Wajah yang Tak Dikenal di Lantai

Table of Contents
Wajah yang Tak Dikenal di Lantai - Cerpen Horor Mania

Wajah Menyeramkan di Lantai, Aku Tidak Dapat Menghapusnya

Aku Ayu, seorang ilustrator freelance yang baru pindah ke rumah kontrakan tua di daerah Ciputat. Rumah itu sederhana, agak berdebu saat pertama kali kutinggali, tapi suasananya tenang. Pemilik rumah bilang, sudah lama rumah itu kosong. Aku tak keberatan, justru aku butuh ketenangan untuk bekerja.

Malam pertama terasa biasa saja. Namun, saat pagi datang dan aku berjalan ke dapur, mataku tertumbuk pada sesuatu di lantai keramik dekat pintu belakang. Ada gambar wajah. Wajah hitam putih dengan mata besar dan ekspresi kosong. Awalnya kupikir itu hanya noda, atau bayangan cahaya yang membentuk pola aneh.

Aku mengambil pel dan mulai membersihkannya.

"Hilang," gumamku lega.

Namun, keesokan paginya, wajah itu muncul lagi. Di tempat yang sama. Kali ini lebih jelas, seperti dilukis dengan arang. Matanya menatap langsung ke arahku.

"Apa ini...?" aku bergumam, merinding.

Kuhapus lagi dengan pel dan sabun lantai. Bahkan kutuang cairan pemutih. Tapi esoknya, wajah itu muncul lagi. Seakan menantang.

Hari keempat, aku menghubungi Bu Rina, pemilik rumah.

"Bu, maaf, ini aneh. Di lantai dapur selalu muncul gambar wajah. Saya sudah bersihkan berkali-kali," jelasku di telepon.

"Wajah?" Bu Rina terdengar bingung. "Dulu juga penyewa sebelum kamu pernah bilang gitu. Tapi saya pikir dia hanya cari alasan buat kabur dari kontrak. Habis itu dia pergi begitu saja."

“Dia pergi?”

“Iya, dan nggak pernah kembali untuk ambil barang-barangnya,” ucap Bu Rina pelan. “Kamu jangan takut ya. Mungkin cuma... ya, halusinasi.”

Halusinasi? Aku bukan orang yang mudah berimajinasi soal mistis. Tapi wajah itu terus muncul, setiap pagi. Bahkan kini... ia mulai berubah.

Hari keenam, wajah itu tersenyum. Senyum lebar tak wajar, seperti senyum badut tapi lebih... jahat.

Aku rekam proses pembersihannya. Tapi di video, wajah itu tak terlihat. Yang terekam hanya aku yang membersihkan lantai kosong. Aku mengulanginya berkali-kali dengan ponsel lain. Hasilnya sama.

“Apa aku gila?” tanyaku pada diri sendiri, duduk gemetar di ruang tengah.

Tak tahan, aku mengajak sahabatku, Vira, menginap.

"Kamu serius? Gambar wajah muncul tiap pagi?" tanya Vira malam itu sambil membawa camilan ke dalam rumah.

"Iya. Kamu bisa lihat sendiri besok pagi. Tapi anehnya, nggak bisa direkam," jawabku sambil mengunci pintu.

Kami tidur berdua di ruang tengah. Saat fajar menyingsing, aku dan Vira bergegas ke dapur.

“Astaga…” Vira mundur setapak.

Wajah itu kembali. Kali ini dengan mata yang tampak menangis darah.

“Kamu lihat kan? Aku nggak bohong!”

“Tapi... ini bukan sekadar gambar. Ini... seperti hidup...” gumam Vira sambil menunduk, wajahnya pucat.

Hari itu, Vira menyarankan untuk membakar lantai itu dengan korek api dan alkohol. Kami coba, berharap wajah itu lenyap.

Api menyala sesaat. Lantai menghitam. Tak ada lagi gambar wajah. Untuk pertama kalinya, aku tidur tanpa rasa takut.

Namun pagi berikutnya...

Wajah itu muncul lagi. Tapi kini bukan di lantai.

"Vira! Lihat ini!" aku menunjuk ke langit-langit kamar.

Wajah yang sama. Senyum lebar. Mata hitam. Menempel di plafon.

"Ini sudah keterlaluan..." Vira mundur pelan. "Kita harus cari orang pintar."

Kami pergi ke seorang paranormal bernama Pak Mulyo, dikenal oleh tetangga sebagai orang yang bisa "melihat lebih jauh".

Pak Mulyo mengusap keningnya setelah melihat rumahku. "Ini bukan arwah biasa. Ini adalah penunggu rumah ini... yang dilupakan."

"Dilupakan?" tanyaku.

"Wajah itu... dulunya manusia. Tapi ia dikubur tanpa nama. Di bawah rumah ini."

Darahku seolah berhenti mengalir.

"Kuburan?"

"Dulu rumah ini dibangun di atas lahan bekas pengungsian tahun '65. Banyak yang mati tanpa identitas, dikubur begitu saja. Yang satu ini... jiwanya masih terikat. Ia marah, karena tak dikenali."

"Lalu kenapa wajahnya terus muncul di lantai dapur?" tanya Vira.

"Karena di sanalah tempat ia mati. Kepalanya dibenturkan sampai tak bernyawa," ucap Pak Mulyo datar. "Setiap pagi, sebelum ajalnya datang, ia menatap dari lantai, memohon dikenali... tapi tak pernah ada yang mengenalnya."

Malam itu kami melakukan ritual sederhana sesuai arahan Pak Mulyo. Membakar kemenyan, menabur bunga, dan berdoa sambil menyebut: *“Kami mengakui kehadiranmu. Maafkan kami. Tenanglah.”*

Pagi esoknya, lantai itu kosong.

Tidak ada wajah.

Hari-hari berlalu. Tak ada lagi gangguan. Sampai suatu malam, aku terbangun oleh suara ketukan dari bawah lantai kayu kamarku.

*Tok... tok... tok...*

Seketika tubuhku membeku. Suara itu pelan, tapi jelas. Perlahan aku mendekatkan telinga ke lantai. Dan kudengar... suara bisikan lirih.

“Aku belum dikenali...”

Keesokan paginya, aku menemukan potongan kuku manusia di bawah pintu lemari dapur. Diikuti bercak tanah basah. Tapi anehnya, lantai itu tetap bersih dari wajah. Ia seolah memberi peringatan... dalam bentuk lain.

Vira menyarankan agar aku menggali di area lantai tempat wajah itu pertama muncul. Dengan berat hati, kami bongkar lantai keramik bagian itu.

Hanya beberapa sentimeter dalam, sekopku menyentuh sesuatu keras. Aku gali dengan tangan... dan kutemukan tulang tengkorak manusia. Masih utuh. Di dahi tengkorak itu, ada bekas retakan lebar. Sama seperti lokasi wajah itu dulu muncul.

Aku terdiam. Rasanya seperti menemukan hantu yang tak hanya menghantui rumah, tapi menghantui sejarah.

“Kita harus kubur dia dengan layak,” ucap Vira tegas.

Dengan bantuan Pak Mulyo, kami memakamkannya di TPU terdekat. Sebuah nisan sederhana diletakkan dengan tulisan: *Tanpa Nama – Dikenang oleh yang menemukanmu.*

Setelah pemakaman, aku merasa lebih tenang. Tapi hanya sampai malam berikutnya...

Ada coretan di cermin kamar mandi. Dengan uap air yang mengembun terbentuk tulisan: *Bukan hanya aku yang dilupakan...*

Lalu esoknya, di dinding luar rumah, terpahat wajah yang berbeda. Lebih kecil, dengan tatapan terkejut.

Pak Mulyo datang kembali, menatap wajah baru itu dengan sorot prihatin. "Sepertinya... rumah ini menyimpan lebih dari satu arwah."

“Berapa banyak?” tanyaku dengan suara gemetar.

Pak Mulyo menggeleng. “Tak terhitung. Kau telah membuka pintu kenangan. Dan mereka... ingin dikenali.”

Aku kini hidup dalam rumah yang menjadi museum arwah. Setiap minggu, satu wajah baru muncul. Di lantai, di dinding, di langit-langit. Setiap wajah membawa cerita yang tak sempat diceritakan.

Aku tak bisa menghapusnya. Karena mereka bukan noda. Mereka adalah luka. Dan aku... terjebak di tengah semua itu.

Sekarang aku tahu, wajah pertama itu hanya pembuka. Di rumah ini, wajah-wajah tak dikenal akan terus muncul. Dan setiap kali matahari terbit, aku hanya bisa menatap mereka... sambil bertanya, "Siapa kalian?"

Namun, yang paling menakutkan bukanlah wajah yang muncul.

Tapi suara yang mulai terdengar dalam mimpiku. Suara mereka... yang menyebut namaku.

“Ayu... Ayu... giliranmu...”

Karena mungkin suatu saat nanti, wajahku pun akan menjadi salah satu dari mereka.

Posting Komentar