Bayangan Misterius di Rumah Panggung

Table of Contents
Bayangan Misterius di Rumah Panggung - Cerpen Horor Mania

Kisah Horor Bayangan di Rumah Panggung

Malam itu, udara di desa kecil di Sulawesi terasa begitu dingin. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Di tepi hutan bambu, berdiri sebuah rumah panggung tua yang sudah lama tak ditempati. Penduduk sekitar menyebutnya rumah keluarga Sumarna, yang konon pernah ditinggalkan begitu saja setelah satu peristiwa aneh yang tidak pernah dijelaskan secara gamblang. Warga hanya berbisik-bisik, seolah ada sesuatu yang mereka sembunyikan.

Rani, seorang mahasiswi dari Makassar, datang ke desa itu untuk penelitian budaya. Ia tertarik dengan arsitektur rumah panggung dan cerita-cerita rakyat di sekitarnya. Baginya, setiap rumah panggung menyimpan filosofi, dari tinggi tiang penyangga, bentuk atap, hingga letak pintu masuk. Ia tak pernah menyangka penelitian ini akan membawanya ke pengalaman yang nyaris merenggut kewarasannya.

“Kalau kau berani, coba saja menginap di rumah panggung itu. Banyak orang sudah menyerah sebelum tengah malam,” ujar Pak Daeng, salah satu warga yang menemaninya sore itu. Rani hanya tersenyum, menganggap ucapan itu sekadar candaan untuk menakut-nakutinya. Ia tidak menyadari bahwa wajah Pak Daeng kala itu begitu serius, tanpa guratan tawa.

Namun, malam itu ia benar-benar nekat. Dengan bekal senter, buku catatan, dan perekam suara, Rani naik ke rumah panggung tua itu. Tangga kayu berderit ketika dipijaknya, seakan menolak kehadirannya. Lantainya berderit pelan setiap kali ia melangkah. Udara lembab menyergap dari celah dinding kayu, membuatnya merinding sejak awal. Ia menyalakan lampu minyak kecil yang ia bawa, menaruhnya di meja kayu lapuk di ruang tengah. “Aku hanya butuh beberapa catatan... ini tidak akan lama,” gumamnya pada diri sendiri.

Pada awalnya, semuanya biasa saja. Hanya suara jangkrik dan gesekan daun bambu yang berayun tertiup angin. Namun ketika jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, suasana berubah. Dari sudut ruangan, ia merasa ada sesuatu yang bergerak. Bayangan panjang melintas di dinding, meski tak ada benda yang bisa menimbulkan bayangan itu.

“Siapa di sana?” Rani bersuara pelan, mencoba menenangkan dirinya. Ia mengarahkan senter, tapi cahaya hanya mengenai dinding kosong. Jantungnya mulai berdegup kencang. Ia berusaha mengabaikannya dan kembali menulis di buku catatan. Namun tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di atas plafon, padahal rumah panggung itu hanya memiliki satu lantai.

“Astaga... ini tidak masuk akal,” bisik Rani. Ia berdiri, menatap ke langit-langit. Suara itu semakin jelas, seperti seseorang sedang berjalan bolak-balik. Kayu tua berderit berat, seakan menahan sesuatu yang tidak kasat mata. Rani menyalakan perekam suaranya. “Kalau ada yang mendengar rekaman ini nanti... aku tidak berhalusinasi,” ucapnya sambil gemetar.

Tiba-tiba lampu minyak bergoyang, nyalanya hampir padam. Dari arah pintu kamar, terlihat bayangan tinggi menjulur ke lantai, perlahan mendekat ke arahnya. Rani menahan napas, matanya tak berkedip. Bayangan itu bukan bayangan tubuh manusia biasa—ia terlihat kurus, memanjang tak wajar, seolah tidak memiliki bentuk yang jelas.

“Jangan mendekat...” kata Rani dengan suara bergetar. Tapi bayangan itu semakin dekat, sampai-sampai udara di sekelilingnya terasa membeku. Saat ia mundur, kakinya mengenai sebuah meja, membuat gelas jatuh dan pecah. Suara pecahan itu menggema, lalu... sunyi. Bayangan itu menghilang begitu saja.

Rani menghela napas lega, namun hanya sebentar. Dari bawah rumah panggung, ia mendengar suara seseorang tertawa kecil. Suara itu bukan tawa anak-anak, melainkan tawa serak yang membuat bulu kuduknya meremang. “Siapa itu!?” teriaknya. Tak ada jawaban, hanya suara gesekan kayu seperti sesuatu sedang merayap di bawah lantai.

Ketakutannya makin menjadi-jadi ketika pintu kamar terbuka dengan sendirinya, berderit panjang. Dari dalam kamar, suara perempuan berbisik, “Pergi... sebelum terlambat.” Rani terpaku, tubuhnya lemas. Ia mencoba melangkah mundur, tapi tiba-tiba bayangan itu muncul lagi—kali ini lebih dekat, tepat di depannya.

“Apa maumu?” Rani hampir menangis. Bayangan itu berhenti, lalu perlahan membentuk siluet seorang perempuan dengan rambut panjang terurai, gaun putih kusam, dan wajah samar-samar tak terlihat jelas. Suara lirih terdengar, “Aku... terjebak...”

Rani menutup mulutnya, berusaha menahan jerit. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, sosok itu menghilang dalam sekejap. Lampu minyak padam, dan rumah panggung itu kembali gelap gulita. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar, cepat dan tidak teratur.

Ketika Rani bergegas mengambil senter untuk kabur, ia terkejut melihat pintu depan rumah sudah terbuka. Dari luar, Pak Daeng berdiri dengan wajah pucat. “Kau melihatnya juga, kan?” katanya dengan suara parau. Rani terdiam, tidak mampu menjawab. Ia hanya mengangguk pelan.

Pak Daeng lalu menunduk, suaranya semakin lirih. “Perempuan itu... dulu penghuni rumah ini. Ia hilang secara misterius, dan sejak itu keluarganya pergi meninggalkan rumah panggung ini. Orang-orang bilang, arwahnya masih mencari jalan pulang...”

Rani ingin bertanya lebih jauh, namun tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang aneh. Bayangan panjang masih tampak di belakang Pak Daeng, menjulur di tanah meski malam itu bulan tertutup awan. Bayangan itu bukan milik manusia. Tubuh Rani langsung membeku, tenggorokannya tercekat. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya hilang.

Pak Daeng menatapnya, lalu tersenyum samar. “Jangan takut. Sekarang kau sudah tahu rahasianya. Tidak semua orang bisa melihat bayangan itu...” ucapnya. Senyuman itu membuat bulu kuduk Rani semakin berdiri, karena perlahan wajah Pak Daeng pun tampak berubah pucat pasi, matanya kosong tanpa bola mata.

Malam itu, di rumah panggung tua tersebut, Rani tidak pernah benar-benar keluar. Warga desa hanya menemukan buku catatan dan perekam suaranya di atas meja keesokan harinya. Di dalam rekaman terdengar bisikan samar, tawa serak, dan jeritan terakhir yang seakan terputus di tengah udara. Sejak itu, orang-orang semakin takut melewati rumah panggung tersebut, bahkan sekadar menoleh pun enggan.

Tetapi cerita tidak berhenti di situ. Seminggu setelah peristiwa itu, seorang anak kecil bernama Wira mengaku melihat Rani duduk di tangga rumah panggung. “Dia senyum sama saya... tapi matanya kosong,” katanya polos. Warga geger, namun tak seorang pun berani mengecek kebenarannya.

Beberapa malam kemudian, seorang petani yang pulang larut mendengar suara perekam milik Rani berputar sendiri dari dalam rumah panggung. Suara bisikan samar terdengar jelas, “Aku masih di sini...” Sejak itu, kisah tentang bayangan misterius makin menakutkan. Orang-orang mulai percaya bahwa rumah itu bukan hanya dihuni satu arwah, melainkan dua: perempuan penghuni lama dan Rani yang ikut terjebak.

Sampai hari ini, rumah panggung itu tetap berdiri, semakin lapuk dimakan usia. Rumput liar tumbuh di sekelilingnya, dan suara angin yang melewati sela-sela kayu kerap terdengar seperti bisikan. Tidak ada yang berani mendekat, apalagi masuk. Mereka hanya berani bercerita, namun tak ada yang tahu pasti apakah bayangan itu benar-benar masih menunggu... atau sudah berkeliaran mencari korban lain di desa.

Satu hal yang pasti, setiap kali bulan purnama tertutup awan, beberapa warga bersumpah melihat sosok perempuan bergaun putih berdiri di jendela rumah panggung, menatap lurus ke arah jalan desa. Dan entah mengapa, bayangan hitam panjang di belakangnya selalu tampak lebih jelas dibanding sosok itu sendiri.

Seolah-olah, yang menjadi ancaman sebenarnya bukanlah sosok perempuan itu... melainkan bayangan yang menempel padanya, bayangan yang tidak pernah bisa ditebak kapan akan beralih mengikuti manusia lain yang cukup berani, atau cukup bodoh, untuk masuk ke rumah panggung tua itu.

Dan hingga kini, tak ada yang tahu—apakah Rani masih hidup di balik dunia tak kasat mata, ataukah ia sudah menjadi bagian dari bayangan misterius yang selalu mencari tubuh baru untuk dihuni.

Posting Komentar