Suara Mistis Gamelan Gua Petir

Table of Contents
Suara Gamelan di Gua Petir - Cerpen Horor Mania

Kisah Horor Ratna di Gua Petir

Malam itu, seorang wanita bernama Ratna, seorang pekerja kantoran berusia tiga puluh tahun, memutuskan untuk berlibur sejenak ke sebuah desa di lereng Gunung Lawu. Ratna merasa lelah dengan rutinitas kerja yang menyesakkan dada, laporan-laporan menumpuk, dan suasana kantor yang penuh tekanan. Desa itu terkenal dengan pemandangan alamnya yang tenang, tetapi ada satu tempat yang selalu menjadi pembicaraan warga: Gua Petir. Konon, dari dalam gua tersebut kadang terdengar alunan gamelan yang lembut namun mencekam.

Awalnya Ratna hanya menganggap cerita itu sekadar mitos desa. Ia orang kota, terbiasa dengan hiruk-pikuk modern yang logis. Namun, rasa ingin tahunya menuntunnya untuk mencari tahu lebih jauh. Malam itu, setelah makan malam di rumah penginapan sederhana, Ratna memberanikan diri berjalan ke arah gua yang hanya berjarak sekitar dua kilometer dari desa.

"Mbak Ratna, jangan nekad. Gua itu angker, apalagi malam hari," ujar ibu pemilik penginapan sambil menatap dengan cemas.

Ratna tersenyum tipis. "Saya hanya ingin lihat sebentar Bu. Kalau ada suara gamelan, ya paling ada warga yang latihan atau pasang speaker di dalam gua."

Ibu itu hanya menggeleng pelan, seolah sudah tahu kalau tamunya akan bersikeras.

Dengan langkah hati-hati, Ratna berjalan melewati jalan setapak yang gelap, hanya ditemani cahaya senter dari ponselnya. Angin malam membawa aroma tanah basah dan dedaunan, sementara suara jangkrik menjadi latar belakang. Gua Petir akhirnya terlihat. Mulutnya menganga gelap, seperti menunggu siapa saja yang berani masuk.

Tiba-tiba, terdengar suara gamelan. Suaranya lembut, indah, seperti pesta adat Jawa yang jauh di dalam. Namun, yang membuat bulu kuduk Ratna merinding, suara itu terdengar jelas meski gua tampak kosong.

"Astaga… beneran ada suaranya," gumam Ratna sambil menelan ludah.

Suara gamelan semakin jelas. Ada gong, kendang, saron, dan suara sinden lirih yang samar. Seolah ada pertunjukan lengkap di dalam gua. Ratna maju beberapa langkah, cahaya senter menembus sedikit kegelapan. Tidak ada siapa pun di sana. Hanya bebatuan, stalaktit, dan udara dingin yang menusuk kulit.

"Halo? Ada orang di dalam?" Ratna mencoba memanggil, suaranya menggema.

Tak ada jawaban, kecuali alunan gamelan yang terus mengalir. Anehnya, semakin Ratna melangkah masuk, semakin kuat suara itu, seolah mengundangnya untuk mendekat. Hatinya berdebar, antara takut dan penasaran.

Tiba-tiba, suara wanita terdengar di telinganya, sangat dekat. "Mbak Ratna, sudah lama kami menunggu."

Ratna terperanjat, menoleh cepat, tapi tidak ada siapa pun di belakangnya. Nafasnya memburu, tangan gemetar. "Siapa?! Siapa di sana?"

Tidak ada jawaban. Hanya suara gamelan yang kini berubah tempo, menjadi lebih cepat, lebih menghentak, seperti sedang menari dalam kegilaan. Cahaya senter ponselnya tiba-tiba meredup, lalu mati. Gelap total. Ratna panik, menekan-nekan tombol, tapi percuma.

Dari dalam kegelapan, tampak titik-titik cahaya kecil, seperti obor. Beberapa sosok muncul perlahan. Mereka berpakaian adat Jawa, dengan wajah pucat dan mata kosong. Mereka menabuh gamelan yang tidak ada wujudnya, hanya gerakan tangan, tapi suara tetap terdengar nyata. Seorang sinden perempuan bergaun putih berjalan mendekat, rambutnya panjang terurai, wajahnya samar tertutup bayangan.

"Kenapa kau datang sendirian, Ratna?" suara sinden itu lirih namun menusuk.

"Aku… aku hanya penasaran…," jawab Ratna terbata-bata, tubuhnya kaku.

Sinden itu tersenyum tipis, namun senyuman itu terasa menyeramkan. "Penasaran adalah jalan menuju kepastian. Dan di gua ini, semua yang penasaran akan tinggal selamanya."

Seketika, suara gamelan berhenti. Hening. Sosok-sosok itu menatap Ratna serentak. Mata mereka kosong, tapi tajam. Ratna mundur selangkah, tapi tiba-tiba tanah di bawahnya berguncang. Gua itu mengeluarkan suara gemuruh seperti petir menyambar.

"Tidak! Aku harus keluar!" Ratna berlari sekuat tenaga ke arah mulut gua. Nafasnya memburu, jantungnya hampir meledak. Namun, semakin ia berlari, semakin jauh cahaya bulan di luar gua. Seolah gua itu memanjangkan dirinya tanpa batas.

"Kamu tidak bisa lari, Ratna," suara sinden terdengar lagi, kini dari segala arah. Tawa lirih bergema, membuat bulu kuduk Ratna merinding hebat.

Tiba-tiba, dari kejauhan, Ratna melihat seorang laki-laki tua berjubah hitam berdiri dengan tongkat kayu. Wajahnya teduh namun penuh rahasia. "Berhenti!" teriaknya lantang.

Aneh, suara gamelan langsung lenyap. Sosok-sosok itu hilang dalam sekejap. Ratna terhuyung, nyaris jatuh, lalu disambut tangan si lelaki tua.

"Kamu bodoh, Nak. Tidak semua penasaran harus kau ikuti. Gua Petir bukan tempat untuk manusia biasa. Itu panggung arwah yang mati penasaran, terikat pada gamelan gaib yang tak pernah berhenti berbunyi," katanya dengan suara berat.

Ratna masih gemetar. "Saya… saya hampir… mati?"

Lelaki itu menatapnya dalam. "Bukan mati. Kau hampir menjadi bagian dari mereka. Sekali ikut menari dengan gamelan itu, kau tak akan pernah kembali."

Tanpa berkata lagi, lelaki itu mengangkat tongkatnya. Cahaya putih menyilaukan muncul, dan tiba-tiba Ratna sudah berada di luar gua, tepat di bawah cahaya bulan. Nafasnya tersengal, keringat dingin bercucuran. Saat ia menoleh ke belakang, gua itu tampak gelap, sunyi, seolah tak ada apa-apa yang terjadi.

Namun, dari kejauhan, samar-samar Ratna masih mendengar bunyi gong. Sekali dentuman, lalu hening.

Ratna kembali ke penginapan dengan tubuh lemas. Ibu pemilik rumah langsung terkejut melihat wajah pucatnya. "Mbak Ratna… apa benar kau mendengar gamelan itu?"

Ratna hanya mengangguk, tak mampu menjawab. Ia teringat tatapan kosong para penabuh gamelan gaib itu, dan senyuman menyeramkan sinden putih. Hatinya berbisik, ia telah menyaksikan sesuatu yang tak seharusnya dilihat manusia.

Malam itu, Ratna tidak bisa tidur. Suara gamelan masih terngiang di telinganya. Pertanyaan besar pun muncul: apakah lelaki tua itu nyata, atau hanya bagian dari ilusi gua? Ia tidak tahu. Yang jelas, sejak malam itu Ratna bersumpah tidak akan pernah lagi mencari jawaban di tempat yang penuh rahasia kelam.

Keesokan harinya, sinar matahari menyinari desa dengan tenang. Namun ketenangan itu tidak terasa sama bagi Ratna. Matanya sembab karena kurang tidur. Saat ia membuka koper, jantungnya berdegup kencang: di antara bajunya terdapat sebuah bunga kantil putih yang masih segar, beraroma wangi. Bunga itu sama persis dengan yang diselipkan sinden putih di telinganya saat mereka bertemu di dalam gua.

"Tidak mungkin…" bisiknya lirih, tangannya bergetar. Ratna buru-buru menutup koper, seolah menolak kenyataan yang ada di depannya.

Siang harinya, Ratna mencoba mencari penjelasan. Ia mendatangi seorang sesepuh desa yang dikenal bijak, bernama Mbah Darmo. Lelaki tua itu sedang duduk di beranda rumahnya, menghisap rokok kretek dengan tatapan kosong ke arah gunung.

"Mbah, saya ingin bertanya. Benarkah di Gua Petir ada gamelan gaib?" tanya Ratna dengan suara lirih.

Mbah Darmo menoleh, sorot matanya tajam. "Kowe wis mlebu kana, to, Nduk?"

Ratna terkejut. "Mbah… bagaimana Mbah tahu?"

"Aku sudah mencium bau bunga kantil dari tubuhmu sejak tadi. Gamelan itu bukan sekadar suara, Nduk. Itu adalah panggilan dari roh-roh yang belum tenang. Mereka adalah orang-orang yang mati pada zaman dulu, sebagian penabuh gamelan kerajaan, sebagian prajurit yang gugur dengan dendam. Mereka terjebak, memainkan gamelan itu selamanya."

Ratna merinding. "Lalu… sinden perempuan itu… siapa?"

Mbah Darmo menarik nafas panjang. "Konon, dia adalah seorang sinden kerajaan yang meninggal tragis. Ia dikhianati, dibunuh, lalu arwahnya tidak pernah menemukan ketenangan. Ia jadi pengikat semua roh itu. Dan siapa pun yang penasaran lalu masuk, bisa saja dijadikan bagian dari rombongan gamelan kematian itu."

Ratna terdiam, wajahnya pucat. Semua perkataan Mbah Darmo terasa masuk akal jika dibandingkan dengan apa yang dialaminya. Namun, satu pertanyaan besar muncul di benaknya. "Mbah, kalau begitu… siapa lelaki tua yang menolong saya di dalam gua?"

Mbah Darmo terdiam lama, lalu menatap Ratna dengan pandangan dalam. "Kalau benar ada lelaki yang menolongmu, itu bukan orang biasa. Bisa saja itu adalah penjaga gaib desa ini. Tapi ada juga kemungkinan… bahwa dia adalah bagian dari gamelan itu sendiri, yang memberimu kesempatan sekali ini untuk pergi."

Kata-kata itu menghantam pikiran Ratna. Jika benar demikian, berarti ia hanya selamat karena keberuntungan. Lalu bagaimana kalau ia tidak ditolong? Apakah sekarang ia sudah menjadi salah satu dari mereka, memainkan gamelan tanpa henti di dalam gua itu?

Hari-hari berikutnya, Ratna mencoba melupakan kejadian itu. Ia masih tinggal di desa beberapa hari, namun setiap malam, suara gamelan samar tetap terdengar di telinganya. Tidak ada orang lain yang mendengarnya, hanya dirinya. Seolah sinden putih itu masih mengintainya dari jauh, menunggu kesempatan.

Suatu malam, saat ia mencoba tidur, Ratna terbangun karena mendengar suara kendang tepat di dekat jendela. Jantungnya berdegup kencang. Ia berlari membuka jendela, tapi hanya ada angin malam yang berhembus, membawa aroma bunga kantil yang menusuk hidung.

"Tidak… ini tidak mungkin hanya halusinasi," gumam Ratna. Ia menutup jendela rapat-rapat, tapi matanya tidak bisa terpejam hingga pagi.

Saat waktunya pulang ke kota, Ratna merasa lega. Ia berpikir begitu jauh dari Gua Petir, semuanya akan kembali normal. Namun, ketika ia duduk di kereta, suara gamelan samar kembali terdengar di telinganya. Ia menoleh ke kanan-kiri, tapi semua penumpang tenang, tidak ada yang mendengar apa pun. Dan di kaca jendela, ia sempat melihat bayangan sinden putih tersenyum, sebelum lenyap ditelan cahaya pagi.

Ratna menggenggam erat koper kecilnya, tubuhnya gemetar. Di dalam hati, ia sadar: meski ia sudah pergi dari desa itu, roh-roh Gua Petir mungkin tidak akan pernah berhenti mengikuti langkahnya.

Dan di sela ketakutannya, ia mendengar suara lirih, nyaris seperti bisikan sinden itu: "Kita belum selesai, Ratna."

Posting Komentar