Hantu Sawah Subang: Teror Tengah Malam
Kisah Nyata Teror Hantu Sawah Subang
Namaku Rani, seorang guru honorer yang baru saja pindah ke desa kecil di daerah Subang. Desa itu dikelilingi hamparan sawah yang tampak indah di siang hari, tapi entah mengapa selalu membuat bulu kudukku merinding saat malam tiba. Aku tinggal di rumah kontrakan sederhana, hanya sekitar 200 meter dari area persawahan.
Warga desa menyambutku dengan ramah. Tapi dari cara mereka berbicara, aku tahu ada sesuatu yang tidak mereka katakan. Seperti saat Bu Ida, tetangga depan rumah, mengingatkanku, “Kalau malam jangan keluyuran ke sawah ya, Neng Rani. Anginnya suka nggak bersahabat.”
Aku hanya tertawa kecil. “Iya, Bu. Paling juga keluar kalau ada urusan penting saja.”
Namun, rasa penasaranku justru makin menjadi. Setiap malam, dari jendela kamar, aku bisa melihat sosok perempuan berdiri di pematang sawah. Diam. Tak bergerak. Kupikir itu hanya petani atau warga yang iseng. Tapi setelah beberapa hari, aku sadar—sosok itu selalu muncul di tempat yang sama, jam yang sama.
Suatu malam, aku memberanikan diri untuk melihat lebih dekat. Dengan senter dan jaket, aku berjalan menuju sawah setelah pukul sebelas malam. Langkahku pelan menyusuri jalan setapak yang lembap dan penuh kabut.
Tiba-tiba…
“Rani…”
Aku berhenti. Suara itu terdengar di belakangku. Tapi saat aku menoleh, tak ada siapa-siapa.
“Siapa itu?” tanyaku panik, mencoba mengarahkan senter ke segala arah.
Tak ada jawaban. Tapi suara tangisan lirih mulai terdengar. Suara seorang perempuan menangis terisak. Tangis itu datang dari arah sawah.
Dengan degup jantung makin cepat, aku melangkah ke arah suara itu. Kabut makin tebal, dan bau tanah basah menyelimuti udara.
Di tengah pematang, aku melihatnya.
Perempuan itu. Rambutnya panjang menjuntai menutupi wajah. Pakaiannya compang-camping, seperti kebaya yang sudah lapuk. Ia duduk di antara batang padi, memeluk lutut, menangis.
“Halo? Kamu kenapa?” tanyaku, berusaha tetap tenang.
Perempuan itu perlahan menoleh. Wajahnya… hancur. Separuh pipinya mengelupas, memperlihatkan tulang dan daging membusuk. Matanya merah menyala.
Aku menjerit dan lari sekencang mungkin. Tapi setiap aku menoleh, dia ada di belakangku, merangkak cepat di atas lumpur, mengeluarkan suara napas berat yang seperti kematian.
Aku berhasil sampai ke rumah dan mengunci pintu. Nafasku tersengal. Kupikir itu hanya halusinasi. Tapi sejak malam itu, aku mulai bermimpi buruk. Selalu mimpi tenggelam di lumpur sawah dengan tangan-tangan busuk menarik kakiku ke bawah.
Aku memutuskan untuk bicara pada Bu Ida.
“Bu… saya lihat sesuatu di sawah. Perempuan, tapi bukan manusia…”
Bu Ida menunduk, lalu berkata, “Sudah waktunya kamu tahu, Neng. Dulu di sawah itu, ada perempuan hamil yang dibunuh suaminya sendiri. Katanya karena cemburu buta. Mayatnya dibuang ke lumpur, dan sejak saat itu, siapa pun yang lewat tengah malam suka diganggu.”
“Kenapa warga tidak pernah cerita?” tanyaku shock.
“Kami takut panik. Takut juga arwahnya makin marah kalau terus dibicarakan.”
Aku memutuskan untuk pergi dari desa itu. Tapi malam sebelum kepindahanku, aku mengalami kejadian paling mengerikan.
Sekitar jam satu malam, aku mendengar suara ketukan dari jendela.
Tok… tok… tok…
Saat aku intip, sosok itu berdiri di luar jendela. Tapi kali ini wajahnya sangat dekat. Ia menatapku sambil menggeretakkan giginya.
“Kenapa kau ingin pergi, Rani… kau belum menyelesaikannya…”
Aku pingsan.
Saat terbangun pagi harinya, semua seperti mimpi. Tapi ada satu hal yang membuat darahku membeku. Di depan pintu rumah, ada bekas lumpur… dan sebuah potongan rambut panjang basah tergeletak di lantai.
Aku tetap pindah ke kota. Tapi sampai hari ini, setiap aku tidur, aku masih mendengar suara dari balik mimpi…
“Rani… jangan tinggalkan aku…”
Tiga bulan berlalu. Kupikir semua akan selesai setelah aku keluar dari desa itu. Tapi gangguan tak kunjung hilang. Di apartemenku yang sempit di Bandung, aku sering mencium bau lumpur, bahkan mendengar suara angin yang sangat khas seperti di sawah Subang.
Sampai suatu malam, aku dikejutkan oleh telepon dari nomor tak dikenal.
“Rani…” suara lirih terdengar. “Kamu belum bantu aku…”
“Siapa ini?!” bentakku ketakutan.
“Namaku Sari…” kata suara itu. “Mayatku masih di sana… di sawah belakang rumah itu… di bawah lumpur. Tolong…”
Aku menutup telepon dengan tangan gemetar. Kupikir ini hanya ulah iseng. Tapi esok paginya, aku menemukan setangkai bunga melati di depan pintu apartemenku. Basah, penuh lumpur.
Akhirnya, aku kembali ke Subang. Aku tak memberitahu siapa pun. Hanya membawa sekop dan senter. Malam itu, aku menggali sendiri di tengah sawah yang dulu jadi tempat dia muncul.
Beberapa jam aku menggali lumpur basah, hingga aku menyentuh sesuatu yang keras. Sebuah tengkorak. Lalu potongan tulang lainnya. Di situ, aku juga menemukan kain kebaya compang-camping.
Aku menangis. Entah kenapa, rasa takut berganti menjadi iba. Aku tahu, dia hanya ingin ditemukan.
Keesokan harinya, aku melapor ke warga dan polisi desa. Kubur massal darurat dibuat, dan tulang-belulang itu dikuburkan secara layak oleh pemuka agama. Setelah itu, gangguan berhenti.
Tapi cerita belum selesai. Beberapa bulan setelah penguburan, aku bermimpi. Dalam mimpiku, seorang perempuan mengenakan kebaya putih menghampiriku.
“Terima kasih, Rani. Aku bisa tenang sekarang. Tapi… masih ada yang harus kau tahu.”
“Apa maksudmu?” tanyaku dalam mimpi.
“Yang membunuhku… masih hidup.”
Aku terbangun dengan keringat dingin. Kutelusuri catatan desa, dan ternyata suami Sari—yang diduga membunuhnya—pernah tinggal di desa itu, tapi menghilang dan kabarnya kini jadi tokoh masyarakat di desa lain.
Aku tak tahu harus apa. Tapi satu yang pasti, aku tak lagi takut padanya. Karena aku tahu dia bukan ingin menakutiku. Dia ingin keadilan.
Dan bila suatu hari aku kembali melihatnya di pematang sawah, aku akan tahu, ia datang bukan untuk menghantui… tapi untuk mengingatkan: bahwa yang mati tidak selalu pergi—terkadang, mereka hanya menunggu untuk didengar.
Posting Komentar