Penampakan Mencekam di Pasar Malam Jogja
Kisah Horor Misteri Pasar Malam Jogja
Bayu menatap keramaian pasar malam yang berkelip cahaya lampu warna-warni. Malam itu, udara Jogja terasa lebih lembap dari biasanya. Aroma sate, jagung bakar, dan gulali bercampur menjadi satu. Bayu datang bersama Sinta, pacarnya, untuk sekadar jalan-jalan dan mencoba permainan bianglala. Namun, di balik suasana riang itu, Bayu merasa ada sesuatu yang tak beres. Beberapa kali ia merasa seperti ada yang memperhatikannya dari kejauhan.
“Kamu kenapa sih, Yu? Dari tadi kayak nggak tenang,” tanya Sinta sambil menatapnya heran. “Aku… nggak tahu. Rasanya ada yang aneh,” jawab Bayu sambil mengedarkan pandangannya.
Mereka pun melanjutkan langkah, mencoba mengabaikan perasaan itu. Namun, ketika melewati area permainan rumah hantu, Bayu terhenti. Dari sudut matanya, ia melihat sosok wanita bergaun putih panjang, rambut terurai menutupi wajah, berdiri di depan pintu masuk. Bayu pikir itu hanya bagian dari atraksi, tapi yang membuatnya merinding adalah tatapan mata merah menyala yang terlihat di balik rambut itu.
Bayu menelan ludah. “Sin… kamu lihat nggak?” “Lihat apaan?” “Itu… wanita itu…” Sinta menoleh, tapi sosok itu sudah hilang.
Mereka berusaha mengalihkan pikiran dengan naik bianglala. Dari atas, lampu pasar malam tampak seperti lautan bintang. Namun, ketika gondola mereka berhenti di puncak, Bayu kembali melihat sosok itu, kali ini berdiri di tengah keramaian, tak bergerak sedikit pun. Anehnya, tak ada orang lain yang memperhatikannya.
Setelah turun, Bayu dan Sinta memutuskan untuk pulang. Namun, perjalanan keluar terasa semakin panjang. Jalur yang tadi mereka lewati kini tampak berbeda, seperti berputar-putar di tempat yang sama. Beberapa pedagang bahkan seperti menjual barang yang sama persis, dengan ekspresi yang identik.
“Ini nggak wajar, Sin,” kata Bayu dengan napas memburu. “Aku mulai takut, Yu. Ini kayak… kita terjebak,” jawab Sinta.
Suara tawa melengking tiba-tiba terdengar di belakang mereka. Bayu menoleh, dan di sana, kuntilanak itu berdiri. Wajahnya kini terlihat jelas—pucat, dengan senyum lebar yang menunjukkan deretan gigi tajam. Matanya merah menyala seperti bara.
Mereka berlari, tapi setiap belokan membawa mereka kembali ke tempat yang sama. Aroma bunga kamboja mulai menusuk hidung, bercampur dengan bau darah. Lampu-lampu pasar malam mulai padam satu per satu, menyisakan kegelapan yang pekat. Bayu menggenggam tangan Sinta erat-erat, berusaha mencari jalan keluar.
Tiba-tiba, dari arah depan, seorang kakek penjual balon menghampiri mereka. “Kalian bukan orang sini, ya?” suaranya serak. “Pak, tolong kami keluar!” pinta Sinta panik. Kakek itu menggeleng. “Kalau sudah dipanggil, sulit kembali.”
Bayu ingin bertanya lebih lanjut, tapi kakek itu menghilang begitu saja. Suara gamelan samar-samar terdengar, semakin lama semakin keras, hingga membuat dada mereka berdebar tak karuan. Dari kegelapan, kuntilanak itu melayang mendekat, rambutnya bergerak seperti hidup.
Bayu dan Sinta akhirnya memejamkan mata. Saat membukanya kembali, mereka sudah berada di luar area pasar malam, tepat di pinggir jalan yang sepi. Tidak ada lampu, tidak ada keramaian—hanya keheningan.
Mereka berjalan cepat menuju kos Sinta tanpa berkata apa-apa. Namun, saat hendak masuk, Bayu melihat pantulan kaca jendela. Di belakang mereka, kuntilanak itu berdiri, tersenyum lebar, seolah menunggu kesempatan berikutnya.
Sejak malam itu, setiap kali Bayu melewati area pasar malam, ia selalu mencium aroma bunga kamboja dan mendengar tawa samar. Seakan-akan, pasar malam itu masih ada… tapi hanya untuk mereka yang pernah melihatnya.
Posting Komentar