Tangisan Perempuan dari Mimpiku
Diganggu Hantu dan Mimpi yang Berulang
Sudah dua minggu aku bermimpi yang sama. Dalam mimpi itu, aku berjalan di sebuah gang sempit yang sepi dan gelap. Tidak ada cahaya, kecuali dari lampu jalan yang berkedip-kedip. Di ujung gang itu, selalu ada sosok perempuan dengan rambut panjang menutupi wajahnya. Diam. Tidak bergerak. Dan setiap kali aku mendekat, aku terbangun dengan napas terengah-engah.
Namaku Rino. Aku tinggal di Jogja, di sebuah kontrakan sederhana dekat sawah. Aku bekerja sebagai editor lepas, jadi banyak menghabiskan waktu di depan laptop, begadang. Awalnya aku pikir mimpi itu cuma efek begadang dan stres. Tapi semakin sering mimpi itu datang, aku mulai merasa ada yang tidak beres.
Suatu malam, aku cerita ke temanku, Dimas.
"Lo nggak capek mimpi yang sama terus?" tanya Dimas sambil menyeruput kopi.
"Capek, Mas. Kayak beneran. Selalu gang sempit, dan cewek itu... kayak nunggu gue," jawabku sambil memijat pelipis.
"Lo sadar gak, Rin. Itu gang yang lo ceritain... mirip banget sama gang belakang rumah lo."
Aku terdiam. Jantungku berdetak lebih cepat. Benar juga. Selama ini aku tidak pernah menyadari kemiripan itu. Gang belakang rumah kontrakanku memang sempit, remang-remang, dan kadang terasa... sunyi yang aneh.
Malam itu aku memutuskan untuk tidak tidur. Aku ingin menghindari mimpi itu. Tapi sekitar pukul 2 dini hari, listrik di rumah padam. Semua mendadak gelap gulita, kecuali cahaya dari layar laptopku yang tiba-tiba restart sendiri. Lalu suara ketukan terdengar dari jendela kamarku.
Tok... tok... tok...
Aku terdiam. Siapa yang datang jam segini? Dengan jantung berdetak kencang, aku mendekat dan membuka tirai. Tapi di luar kosong. Hanya ada bayangan samar pepohonan dan kabut tipis.
Pagi harinya, aku bertanya ke tetangga sebelah, Bu Rasti, seorang ibu yang sudah lama tinggal di daerah situ.
"Gang belakang? Oh... dulu pernah ada yang meninggal di situ, Mas Rino. Gadis muda, kecelakaan waktu pulang malam. Tapi anehnya, mayatnya baru ditemukan dua hari kemudian, padahal cuma di pinggir gang," katanya lirih.
"Ada yang lihat?" tanyaku pelan.
"Nggak ada. Tapi sejak itu, banyak yang mimpiin dia. Katanya dia belum ikhlas..."
Tubuhku merinding. Cerita itu terlalu cocok dengan apa yang aku alami. Aku jadi takut pulang malam. Tapi justru, semakin aku takut, gangguan makin sering terjadi. Laptop sering hidup sendiri. Lampu kamar berkedip. Dan mimpi itu tetap datang.
Di malam kelima belas, aku bermimpi lebih panjang dari biasanya. Kali ini aku tidak hanya melihat perempuan itu. Ia mendekat. Wajahnya rusak. Matanya menghitam. Tapi dia berkata sesuatu untuk pertama kalinya.
"Tolong... cari aku..."
Aku terbangun dengan peluh dingin. Nafasku berat. Tapi kalimat itu jelas. Ia minta dicari. Tapi maksudnya apa?
Aku kembali menemui Dimas.
"Kayaknya dia minta bantuan, Mas," ujarku.
"Bisa jadi. Tapi cari apa? Mayatnya udah ketemu katanya."
Aku pulang dengan perasaan tidak tenang. Sesuatu seolah menarikku ke gang itu. Dan malam itu, aku turuti.
Tepat pukul 12 malam, aku berjalan ke gang belakang rumah. Suasana sunyi sekali. Tidak ada angin, tidak ada suara. Hanya langkah kakiku di atas tanah basah. Sampai akhirnya aku sampai di ujung gang, tempat lampu jalan berkedip pelan.
Aku berdiri lama, menunggu sesuatu. Dan tiba-tiba, hawa dingin menyelimuti tubuhku. Aroma anyir darah tercium. Lalu... dia muncul.
Sosok itu. Perempuan dengan wajah rusak. Kali ini lebih dekat. Ia menunjuk ke semak-semak di samping gang.
Dengan gemetar, aku dekati tempat itu. Aku tidak tahu apa yang mendorongku untuk menggali. Tapi aku ambil kayu, dan mulai mengorek tanah. Baru beberapa menit, aku menemukan sesuatu... sebuah liontin berkarat, dengan foto kecil di dalamnya. Foto perempuan muda, dengan nama “Sinta” di belakangnya.
Tiba-tiba terdengar suara tangis lirih di telingaku. Tapi saat aku menoleh, dia sudah tidak ada.
Keesokan harinya, aku kembali menemui Bu Rasti dan menunjukkan liontin itu. Matanya melebar.
"Ini... ini liontin yang dipakai Sinta. Tapi waktu ditemukan dulu, katanya tidak ada... hilang entah ke mana."
Malam itu, aku tidur untuk pertama kalinya tanpa mimpi. Tidak ada gang. Tidak ada suara. Tidak ada sosok perempuan. Hanya tidur yang tenang.
Tapi cerita belum selesai.
Tiga hari kemudian, Dimas datang terburu-buru ke kontrakanku.
"Lo bawa liontin itu ke rumah ya?" tanyanya dengan napas terengah.
"Iya, kenapa?"
"Aku nemu foto di kampus. Katanya dulu Sinta kuliah di sini. Tapi... katanya dia bunuh diri, bukan kecelakaan. Karena diputusin cowoknya. Cowoknya itu tinggal... di rumah lo sekarang."
Aku terdiam. Tiba-tiba seluruh potongan cerita terasa berubah. Selama ini aku kira dia korban. Tapi ternyata ada luka yang lebih dalam.
Malam itu, mimpi kembali datang. Tapi kali ini berbeda. Aku berada di dalam rumah... kamarku sendiri. Sinta berdiri di pojokan, menangis. Dan aku melihat... bayanganku sendiri di cermin, tapi bukan aku. Wajahnya berbeda. Tapi... dia tersenyum sinis.
Sinta menatapku dan berkata, "Bukan kamu yang harus bantu. Tapi dia yang harus minta maaf."
Aku terbangun dengan tubuh lemas. Sekarang aku tahu, cerita Sinta belum selesai. Aku bukan kuncinya. Tapi rumah ini... menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang aku tahu.
Malam-malam berikutnya tidak lagi dihantui mimpi, tapi dihantui kenyataan. Aku mulai mendengar suara tangisan dari kamar kosong sebelah. Padahal aku tinggal sendiri. Dimas pun tidak lagi berani menginap.
“Lo harus pindah, Rin. Rumah itu... bukan cuma dihuni sama lo,” katanya dengan serius.
Tapi setiap kali aku mencoba mencari kontrakan baru, selalu ada halangan. Entah tiba-tiba kontrak penuh, harga dinaikkan, atau akses jalan tertutup. Seakan ada sesuatu yang membuatku tetap tinggal di rumah itu.
Suatu malam, aku iseng mencari informasi pemilik rumah sebelumnya. Aku berhasil menghubungi Pak Sugeng, pria tua yang pernah tinggal di rumah itu sebelum aku.
“Apa Mas Rino pernah bermimpi jalan gelap? Cewek di ujung gang?” tanyanya tiba-tiba saat di telepon.
Aku tercekat. “Iya... kok Bapak tahu?”
“Saya juga pernah diganggu. Tapi saya tidak sekuat Mas Rino. Saya kabur waktu tahu kamar mandi belakang itu... tempat dia bunuh diri. Bukan di gang.”
Dunia seakan runtuh di kepalaku. Jadi selama ini, mimpi itu bukan tentang tempat... tapi tentang peristiwa. Dan liontin itu bukan sekadar barang yang hilang, tapi petunjuk.
Keesokan malamnya, aku memberanikan diri masuk ke kamar mandi belakang. Aku duduk di sana dalam gelap. Bau lembap dan anyir sangat kuat. Dan di situlah... aku mendengarnya lagi.
Suara tangisan. Pelan. Lalu suara perempuan berkata, "Ajak dia ke sini."
Aku tahu maksudnya. Bukan aku yang dibutuhkan. Tapi laki-laki yang membuatnya seperti ini.
Keesokan harinya, aku mengirim liontin itu ke alamat mantan pacarnya yang kini tinggal di kota lain. Tanpa surat. Tanpa pesan. Hanya liontin.
Sejak saat itu... semuanya berhenti.
Tidak ada mimpi. Tidak ada suara. Tidak ada bayangan. Rumah ini kembali sunyi... tapi bukan sunyi yang mengancam. Sunyi yang... damai.
Kini aku tahu. Kadang, arwah yang gentayangan bukan untuk menakut-nakuti. Tapi mereka hanya ingin didengar. Diingat. Dan diakhiri dengan layak.
Tapi sampai sekarang, setiap aku melewati gang belakang... lampu jalan itu masih berkedip-kedip. Seolah... masih ada yang menunggu.
Posting Komentar