Teks Majapahit Pemanggil Arwah

Table of Contents
Jangan Baca Teks Santet Terkutuk Itu - Cerpen Horor Mania

Jangan Baca Teks Santet Terkutuk Itu

“Jangan pernah baca teks santet itu, Fikri. Aku serius!” suara Nanda terdengar gemetar.

Fikri hanya tertawa kecil, mengabaikan peringatan sahabatnya. Di tangannya, selembar kertas kuning kecokelatan tergenggam erat. Huruf-hurufnya ditulis dengan tinta merah seperti darah, dalam aksara Jawa kuno yang sebagian telah diterjemahkan oleh seorang dosen filologi mereka.

Malam itu mereka berada di desa Tlogojati, Jawa Tengah, dalam rangka penelitian skripsi tentang budaya santet dan sejarah naskah kutukan. Desa itu terkenal dengan satu legenda mengerikan: naskah santet yang konon dapat membunuh siapa pun yang membacanya dengan suara keras.

“Ini cuma cerita rakyat,” ujar Fikri santai. “Kita mahasiswa, Ndra, masa percaya hal begituan.”

Nanda menatap sahabatnya dengan gusar. “Bukan soal percaya atau nggak. Kalau penduduk sini sampai larang keras kita baca keras-keras, pasti ada sebabnya.”

Di luar, angin malam berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan jati. Suasana rumah tua yang mereka tempati sebagai basecamp terasa semakin menyeramkan. Kayu-kayunya sudah keropos, jendela berderit ketika tertiup angin.

Namun Fikri tetap bersikeras. “Gue penasaran, Ndra. Nggak semua hari kita bisa nemu teks kuno yang katanya bisa bikin orang mati.”

Sebelum Nanda sempat menahan, Fikri membuka lipatan terakhir naskah itu. Ia mulai membaca, perlahan tapi jelas, suara beratnya menggema di seluruh ruangan.

“Aku mulai merinding,” bisik Nanda sambil mundur ke sudut ruangan. Lampu minyak satu-satunya tiba-tiba meredup, lalu mati seketika.

Ruangan gelap gulita. Hanya suara jangkrik dan napas mereka yang terdengar. Tiba-tiba, dari sudut rumah terdengar suara berbisik dalam bahasa Jawa halus, nyaris tak terdengar.

“Ndra, lo denger nggak?” tanya Fikri pelan.

“Gue kira itu lo,” jawab Nanda dengan wajah pucat.

Suara itu makin jelas. Seperti seorang perempuan tua sedang melantunkan mantra dengan nada penuh amarah. Tiba-tiba, pintu belakang terbuka sendiri, memperlihatkan sosok bayangan tinggi kurus berdiri mematung. Rambutnya panjang hingga menyentuh lantai, wajahnya tidak terlihat karena tertutup tirai rambut.

“TUTUP KERTAS ITU!” suara itu menggema seperti dari berbagai arah sekaligus.

Nanda menjerit. Fikri gemetar, menjatuhkan kertas dari tangannya. Tapi sudah terlambat. Segel naskah itu telah terbuka, dan roh yang tertidur di dalamnya kini terlepas.

***

Keesokan paginya, warga menemukan rumah tua itu dalam keadaan porak-poranda. Fikri tergeletak di lantai dengan mata terbuka lebar, lidah terjulur, dan tubuh penuh bercak luka bakar. Sementara Nanda masih hidup, namun hanya bisa menggumam kata yang sama berulang-ulang: “jangan baca… jangan baca…”

Warga geger. Pak Lurah memanggil dukun setempat, Mbah Rekso, yang dikenal sebagai penjaga ilmu leluhur desa.

“Kalian membuka teks santet kuno itu?” tanya Mbah Rekso pada Nanda, yang hanya bisa menunduk sambil menangis.

“Satu dari tujuh segel kutukan telah pecah,” kata Mbah Rekso lirih. “Kalau tidak dihentikan, korban akan terus berjatuhan.”

Dua hari kemudian, desa Tlogojati dilanda keanehan. Tiga orang warga yang sempat ikut mengangkat tubuh Fikri meninggal mendadak dalam tidur, semua dengan kondisi wajah membiru dan mata terbelalak seperti menyaksikan sesuatu yang sangat mengerikan sebelum mati.

Ketakutan mulai menyelimuti desa. Para orang tua menyuruh anak-anak mereka tetap di dalam rumah saat maghrib. Namun suara-suara aneh semakin sering terdengar dari hutan belakang desa—tempat di mana teks santet itu pertama kali ditemukan oleh Fikri.

“Teks itu harus dibakar,” desak Pak Lurah.

Mbah Rekso menggeleng. “Tidak bisa. Api biasa tak akan memusnahkan kutukannya. Harus dikembalikan ke tempat asalnya, dan disegel ulang dengan darah orang yang membukanya.”

“Tapi Fikri sudah mati,” sahut Nanda pelan. “Jadi… siapa?”

Mbah Rekso menatap tajam ke arah Nanda. “Siapa yang membaca bagian terakhir?”

Nanda terdiam. Ia ingat, setelah Fikri mulai membaca, ia sempat mengucapkan ulang beberapa kata dengan suara pelan, mencoba memahami artinya. Tanpa sadar, ia juga telah ikut membuka segel kedua.

“Kalau kamu ikut membaca, maka darahmu harus digunakan untuk menyegel ulang,” kata Mbah Rekso datar.

“Kalau aku nolak?”

“Kutukannya akan terus mengejar. Bukan cuma kamu, tapi semua yang berinteraksi dengan teks itu.”

***

Malam ketujuh sejak Fikri meninggal, Nanda bersama Mbah Rekso dan beberapa warga menuju ke hutan belakang. Mereka membawa teks itu dalam kotak bambu yang telah dilapisi doa-doa dan daun kelor. Di tengah hutan, mereka menemukan batu besar berlumut dengan bekas pahatan tua berbentuk segel.

“Di sinilah teks itu dulu disegel. Dahulu, seorang dukun sakti mengurung roh dendam dari kerajaan Majapahit dalam naskah ini. Ia adalah istri simpanan raja yang dibakar hidup-hidup karena dianggap pembawa sial,” ujar Mbah Rekso.

Ritual dimulai. Nanda diminta meneteskan darah dari jarinya di atas naskah. Namun saat darah menyentuh kertas itu, tanah di bawah mereka bergetar pelan.

Dari balik semak, sosok wanita tinggi kurus muncul lagi. Kali ini lebih jelas. Matanya menyala merah, wajahnya hangus, dan mulutnya berbisik mantra kematian.

“KALIAN TIDAK AKAN MENGURUNGKU LAGI!” teriaknya sambil melayang ke arah mereka.

Namun Mbah Rekso sudah bersiap. Ia menaburkan serbuk hitam ke arah sosok itu sambil membacakan mantra penutup. Nanda menahan rasa sakit di jarinya, menekan darah lebih banyak ke dalam naskah sambil mengulang mantra segel yang diajarkan sebelumnya.

Teriakan roh itu menggema hingga langit. Angin berhembus kencang dan tiba-tiba semuanya hening.

Sosok wanita itu lenyap. Teks itu kini hangus terbakar dengan sendirinya, tanpa api.

“Sudah selesai?” tanya Nanda dengan napas tersengal.

Mbah Rekso menatapnya lama. “Untuk sekarang, ya. Tapi segel hanya bisa bertahan satu generasi. Kalau ada yang menemukan teks lain, sejarah ini bisa terulang.”

Nanda menatap langit malam, merasa bersalah, namun lega. Ia tahu, bayangan teks kutukan itu akan terus menghantuinya… sampai akhir hayat.

***

Setahun berlalu. Nanda sudah pindah ke luar kota, mencoba menjalani hidup normal. Namun mimpi buruk tak pernah berhenti. Ia terus melihat sosok wanita terbakar itu dalam tidurnya, seolah masih menginginkan sesuatu darinya.

Suatu malam, Nanda menerima paket tanpa nama. Di dalamnya hanya ada sebuah amplop coklat dan secarik kertas: “Terjemahkan ini. Penting.”

Dengan gemetar, ia membuka lipatannya. Hatinya nyaris berhenti berdetak.

Itu adalah teks baru. Dengan tulisan dan pola simbol yang mirip dengan teks santet lama, namun dalam bahasa yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

“Tidak… ini belum selesai…” bisiknya ketakutan.

Telepon berdering. Nomor tak dikenal.

“Jangan baca teks itu,” suara Mbah Rekso dari seberang telepon. “Kita pikir hanya satu naskah. Ternyata ada tujuh… dan kamu sudah memanggil yang kedua.”

Posting Komentar