Tanpa Kusadari Tetanggaku Semuanya Hantu
Kampung Pucung Bukan untuk Manusia
Namaku Reza. Aku baru saja pindah ke sebuah rumah sewa di sebuah kampung kecil bernama Kampung Pucung, di pinggiran kota Bandung. Sebagai freelance desainer grafis, aku mencari tempat yang tenang dan murah. Rumah di kampung ini cocok: luas, murah, dan dikelilingi oleh tetangga yang ramah.
Dari hari pertama, aku langsung disambut oleh para tetangga. Ada Bu Yanti yang tinggal di sebelah kiri rumahku, Pak Harto di ujung jalan, dan si kembar Dina dan Dini yang sering bermain di depan rumah. Mereka semua sangat ramah, dan meskipun kampung ini cukup sunyi, aku merasa nyaman.
“Kalau malam jangan keluar ya, Mas Reza,” pesan Bu Yanti sambil memberikan sepiring pisang goreng. “Di sini banyak binatang liar.”
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Siap, Bu. Terima kasih ya.”
Hari-hariku berjalan normal. Aku bekerja di rumah, kadang ngobrol dengan Pak Harto yang suka duduk di pos ronda, dan sesekali memberi permen pada si kembar Dina dan Dini. Tapi lama-lama, aku merasa ada yang ganjil.
Setiap malam, aku mendengar suara langkah kaki berlarian di depan rumah. Saat kulihat, tidak ada siapa-siapa. Tapi keesokan paginya, Dina dan Dini selalu bilang, “Maaf ya, Om. Tadi malam kita main lagi.”
“Kalian main jam dua pagi?” tanyaku bingung.
Keduanya hanya tertawa kecil, lalu lari begitu saja.
Beberapa malam kemudian, aku melihat Bu Yanti berdiri di depan rumahku. Hanya berdiri. Diam. Menatapku dari jauh. Saat kubuka pintu dan mendekat, ia tiba-tiba tidak ada. Tapi saat pagi datang, ia kembali mengantarkan makanan seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa.
“Bu, tadi malam Ibu berdiri di depan rumah saya ya?” tanyaku pelan.
Bu Yanti tersenyum. “Ah, Mas Reza mimpi kali. Saya tidur dari habis isya.”
Aku mulai curiga. Lalu kuputuskan untuk mencari informasi tentang kampung ini ke warung di luar kampung. Pemilik warung, Mang Ujang, yang asli dari desa sebelah, langsung memasang ekspresi tegang saat kuceritakan tentang tempat tinggalku.
“Kampung Pucung? Mas tinggal di situ?”
“Iya. Kenapa, Mang?”
“Itu kampung kosong, Mas. Dulu pernah ada kebakaran hebat delapan tahun lalu. Satu kampung habis, semua meninggal. Sejak itu nggak ada yang berani tinggal di sana. Tapi memang aneh, kadang ada orang yang ‘ngira’ kampung itu masih hidup.”
Jantungku berdegup kencang. “Tapi saya tinggal di sana, Mang. Banyak orang. Tetangga saya... mereka ngobrol sama saya!”
Mang Ujang menggeleng, wajahnya serius. “Kalau Mas lihat mereka, berarti mereka juga bisa lihat Mas.”
Sepulangnya ke rumah, aku mencoba tetap tenang. Tapi malam itu aku pasang kamera CCTV dari dalam rumah, menghadap ke luar. Aku ingin tahu siapa sebenarnya yang mondar-mandir tiap malam.
Keesokan paginya, saat mengecek rekaman, tubuhku langsung dingin. Di rekaman itu, rumahku tampak gelap dan sunyi. Tidak ada lampu menyala. Tapi yang paling mengejutkan, aku tidak terlihat sama sekali di dalam rumah. Padahal aku yakin berada di sana semalaman.
Lebih parah lagi, para tetanggaku... semuanya juga tidak terlihat. Tidak ada anak kecil berlari. Tidak ada Bu Yanti. Tidak ada siapa-siapa. Tapi aku mendengar suara mereka semalaman.
Aku mulai tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana yang bukan. Aku coba menghubungi teman-teman, tapi sinyal di kampung ini seperti dikacaukan. Semua panggilan gagal. Internet mati total. Aku seperti terperangkap.
Kemudian, malam itu aku nekat. Aku keluar rumah dan mengunjungi rumah Pak Harto. Saat kudorong pintunya, rumah itu kosong. Tak berperabot. Debu di mana-mana. Seperti tidak ditinggali selama bertahun-tahun.
Tiba-tiba terdengar suara di belakangku. “Mas Reza, kenapa masuk-masuk aja?”
Itu suara Pak Harto. Tapi tubuhnya... tidak menapak tanah. Bayangannya tidak ada. Dan matanya... hitam kosong seperti lubang tak berdasar.
Aku lari sekuat tenaga ke rumah. Mengunci pintu dan menutup jendela. Namun suara-suara mulai berdatangan dari luar. Tawa anak-anak. Ketukan di dinding. Nyanyian lembut seperti lagu nina bobo.
Keesokan paginya, kampung itu tampak seperti biasa. Semua orang bertingkah normal. Dina dan Dini bermain di halaman. Bu Yanti menyapu. Tapi kini aku tahu: mereka bukan manusia.
Dan yang paling membuatku gemetar, adalah ketika kulihat pantulan wajahku di cermin kamar. Mataku... mulai menghitam. Sama seperti mereka.
Beberapa hari kemudian, aku mencoba meninggalkan kampung itu. Namun anehnya, jalan keluar selalu kembali ke tempat yang sama. Entah aku belok kanan atau kiri, aku selalu kembali ke rumahku. Seolah kampung ini melingkar dan menelanku perlahan.
“Kamu nggak bisa pergi, Mas,” suara Bu Yanti tiba-tiba muncul di belakangku. “Kamu udah milih tinggal. Berarti kamu bagian dari kami.”
“Tidak! Saya cuma sewa rumah! Saya cuma sementara!” teriakku.
“Sementara untukmu. Tapi selamanya buat kami,” katanya sambil tersenyum dingin.
Aku mulai mengurung diri. Hari-hariku jadi kabur. Kadang siang, kadang malam. Kadang aku merasa hidup, kadang seperti melayang. Suara-suara di malam hari berubah jadi bisikan. Mereka memanggil namaku terus-menerus.
“Reza... Kamu sudah tahu. Kamu sudah lihat. Sekarang kamu milik kami.”
Satu-satunya yang membuatku bertahan adalah harapan bahwa seseorang, entah siapa, akan menyadari keberadaanku dan datang menolong. Tapi siapa yang akan percaya jika aku bilang semua tetanggaku adalah hantu?
Lalu suatu malam, aku mendengar suara motor mendekat. Lampu dari luar menyilaukan jendela rumah. Aku keluar dengan tergesa, berharap itu kurir atau orang luar. Tapi saat pintu terbuka... aku melihat diriku sendiri berdiri di sana.
Dia—aku—tersenyum. “Akhirnya kamu keluar.”
“Siapa kamu?” tanyaku dengan suara gemetar.
“Aku adalah kamu yang sebenarnya. Kamu yang sudah mati di hari pertama datang ke sini.”
Kepalaku pening. Dunia berputar. Semua kenangan terasa kabur. Benarkah aku sudah mati?
“Tapi... aku masih bernapas...”
“Bernapas bukan berarti hidup. Kamu hanya tertinggal di sini. Bersama mereka. Bersama kita.”
Lalu semua tetanggaku muncul di belakangnya. Bu Yanti, Pak Harto, si kembar Dina dan Dini. Mereka semua berdiri dalam diam, memandangku dengan tatapan kosong. Kini aku tak bisa lari. Tubuhku terasa ringan. Bayanganku menghilang.
Malam itu, aku akhirnya paham. Aku tidak tinggal bersama hantu. Akulah hantu yang tinggal bersama mereka.
Dan setiap malam... rumah itu masih terlihat terang. Masih ada yang menyambut pendatang baru. Masih ada tawa anak kecil. Karena selalu akan ada “yang datang”... dan tanpa sadar menjadi bagian dari kami.
Posting Komentar