Misteri Suara Anjing di Rumah Kosong
Kisah Horor Rumah Kosong di Karangjati
Malam di desa Karangjati terasa lembap dan berat. Awan tebal menutupi bulan, menyisakan langit kelabu tanpa cahaya. Angin malam membawa aroma tanah basah bercampur wangi anyir besi berkarat. Di ujung gang sempit, berdiri sebuah rumah kosong yang sudah bertahun-tahun dibiarkan membusuk. Dindingnya berlumut, jendela pecah, dan pintunya menggantung di engsel berkarat, berderit setiap kali tertiup angin.
Rina, mahasiswi semester akhir jurusan antropologi, melangkah cepat melewati gang itu. Ia baru saja pulang dari wawancara di balai desa untuk skripsinya tentang cerita rakyat setempat. Salah satu kisah yang paling sering disebut warga adalah tentang suara anjing yang menyalak dari rumah kosong itu setiap malam Jumat.
Awalnya Rina menganggapnya hanya mitos untuk menakuti anak-anak. Namun malam itu, tepat ketika ia sejajar dengan pagar besi rumah tersebut, suara gonggongan terdengar jelas dari dalam. Suara itu berat, dalam, dan hanya terdengar tiga kali — seolah menjadi semacam isyarat.
Langkah Rina terhenti. Matanya menatap jendela gelap yang terbuka sedikit. Tidak ada cahaya di dalam, hanya bayangan hitam pekat yang tampak berdenyut, seakan bergerak mengikuti tatapannya. Ia menelan ludah, memaksa kaki untuk melangkah lagi, berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanyalah suara dari anjing tetangga.
Namun sepanjang jalan pulang, telinganya terasa berdengung. Di antara suara jangkrik malam, ia merasa masih mendengar gonggongan itu, makin lama makin lirih, seperti mengikuti dari jauh.
Keesokan harinya, Rina menceritakan pengalamannya kepada Wati, penjual gorengan di pasar. Wati terdiam, lalu berkata pelan, “Itu pasti Kibo.”
Nama itu asing bagi Rina. Wati menjelaskan bahwa Kibo adalah anjing kesayangan Pak Joko, pemilik terakhir rumah tersebut. Malam sebelum Pak Joko ditemukan meninggal, Kibo menyalak tanpa henti. Pagi harinya, warga menemukan Kibo mati di samping jasad tuannya, dengan posisi seperti sedang menghadang sesuatu.
“Sejak itu, tiap malam Jumat, suara gonggongan Kibo masih terdengar dari rumah itu,” kata Wati sambil memandang ke arah ujung gang. “Dan katanya… kalau kau mendengar gonggongannya tiga kali, itu artinya kau sudah dipilih.”
Rina bergidik. “Dipilih? Untuk apa?”
Wati tidak menjawab. Ia hanya memasukkan gorengan ke kantong kertas dan menyuruh Rina cepat pulang sebelum magrib.
Hari-hari berikutnya, rasa penasaran Rina semakin menjadi-jadi. Ia memutuskan untuk kembali ke gang itu pada malam berikutnya, kali ini membawa ponsel untuk merekam suara. Udara terasa lebih dingin, dan ketika ia mendekat, gonggongan terdengar lagi. Tapi kali ini disertai suara lirih memanggil, “Nduk…”
Rina membeku. Suara itu berat, parau, seperti suara lelaki tua. Dari celah jendela, ia melihat siluet samar berdiri. Tanpa berpikir panjang, ia berlari pulang, hampir menjatuhkan ponsel dari tangannya.
Di kamar kos, Rina memeriksa rekamannya. Aneh, ponselnya kini memiliki folder baru bernama “Kibo” yang tak pernah ia buat. Di dalamnya hanya ada satu file audio berdurasi tiga detik. Isinya adalah gonggongan anjing dan suara pelan berkata, “Pulang.”
Rina tidak bisa tidur malam itu. Kata “pulang” terngiang di kepalanya. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Pak Joko dan Kibo. Dari Pak RT, ia tahu bahwa sebelum meninggal, Pak Joko tinggal bersama cucunya bernama Lila. Suatu malam, Lila hilang misterius. Warga mencarinya berhari-hari, namun tidak pernah ditemukan. Kibo menyalak terus hingga malam terakhir hidupnya, seakan berusaha memberi tahu sesuatu.
Beberapa orang percaya Lila diculik. Ada juga yang mengatakan ia disembunyikan dari seseorang yang mencarinya. Tapi tidak ada yang tahu kebenarannya.
Malam ketiga, Rina memberanikan diri masuk ke pekarangan rumah kosong itu. Rumput ilalang menutupi jalan setapak, dan bau apek menusuk hidung. Pintu depan terkunci, tapi ada celah di dinding samping yang tertutup triplek. Ia menyingkap triplek itu dan masuk.
Di dalam, udara lembap bercampur bau anyir menyambutnya. Ruang tamu dipenuhi perabot berdebu. Di sudut ruangan, ia menemukan sebuah gelang plastik kecil bertuliskan “LILA”.
Seketika, udara di sekelilingnya menjadi hangat, dan dari kegelapan muncul bentuk kabut menyerupai anjing. Kabut itu menatap gelang di tangan Rina, lalu menunduk. Suara serak seorang lelaki berkata, “Maafkan Bapak…”
Rina terpaku, bulu kuduknya berdiri. Kabut itu menghilang perlahan, diiringi suara gonggongan terakhir yang lembut, seolah lega. Ia segera keluar, menutup triplek, dan berlari pulang.
Keesokan harinya, Rina menyerahkan gelang itu kepada balai desa. Beberapa orang tua menangis melihatnya. Seorang tetua berkata bahwa mungkin roh Lila dan Kibo akhirnya bisa tenang. Tapi Rina merasa belum semuanya selesai.
Dua malam kemudian, folder “Kibo” di ponselnya kembali terisi. Kali ini ada file baru berdurasi lima detik. Isinya adalah suara ketukan paku tiga kali, diikuti bisikan anak kecil berkata, “Bukan aku yang bersembunyi.”
Kata-kata itu membuat Rina gelisah. Ia mencoba menghubungkan semua petunjuk: gonggongan tiga kali, kata “pulang”, gelang Lila, dan pesan “bukan aku yang bersembunyi”. Semua terasa seperti teka-teki yang belum lengkap.
Ia kembali mewawancarai warga. Seorang kakek bernama Sarman akhirnya bercerita bahwa sebelum kematian Pak Joko, ada seorang pria asing yang sering terlihat mondar-mandir di sekitar rumah. Pria itu mengaku mencari anaknya yang hilang, tapi warga curiga niatnya tidak baik.
Menurut Sarman, malam Lila menghilang, suara Kibo menggonggong tanpa henti. Ada juga suara benda berat diseret di dalam rumah, lalu hening. Paginya, Pak Joko ditemukan meninggal dengan luka di kepala. Tidak ada tanda-tanda Lila atau pria asing itu.
Rina memutuskan untuk masuk lagi ke rumah itu, kali ini di malam Jumat. Ia membawa senter dan perekam suara profesional. Ketika ia melangkah ke ruang tamu, udara terasa berat, seperti menekan dadanya. Senter berkedip-kedip, lalu mati total.
Dari kegelapan, terdengar suara langkah kaki mendekat. Gonggongan anjing pecah di udara, kali ini keras dan marah. Lalu suara seorang anak menangis, “Bapak… dia di sini…”
Sebuah bayangan tinggi melintas di depannya. Rina mundur, tapi punggungnya terbentur dinding. Suara ketukan tiga kali terdengar lagi, kali ini dari lantai bawah. Tanpa sadar, ia menuruni tangga menuju ruang bawah tanah yang gelap.
Di sana, ia menemukan pintu kayu kecil terkunci. Dari balik pintu, terdengar gonggongan pelan dan suara anak berkata, “Jangan buka… dia belum pergi.”
Rina merasa kulitnya merinding hebat. Namun rasa penasaran lebih kuat. Ia memutar kenop, dan pintu terbuka sendiri. Ruangan di dalam kosong, hanya ada bau menyengat dan dinding penuh goresan kuku anjing.
Gonggongan berhenti. Sunyi total. Lalu suara pria asing terdengar jelas di telinganya, “Kau tak seharusnya di sini.”
Sesuatu mendorong Rina hingga ia terjatuh. Saat ia mendongak, bayangan itu sudah hilang, tapi di tangannya kini tergenggam kunci tua berkarat. Rina tidak tahu dari mana asalnya.
Sejak malam itu, suara gonggongan di rumah kosong berhenti. Namun, setiap malam Jumat, Rina menerima file baru di folder “Kibo”. Semua berisi potongan suara: tangisan anak, gonggongan, ketukan paku, dan nafas berat seseorang. Ia sadar, misteri ini belum selesai. Seseorang — atau sesuatu — masih mencoba berbicara dengannya.
Dan ia tahu, cepat atau lambat, ia harus kembali lagi ke rumah itu untuk mendengar sisa ceritanya.
Posting Komentar