Temanku Sudah Mati Saat Mendaki
Yang Turun Bersamaku Bukan Manusia
Aku masih ingat jelas malam itu. Malam ketika kami memutuskan untuk mendaki Gunung Salak melalui jalur Cimelati. Ada aku, Bima, dan tiga temanku yang lain: Dito, Rafi, dan Yuda. Cuaca saat itu cukup bersahabat meski kabut turun cepat. Tapi tidak ada satu pun dari kami yang menyangka... hanya tiga dari kami yang akan pulang.
Pendakian dimulai pukul 11 malam. Kami ingin mengejar sunrise dari puncak. Dito paling semangat. Ia sudah lima kali mendaki Salak dan tahu banyak soal mitos-mitosnya. Ia hanya bilang, “Jangan pernah sombong di gunung ini.” Kami hanya tertawa, menganggapnya bercanda.
Di pos 2, kabut mulai menebal. Suhu turun drastis, dan suara hutan seperti berubah. Aku merasa ada yang mengikuti kami. Tapi setiap kali aku menoleh, tidak ada apa-apa. Rafi bahkan sempat bilang, “Lu denger nggak, tadi ada yang manggil nama gue.” Kami tertawa lagi. Tapi Dito tidak. Wajahnya murung.
“Jangan jawab kalau dipanggil dari belakang,” bisik Dito. Suaranya serius, bahkan sedikit gemetar. “Itu bukan teman kita.”
Semua jadi diam. Hanya suara langkah dan desir angin yang terdengar. Tiba-tiba, Yuda yang berjalan di belakang kami berteriak. “Dito!” Kami semua menoleh. Tapi tidak ada siapa-siapa. Yuda menunjuk ke semak-semak. “Tadi dia jalan ke situ! Gue lihat jelas!”
Kami panik. Dito yang tadi di depan kami, entah bagaimana bisa muncul di belakang lalu hilang ke hutan. Kami cari dia sampai hampir satu jam. Tapi hutan gelap, dan kabut makin pekat. Akhirnya kami sepakat lanjut naik dan akan meminta bantuan saat di atas.
Tapi anehnya, begitu sampai pos 4, Dito ada di sana. Duduk santai, seperti tidak terjadi apa-apa. “Lama banget, bro,” katanya datar. Kami semua terdiam. Rafi mendekatinya, “Lu tadi hilang ke bawah, Dit. Kita nyariin lu.” Tapi Dito hanya tersenyum aneh. “Gue nggak pernah ke mana-mana.”
Malam itu kami bermalam di pos 5. Kami buat api unggun kecil, makan seadanya, dan mencoba tidur. Tapi aku tak bisa. Dito duduk menatap hutan sepanjang malam. Aku mendekatinya. “Lu baik-baik aja?” Dia tidak menjawab. Tapi kalimat berikutnya membuat darahku membeku.
“Gue udah mati, Ham. Tapi bukan di sini.”
Aku mengira dia bercanda, tapi wajahnya kosong. Matanya seperti tidak melihatku, tapi menembus ke balik kabut. “Lu jangan aneh-aneh, Dit. Ini bukan waktu yang tepat,” kataku sambil menjauh. Tapi kata-katanya terus terngiang.
Pagi harinya, kami kehilangan Rafi. Kami menemukan tas dan jaketnya tergantung di pohon. Tapi tak ada jejaknya. Dito berdiri di dekat pohon itu, memegang sesuatu yang membuat jantungku nyaris berhenti. Itu adalah topi Rafi, yang ia pakai semalam saat tidur.
“Ada yang manggil dia tadi malam. Dia jawab. Sekali aja,” bisik Dito.
Kami putuskan turun. Tidak peduli lagi soal sunrise atau puncak. Ini sudah terlalu aneh. Tapi saat menuruni jalur yang sama, kami hanya berjalan berdua: aku dan Yuda. “Dito mana?” tanyaku. Yuda menatapku heran. “Bukannya lu bareng dia dari tadi?”
Aku merinding. Aku jelas bersama Dito sampai beberapa menit lalu. Tapi dia menghilang begitu saja. Dan yang membuatku benar-benar ketakutan adalah, saat kami sampai di basecamp, petugas pos mendekat dengan wajah bingung.
“Kalian berdua saja?” tanyanya.
“Enggak, kami berlima. Tapi satu hilang di atas, satu lagi turun lebih dulu,” jawabku. Petugas itu menggeleng pelan. “Tadi pagi kami nemu satu jenazah pendaki sekitar 100 meter dari jalur. Sudah kaku. Ini fotonya.” Dia menunjukkan foto dari ponselnya. Aku nyaris muntah. Itu Dito. Dengan jaket yang sama. Dengan wajah yang sama seperti semalam.
“Tidak mungkin… dia bersama kami… bahkan pagi ini…” kataku gemetar.
Yuda duduk lemas. Tangannya gemetar. “Jadi… siapa yang turun bersama kita?”
Kami langsung dibawa ke posko SAR, dan jasad Dito dijemput oleh keluarganya. Petugas bilang, kemungkinan ia jatuh malam sebelumnya. Waktu kematiannya diperkirakan sudah lebih dari 10 jam. Tapi aku masih ingat, dia menyentuh bahuku... pagi tadi.
Setelah kejadian itu, kami berdua trauma. Aku mulai sering mimpi buruk. Dalam mimpi, Dito memanggilku, berdiri di kabut, dan berkata, “Lu harus balik. Gue belum selesai.” Mimpi itu datang berulang kali, selama berminggu-minggu. Sampai aku memutuskan kembali ke Gunung Salak.
Kali ini aku datang sendirian. Aku ingin meletakkan jaket Dito di tempat terakhir dia terlihat. Aku percaya, mungkin itu akan membuat rohnya tenang. Aku naik siang hari, dengan izin petugas. Tapi saat sampai pos 4, suasana berubah drastis.
Kabut tebal turun tiba-tiba, angin mati. Hening. Aku berjalan ke arah pohon tempat topi Rafi ditemukan. Dan di sana… berdiri seseorang.
Itu Dito.
Aku terdiam. Kaki terasa berat. Ia tersenyum padaku. “Akhirnya lu datang juga,” katanya. Aku tidak bisa menjawab. Ia melangkah pelan mendekat, dan aku bisa mencium bau tanah basah dan darah. Ia menunjuk ke sebuah batu besar.
“Di balik batu itu... masih ada satu lagi yang belum pulang.”
Aku mendekat perlahan, dan jantungku nyaris berhenti saat menemukan... jasad. Sudah membusuk, namun masih memakai jaket merah. Rafi. Jasadnya tidak pernah ditemukan saat evakuasi pertama.
Tiba-tiba, kabut memudar, dan sosok Dito menghilang. Tapi aku tahu, ia hanya ingin menunjukkan kebenaran. Aku segera turun dan melaporkan penemuan itu. Evakuasi dilakukan keesokan harinya. Tim SAR menemukan jasad Rafi tepat di tempat yang ditunjukkan Dito.
Setelah kejadian itu, mimpi burukku berhenti. Dito tidak pernah muncul lagi. Aku yakin… ia hanya ingin memastikan semua temannya ditemukan. Ia belum bisa pergi... sebelum kami lengkap.
Gunung menyimpan lebih banyak dari sekadar pohon dan batu. Ia menyimpan kenangan, roh yang belum selesai, dan cerita yang kadang tidak boleh diungkap. Tapi aku menulis ini, agar kalian tahu: jika ada temanmu yang memanggilmu di hutan... pastikan dulu, dia benar-benar manusia.
Kini setiap kali melihat kabut di hutan, aku selalu terdiam sejenak. Karena di balik kabut itu, bisa jadi… ada teman yang belum pulang.
Posting Komentar