Misteri Gamelan Kuno Desa Sukamaju
Arwah Penari di Balik Gamelan Tua
Mentari sore mulai tenggelam di balik bukit saat Ayu menapaki jalanan berbatu menuju Desa Sukamaju. Wanita muda itu ditugaskan untuk mendokumentasikan seni tradisional di desa terpencil itu, terutama gamelan kuno yang katanya hanya dimainkan pada malam tertentu.
“Jangan sampai malam di sana sendirian,” pesan Pak Darto, sopir ojek yang mengantar Ayu. “Gamelan di desa itu... bukan untuk hiburan biasa.”
Ayu hanya tersenyum. Ia menganggap semua cerita mistis tentang gamelan hanyalah bumbu budaya lokal yang melegenda. Tugasnya jelas—merekam, menulis, dan mempublikasikan keunikan gamelan Sukamaju.
Sesampainya di rumah kepala desa, Ayu disambut hangat oleh Bu Lestari, istri Pak Lurah. Rumah panggung kayu itu berdiri megah di pinggir sawah, suasananya tenang, nyaris hening.
“Gamelan akan dimainkan nanti malam,” ujar Bu Lestari sambil menyajikan teh. “Tapi... hanya bisa dilihat dari kejauhan. Tidak boleh direkam.”
“Kenapa?” tanya Ayu, mengernyit heran.
Bu Lestari diam sejenak. “Bukan untuk dunia luar. Tapi kalau kamu memang ingin tahu... nanti saja kamu lihat sendiri.”
Menjelang tengah malam, suara gamelan mulai terdengar dari balai desa. Ayu bangkit perlahan, membawa kamera kecil di balik jaketnya. Rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Ia berjalan mengikuti suara yang bergema lembut namun anehnya mendalam—seperti berasal dari dalam tanah.
Balai desa tampak terang, namun kosong. Tidak ada satu pun orang di sana. Tapi gamelan berbunyi merdu, seolah dimainkan oleh tangan-tangan tak terlihat.
“Apa ini...?” Ayu bergumam, langkahnya pelan mendekati alat musik perunggu itu.
Namun saat ia hendak merekam, udara tiba-tiba berubah dingin. Salah satu gong bergetar sendiri, lalu perlahan terdengar suara wanita menyanyi—lirih dan memilukan.
“Jangan direkam...” bisik suara itu, entah dari mana. Ayu membeku. Tubuhnya tak mampu bergerak. Di depannya, gamelan mulai dimainkan oleh sosok-sosok bergaun putih yang muncul dari kegelapan. Wajah mereka pucat, kosong, dan mata mereka hitam legam.
“Ini... ini pasti mimpi,” bisik Ayu, mundur pelan.
Salah satu sosok wanita mendekat, rambut panjangnya menyapu lantai, matanya menatap langsung ke arah Ayu. “Kau yang baru datang... harus menjadi bagian dari kami.”
Ayu berlari. Ia tinggalkan balai desa dan kembali ke rumah Bu Lestari. Tapi saat membuka pintu, rumah itu gelap, sepi, dan kosong. Tak ada tanda-tanda kehidupan.
“Bu Lestari! Pak Lurah!” teriaknya.
Lalu terdengar suara langkah dari belakang. Seorang pria tua berdiri di bawah pohon mangga, mengenakan pakaian lurik lusuh. “Kau lihat mereka, ya?” tanyanya pelan.
“Siapa? Yang main gamelan itu?”
Pria itu mengangguk. “Itu gamelan leluhur. Hanya dimainkan oleh arwah penari yang dikorbankan ratusan tahun lalu. Setiap kali seseorang dari luar melihatnya... dia tidak bisa kembali seperti semula.”
“Maksud Bapak apa?” Ayu ketakutan.
Pria itu menunjuk ke bayangan di tanah. Ayu melihatnya. Bayangannya tidak ada. Hanya bayangan pria tua itu yang nampak. Ia mencoba menyentuh wajahnya sendiri. Dingin. Seperti kabut.
“Aku... masih hidup kan?”
Pria itu tidak menjawab. Ia menghilang, seperti embun terkena sinar matahari.
Panik, Ayu berlari ke jalan utama. Tapi jalan yang tadi dilewati kini berubah menjadi lorong tanah panjang tak berujung, dan suara gamelan terus mengiringinya.
Hari berganti. Ayu terbangun di dalam balai desa, gamelan masih berbunyi lirih. Tapi kini, ia duduk di tengah ruangan, mengenakan kebaya putih dan wajahnya dihias seperti penari tradisional. Di sekelilingnya, sosok-sosok wanita lain menari dalam diam, mata mereka menatap kosong ke arah depan.
“Kita semua pernah jadi seperti kamu,” bisik seorang wanita tua yang muncul entah dari mana. “Awalnya hanya ingin menulis cerita. Tapi akhirnya, jadi bagian dari cerita itu sendiri.”
“Tidak... tidak... aku harus keluar dari sini!” Ayu berteriak.
Teriakannya menggema, tapi tak satu pun menjawab. Ia hanya bisa berdiri dan melihat dirinya di cermin tua di sudut ruangan. Wajahnya bukan lagi wajah Ayu. Melainkan wajah wanita lain—pucat, dengan senyum yang menyeramkan.
Malam-malam berikutnya, warga desa selalu mendengar gamelan dimainkan, meski balai desa sudah lama terbengkalai. Tidak ada yang berani mendekat, apalagi masuk. Tapi dari kejauhan, beberapa mengaku melihat penari baru di antara barisan sosok putih itu—seorang wanita muda yang terus menari tanpa henti.
Desa Sukamaju kini semakin sepi. Gamelan kuno masih tersimpan, tapi tak ada lagi yang berani menyentuhnya. Hanya mereka yang tak pulang... yang akan terus memainkannya.
Namun kisah Ayu tidak berhenti di sana.
Tiga bulan kemudian, seorang dosen etnomusikologi dari universitas ternama, Pak Reza, datang ke Sukamaju setelah tidak mendapat kabar dari Ayu. Ia membawa beberapa mahasiswa dan foto terakhir yang dikirim Ayu lewat email—sebuah gambar kabur dari gong kuno dan bayangan samar-samar wanita penari.
“Kami ingin tahu tentang gamelan kuno yang pernah diteliti Ayu,” kata Pak Reza kepada Pak Lurah yang baru.
Pak Lurah hanya menggeleng. “Tidak ada yang bisa diceritakan lagi, Pak. Sejak Ayu hilang, tak seorang pun dari warga mau bicara soal gamelan itu.”
Namun malam itu, salah satu mahasiswa Pak Reza, Dinda, tidak bisa tidur. Ia mendengar bunyi gong lembut dari arah balai desa. Terlalu penasaran, ia diam-diam pergi seorang diri, membawa ponsel untuk merekam.
Saat Dinda tiba, balai desa tampak kosong. Tapi gamelan kembali terdengar. Perlahan, ia mengangkat ponselnya. Tapi layar ponselnya hanya menampilkan kabut dan kilatan hitam.
Lalu, ia melihatnya. Sosok wanita muda menari sendirian di tengah ruangan. Kebaya putihnya berkibar, wajahnya murung tapi senyumnya tak hilang. Dinda mendekat, ingin melihat lebih jelas.
“Ayu...?” bisiknya. Tapi sebelum ia sempat mendekat, sosok itu menoleh dan menatap Dinda dengan mata kosong. Bibirnya bergerak pelan.
“Kamu yang selanjutnya...”
Dinda berteriak dan lari kembali ke penginapan. Namun setelah malam itu, Dinda tidak pernah berbicara lagi. Ia hanya duduk termenung, menulis not-not musik di udara kosong, sementara tangannya sesekali seperti menabuh alat yang tak terlihat.
Pak Reza pun menyerah. Ia membawa rombongan pulang ke kota, dan menuliskan laporan yang tidak pernah dipublikasikan. Dalam arsipnya hanya tertulis satu kalimat:
“Gamelan bukan sekadar alat musik. Ia adalah wadah jiwa, tempat di mana yang mati tidak benar-benar pergi.”
Desa Sukamaju kini tertutup bagi pengunjung. Tak ada yang boleh merekam, menulis, atau meneliti. Tapi di malam-malam sunyi, jika angin bertiup dari arah timur dan bulan purnama menggantung, suara gamelan akan terdengar pelan di kejauhan. Bersama nyanyian arwah penari yang tak pernah benar-benar diam.
Dan jika kau cukup berani untuk mendekat, jangan pernah lupa melihat bayanganmu. Jika ia tak lagi ada... maka selamat datang di cerita berikutnya.
Posting Komentar