Teror di Lembah Kaki Gunung Gede
Kisah Horor Pendaki yang Tak Pernah Kembali
Namaku Rangga, seorang pendaki dari Jakarta. Aku dan tiga temanku—Adit, Vina, dan Riko—merencanakan perjalanan ke Gunung Gede, Cianjur, sebagai bentuk pelarian dari rutinitas. Kami memilih jalur via Cibodas karena kabarnya lebih aman dan pemandangannya indah. Tapi kami tak tahu bahwa keindahan itu menyembunyikan teror yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya.
Perjalanan dimulai dengan lancar. Kami berangkat Jumat malam dan tiba di basecamp pagi hari. Setelah mengurus izin, kami mulai mendaki dengan semangat. Jalur masih basah karena hujan semalam, tapi udara segar menyemangati langkah kami.
“Katanya ada lembah tersembunyi di bawah Gunung Gede, namanya Lembah Sagara. Belum banyak orang tahu,” kata Riko sambil membuka peta digital di HP-nya.
“Itu ilegal, Ko. Jalurnya bukan resmi,” ujar Vina khawatir.
Namun Riko bersikeras. “Justru itu yang seru. Gak banyak yang ke sana. Kita bisa jadi yang pertama nge-post foto di sana.”
Entah apa yang merasuki kami, akhirnya kami sepakat untuk berbelok dari jalur resmi saat mendekati pos Kandang Badak. Riko memimpin, menyusuri jalan setapak yang sempit, hampir tertutup semak. Di sanalah semuanya mulai terasa aneh.
Langit tiba-tiba mendung meski sebelumnya cerah. Udara berubah dingin menusuk. Tak ada sinyal, tak ada suara burung atau serangga. Hanya angin yang berdesir lemah, seolah mengintai kami.
“Kayak ada yang ngikutin dari tadi,” bisik Vina sambil merapat padaku.
“Mungkin hewan,” jawabku. Tapi jantungku mulai berdebar aneh. Beberapa kali aku merasa melihat bayangan putih melintas cepat di antara pepohonan.
Setelah satu jam menembus hutan, kami tiba di lembah kecil dengan tanah lapang dan kabut tipis menyelimuti sekitar. Suasananya sunyi. Terlalu sunyi.
“Kita ngecamp di sini aja malam ini,” kata Riko dengan semangat. Kami pun mendirikan tenda dan memasak mie instan seadanya. Namun malam itu, teror dimulai.
Sekitar pukul 01.00 dini hari, aku terbangun oleh suara orang berbisik di luar tenda.
“Tolong... jangan tinggalkan aku...”
Suara perempuan. Lirih dan menggema seperti berasal dari banyak arah.
“Vin?” panggilku sambil membuka tenda, tapi Vina sedang tidur lelap di dalam. Begitu juga Adit dan Riko.
Di luar, kabut makin tebal. Tapi di kejauhan, aku melihat sesosok perempuan berdiri membelakangiku. Rambutnya panjang menjuntai. Bajunya compang-camping dan berwarna kusam. Dia diam, tak bergerak. Saat aku melangkah mundur, dia berbalik cepat.
Wajahnya penuh luka. Matanya bolong. Mulutnya sobek hingga ke telinga.
“BALIKKAN DIA!!!” jeritnya tiba-tiba, membuatku jatuh terduduk.
Teman-temanku terbangun karena teriakanku. Tapi saat mereka keluar, sosok itu sudah menghilang.
“Lo ngimpi, Rangga?” tanya Adit.
“Enggak... gue liat dia jelas banget...”
Riko terlihat panik, lebih dari biasanya. “Kayaknya... kita masuk wilayah terlarang,” katanya pelan. “Gue baca di forum, pernah ada pendaki yang hilang di lembah tersembunyi Gunung Gede. Mereka bilang tempat itu ‘bukan milik manusia’.”
“Kita harus turun sekarang juga,” kata Vina.
Kami berkemas cepat dan mulai turun meski masih gelap. Tapi arah pulang seperti berubah. Jalur yang kami lalui kemarin tak lagi ada. Kompas berputar-putar tak menentu.
“Gue yakin lewat sini!” Riko bersikeras menembus hutan ke arah kanan. Tapi yang kami temui malah sungai kecil yang airnya berwarna kemerahan seperti darah.
“Kita muter-muter,” ucapku frustasi. “Kita kejebak.”
Ketika kami berdebat, suara tertawa anak kecil terdengar dari belakang. Kami menoleh bersamaan. Tak ada siapa pun. Tapi suara itu terdengar lagi, kini dari arah lain. Semakin dekat... dan dekat...
“BERLARI!!!” teriak Adit, dan kami semua kabur tanpa arah, menembus hutan hingga terpisah.
Aku jatuh tergelincir ke dalam semak, kepala terbentur batu, dan pandanganku kabur. Dalam keadaan setengah sadar, aku melihat sesosok pria tua berjubah putih berdiri di atas batu, menatapku.
“Kalian melanggar batas,” katanya pelan. “Yang datang ke sini harus meninggalkan sesuatu... atau seseorang.”
“Apa maksudmu?” tanyaku lirih, mencoba bangun.
“Satu harus tinggal, agar tiga bisa pergi.”
Setelah itu, aku pingsan. Saat sadar, aku sudah berada di pos pendakian. Vina dan Adit menangis sambil memelukku. Tapi Riko... tidak ada.
“Kami nemuin lo pingsan di jalur resmi. Tapi Riko...” kata Vina terisak. “Dia hilang.”
Tim SAR mencari selama seminggu. Tak ada jejak. Bahkan tendanya pun tak ditemukan. Kami mencoba menjelaskan apa yang kami alami, tapi semua orang menganggap kami trauma dan berhalusinasi.
Beberapa minggu setelah kejadian, aku kembali ke Gunung Gede. Aku merasa ada yang belum selesai. Sendirian aku naik hingga pos terakhir yang kami lewati. Di sana, aku meletakkan bunga dan membakar dupa kecil. Aku berharap bisa mendapatkan jawaban.
Namun bukan jawaban yang datang, melainkan teror baru.
Dari kabut, muncul suara pelan. “Rangga...”
Aku menoleh cepat. Di antara pohon cemara, berdiri sosok Riko. Tapi wajahnya pucat, matanya hitam, dan kulitnya penuh tanah.
“Gue udah diizinkan keluar... tapi cuma sebentar.”
“Riko? Astaga, lo hidup?”
“Bukan hidup. Cuma... dikasih waktu buat pamit.”
“Pamit?”
“Gue gak bisa kembali. Karena waktu itu... kalian pilih gue.”
“Enggak! Gue gak pernah milih siapa pun!”
“Tapi mereka milih. Lelaki berjubah itu... dia bilang lo bilang ‘biar Riko aja’ waktu lo gak sadar.”
Hatiku mencelos. Aku tak ingat pernah berkata begitu. Tapi... mungkinkah dalam bawah sadarku, aku mengorbankannya?
“Maafkan gue, Ko...”
Riko tersenyum getir. “Jaga diri kalian. Tempat itu masih lapar.”
Seketika tubuhnya menghilang menjadi kabut yang berputar pelan dan lenyap.
Semenjak itu, aku berhenti mendaki. Tapi tiap malam Jumat, aku masih mendengar suara-suara dari balik jendela kamarku. Suara langkah kaki di tanah lembab, suara seseorang memanggil namaku... dan sesekali, suara Riko berkata, “Gue tunggu lo di lembah...”
Kini aku tahu. Lembah itu bukan sekadar tempat. Ia adalah mulut besar yang tak pernah kenyang menelan nyawa manusia yang terlalu sombong memasuki wilayah yang bukan miliknya.
Posting Komentar