Teror Kabut Gaib Gunung Rinjani
Makhluk Halimun di Pegunungan Rinjani: Teror di Balik Kabut
Gunung Rinjani selalu memanggil para pendaki dengan keindahannya yang memesona. Namun, tak semua yang datang pulang dengan cerita indah. Ada kisah yang tak pernah diceritakan secara terbuka, tentang sosok gaib yang hanya muncul dalam kabut tebal—makhluk halimun, begitu warga lokal menyebutnya.
Namaku Rizal, seorang pendaki dari Jakarta. Bersama tiga temanku—Bayu, Rina, dan Dani—kami memutuskan untuk mendaki Rinjani menjelang akhir tahun. Saat itu, kabut tebal menggantung sejak kami tiba di Pos 3. Tapi kami menganggapnya hal biasa. Gunung memang kerap diselimuti kabut.
“Terlalu sunyi, ya,” gumam Bayu saat kami tiba di tempat camp. Tak ada pendaki lain di sekitar.
“Bagus dong, jadi seperti gunung pribadi,” sahut Rina sambil merebahkan diri di atas matras. Tapi aku merasakan sesuatu yang aneh. Udara terasa lebih berat, dan semacam bau tanah basah yang tidak wajar menguar di antara kabut.
Malam itu, kami berkumpul di tenda sambil bermain kartu. Gelak tawa kami pecah hingga pukul sembilan malam, sebelum satu per satu mulai tertidur. Aku, yang masih terjaga, memutuskan keluar tenda untuk buang air kecil.
Saat aku melangkah menjauh, kabut mendadak menebal. Pandangan menjadi terbatas, tak lebih dari dua meter. Di tengah keheningan, terdengar suara langkah kaki menyeret. Pelan, tapi jelas. Aku menahan napas.
“Halo?” Aku mencoba memanggil, berharap itu hanya Bayu atau Dani.
Tak ada jawaban. Tapi langkah itu makin dekat. Aku berbalik cepat dan berlari kembali ke tenda. Tapi... tak ada tenda di tempat seharusnya.
“Apa ini?” desisku, panik. Semua kabut. Pohon-pohon berubah bentuk seperti bayangan hitam menari. Di antara kabut, aku melihatnya—sesosok tinggi kurus, seolah disusun dari kabut itu sendiri. Ia tak punya wajah, hanya rongga gelap seperti mulut terbuka, mengisap udara.
Aku berteriak, tapi suaraku seperti lenyap ditelan kabut. Tubuhku kaku. Lalu semuanya gelap.
Aku terbangun di dalam tenda. Bayu mengguncang tubuhku.
“Lo kenapa, Zal? Ngigau minta tolong!”
Aku menatap sekeliling. Masih di Pos 3. Rina dan Dani tampak cemas.
“Ada yang aneh di luar,” kataku. “Aku lihat sesuatu.”
Bayu tertawa. “Mimpi kali. Lo ketiduran habis keluar tenda.”
Tapi malam kedua membuktikan bahwa ini bukan sekadar mimpi. Sekitar pukul tiga pagi, Dani membangunkan kami.
“Denger itu?” bisiknya. Suara nyanyian perempuan terdengar lirih dari kejauhan. Bukan lagu modern. Lebih seperti kidung lama, dengan nada sendu menakutkan.
Kami berempat membeku. Rina menggenggam tanganku.
“Siapa yang nyanyi jam segini di gunung?” tanyanya dengan suara gemetar.
“Kita turun aja besok pagi,” putusku. Tapi pagi itu, kabut justru semakin tebal. Jalur turun tak terlihat.
“GPS nggak nyala,” ujar Bayu, menunjukkan ponselnya. “Nggak ada sinyal sama sekali.”
Kami tetap memutuskan turun, mengikuti jalur semampu kami. Tapi jalur itu tak berujung. Seperti berjalan di tempat yang sama. Pohon-pohon yang sama. Batu yang sama. Seharian kami berjalan tanpa keluar dari kabut.
“Ini... kayak tempatnya berubah,” gumam Dani. “Seolah kita diputar-putar di dalam kabut.”
Saat malam tiba, suara itu kembali. Kali ini lebih dekat. Nyanyian berubah jadi bisikan.
“Kembalilah... Jangan lihat aku...”
Kami menutup telinga, tapi suara itu masuk ke kepala. Tenda kami bergetar. Kabut masuk dari celah tenda seperti makhluk hidup.
Aku keluar, mencoba melawan rasa takut. Dan di sana... dia berdiri. Sosok tinggi itu. Lebih jelas dari sebelumnya. Tangannya panjang dengan jari-jari kurus, seperti ranting mati. Di punggungnya menggantung ratusan wajah manusia—wajah yang menangis, berteriak, beberapa bahkan masih bergerak.
Rina keluar dan menjerit. Makhluk itu bergerak cepat ke arahnya. Aku menariknya dan kami berlari ke hutan, tak tahu arah.
Tiba-tiba Bayu muncul dari kabut, wajahnya penuh luka gores.
“Kita harus pergi dari sini! Makhluk itu mengincar kita karena kita tertawa di tempat keramat!” teriaknya.
Dani tak ada. Kami mencarinya semalaman, namun sia-sia. Hingga pagi tiba, dan mendadak kabut menghilang. Jalur turun muncul kembali.
Kami turun tanpa bicara, kecuali sesekali menyebut nama Dani. Sampai akhirnya kami tiba di basecamp, dan segera melapor ke petugas.
Tapi saat kami menyebut nama Dani, petugas itu terdiam lama. Ia menatap kami dengan ragu.
“Dani?” tanyanya pelan. “Kalian bilang kalian berempat. Tapi... dari awal aku catat cuma tiga orang yang naik.”
Kami saling menatap. “Mustahil! Dani naik bersama kami! Kami bahkan punya foto—”
Aku membuka ponsel. Tak satu pun foto menunjukkan Dani. Di setiap gambar, hanya ada aku, Rina, dan Bayu. Bahkan di video kami bercanda, suara Dani tak terdengar.
Bayu mendadak lemas. “Jadi siapa yang selama ini... bersama kita?”
Kami semua membisu. Di kejauhan, puncak Rinjani kembali diselimuti kabut tebal. Dan dari balik kabut itu, terdengar sayup-sayup nyanyian yang sama...
Kidung halimun.
Tiga bulan setelah kejadian itu, aku mencoba kembali ke Rinjani. Bukan untuk mendaki, tapi untuk mencari jawaban. Aku menyewa pemandu lokal bernama Pak Karta, seorang lelaki tua yang katanya tahu jalur-jalur gaib gunung.
“Kalau kamu lihat sosok tinggi yang muncul dari kabut, jangan pandang matanya,” kata Pak Karta saat kami mulai naik ke Pos 3.
“Apa itu benar makhluk halimun?” tanyaku.
Ia menatapku lama, lalu menjawab, “Bukan cuma makhluk. Ia adalah penjaga batas. Siapa pun yang tak menghormati gunung, akan dibawa masuk ke ‘lapisan keempat’—tempat di antara dunia nyata dan arwah.”
Aku menelan ludah. “Apa Dani mungkin... dibawa ke sana?”
“Kalau dia bukan manusia sejak awal, mungkin dia yang membawamu ke sana,” bisik Pak Karta pelan.
Ucapan itu membekas di kepalaku hingga malam tiba. Saat kami bermalam di Pos 3, aku diam-diam memutar rekaman lama kami saat masih bersama Dani. Di satu video, Rina sedang tertawa bersama Bayu... dan Dani duduk di belakang mereka, menatap lurus ke kamera.
Tapi... matanya tidak berkedip. Dan wajahnya, dalam bingkai yang seharusnya buram, terlihat sangat jelas. Terlalu jelas.
Aku cepat-cepat menutup ponsel.
Keesokan paginya, Pak Karta mengajakku ke sebuah pohon tua di lereng yang sepi.
“Di sini tempat paling rawan. Banyak pendaki yang tidak kembali setelah lewat sini. Mereka tertawa, bernyanyi, dan meremehkan alam.”
Ia menancapkan dupa dan membacakan doa dalam bahasa Sasak kuno. Kabut perlahan turun meski matahari bersinar terik.
Lalu samar-samar, dari balik kabut, terdengar suara langkah dan bisikan.
Aku menoleh... dan di antara kabut itu, aku melihat siluet seseorang berdiri.
“Dani?” panggilku lirih.
Pak Karta menahanku. “Jangan dekati. Itu bukan manusia lagi.”
Sosok itu tersenyum. Lalu, satu per satu wajah-wajah lain muncul di balik kabut, semuanya dengan mata kosong dan mulut yang terus berbisik dalam kidung halimun.
“Kalian sudah pernah masuk. Tidak bisa keluar sepenuhnya,” ucap salah satu suara, seperti berasal dari tanah.
Kami mundur perlahan. Kabut pun menghilang begitu saja. Tapi sejak saat itu, aku tahu: Pegunungan Rinjani menyimpan lebih dari sekadar keindahan.
Ia menyimpan lorong-lorong gaib yang hanya terbuka bagi mereka yang tak percaya... sampai akhirnya terlambat.
Posting Komentar