, kadang suara anak kecil, kadang wanita tua, bahkan suara berat seperti lelaki. Ia mencakar dirinya sendiri, lalu menatapku dengan mata yang seolah membakar.

“Kalian mengusik tanah kami... kalian tak diizinkan di sini!”

“Kami minta maaf... kami benar-benar tidak tahu!” tangisku sambil memeluknya erat, walau tubuhku nyaris berdarah akibat cakaran.

“Tebusannya nyawa... atau kembalikan pohon itu!”

Aku tak tahu harus percaya atau tidak. Tapi malam itu juga, aku pergi ke tukang kebun desa dan memintanya menanam kembali pohon beringin muda di tempat semula. Aku taburkan bunga setaman dan membacakan doa di tempat itu, walau tubuhku gemetar.

Sejak saat itu... Dinda mulai membaik. Tak ada lagi tawa mengerikan, tak ada lagi kerasukan mendadak. Tapi kami tetap memutuskan untuk pindah rumah.

Sebelum pergi, aku kembali menemui Bu Surti. Ia hanya tersenyum dan berkata pelan, “Kadang, mereka hanya ingin diingat... bukan diganggu.”

Meski kini kami tinggal di tempat baru, setiap kali aku melihat pohon beringin... tubuhku langsung merinding. Dan Dinda, hingga kini, selalu menyempatkan diri meletakkan bunga melati di pot kecil dekat pintu. Ia bilang... “Untuk yang pernah menumpang.”

Namun tak lama setelah kami pindah, kejadian aneh kembali muncul—kali ini di rumah kontrakan baru kami yang hanya berjarak lima kilometer dari tempat sebelumnya. Dinda mulai bermimpi buruk. Ia mengigau, menyebut nama yang sama berulang kali: “Sarinah...”

“Siapa Sarinah?” tanyaku suatu malam.

“Aku tidak tahu... tapi dia bilang aku sudah menggantikan posisinya. Dia bilang aku harus tetap di sana... menunggu,” jawab Dinda dengan wajah pucat.

Karena penasaran, aku kembali menemui Ustaz Malik. Ia datang lagi dan mendeteksi bahwa sebagian energi dari rumah lama masih menempel pada Dinda. Kami pun melakukan pembersihan tahap dua, tapi kali ini Dinda sempat pingsan hingga lebih dari dua jam.

Ketika sadar, ia memelukku erat dan berkata, “Aku melihatnya... ada ratusan... wajah mereka kosong, tapi mereka marah. Mereka menungguku.”

Malam itu kami tidak bisa tidur. Lampu kami biarkan menyala, dan Dinda tidak mau sendiri walau sebentar. Suara seperti bisikan kerap terdengar dari kamar mandi dan dapur. Aku sempat memeriksa, tapi selalu kosong.

Keesokan harinya aku kembali ke rumah lama bersama seorang dukun tua dari desa lain. Kami melakukan ritual di halaman belakang, tepat di bawah pohon yang baru kutanam. Di sana, dukun itu berkata sesuatu yang membuat bulu kudukku berdiri.

“Pohon itu bukan asalnya. Asalnya ada di pojok tanah ini, dekat sumur tua. Tapi sumurnya sudah ditutup. Energi mereka masih terperangkap di bawah tanah...”

Rupanya aku menanam pohon di tempat yang salah.

Dengan izin pemilik lahan, kami membuka kembali bagian tanah di dekat sumur yang lama tertutup. Di dalamnya kami temukan balok kayu tua berukir, dan seikat rambut manusia yang sudah menghitam dan berbau busuk. Dukun itu langsung membakar semua benda tersebut sambil membaca doa-doa panjang.

Sejak itulah, gangguan benar-benar berhenti. Dinda tak pernah lagi bermimpi buruk. Rumah baru kami tenang. Dan kami sepakat untuk tidak pernah lagi meremehkan hal-hal yang dianggap 'mistis'.

Hingga hari ini, setiap malam Jumat Kliwon, Dinda masih menyalakan lilin kecil dan menabur bunga di halaman. Bukan untuk memanggil siapa-siapa. Tapi untuk mendoakan mereka yang pernah terusir... karena kehadiran kami.

Dan aku... takkan pernah lupa, bahwa bukan hanya kita yang hidup di dunia ini.

Posting Komentar