Suara Rintihan Mistis dari Sumur Tua

Table of Contents
Suara Rintihan dari Sumur Tua - Cerpen Horor Mania

Misteri Sumur Angker dengan Rintihan

Malam itu hujan deras mengguyur desa kecil di Jawa Tengah. Petir sesekali menyambar, menerangi pekarangan rumah tua peninggalan kakek Sari. Rumah itu sudah lama kosong, dan Sari baru saja pindah seorang diri setelah ibunya meminta ia merawat peninggalan keluarga. Meski tampak kokoh, rumah tersebut menyimpan suasana yang berat dan menyeramkan, terutama dengan adanya sumur tua di belakang rumah yang sudah lama ditutup dengan papan kayu rapuh.

Sejak pertama kali tinggal di sana, Sari sudah merasakan hawa aneh. Malam pertama, ia mendengar suara aneh seperti desisan dari arah sumur, namun ia mencoba mengabaikannya. Tetapi pada malam kedua, suara itu berubah menjadi rintihan lirih yang membuat darahnya berdesir.

“Aduh... tolong...” suara lirih itu terdengar jelas di antara suara hujan. Sari menghentikan langkahnya ketika hendak menutup jendela. Ia menajamkan telinga. Suara itu terdengar dari arah sumur tua di belakang rumah.

Dengan hati-hati, ia menyalakan senter dari ponselnya dan berjalan menuju halaman belakang. Angin dingin menusuk kulitnya. Papan penutup sumur tampak bergetar pelan, seolah ada sesuatu di bawahnya yang berusaha keluar. Sari memberanikan diri bertanya, “Siapa di sana?”

Tidak ada jawaban, hanya rintihan panjang yang membuat bulu kuduknya berdiri. “Mungkin ada hewan jatuh ke sumur,” pikirnya. Namun begitu ia mendekat, ia mendengar suara lain, lirih namun jelas: “Tolong aku... sakit...”

Sari mundur dengan wajah pucat. Ia ingin lari masuk, tetapi kakinya terasa berat. Sesaat ia benar-benar yakin bahwa ada seseorang di dasar sumur. Tetapi bagaimana mungkin? Sumur itu sudah ditutup selama bertahun-tahun.

Keesokan harinya, Sari menceritakan kejadian itu kepada Pak Darto, tetangga tua yang sudah lama tinggal di desa tersebut. Begitu mendengar cerita Sari, wajah Pak Darto langsung berubah tegang. “Mbak Sari, jangan pernah mendekat ke sumur itu. Itu sumur angker. Dulu, ada perempuan muda jatuh dan mati di dalamnya. Katanya, arwahnya tidak pernah tenang.”

Sari terdiam. “Tapi Pak, suaranya nyata sekali. Saya sampai mendengar rintihannya minta tolong.”

Pak Darto menghela napas panjang. “Sudah banyak yang dengar. Tapi orang-orang di desa memilih diam. Beberapa yang penasaran... menghilang tanpa jejak. Saya hanya bisa bilang, jangan buka sumur itu.”

Namun rasa penasaran Sari terlalu besar. Malam berikutnya, suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas, seperti suara tangisan perempuan. “Tolong... temani aku...”

Sari tidak tahan lagi. Dengan gemetar ia menggeser papan kayu yang menutup sumur. Angin dingin langsung menyeruak, membuat tubuhnya merinding. Ia menyorotkan senter ke dalam. Gelap. Air beriak pelan. Lalu... sebuah wajah pucat muncul di permukaan. Rambut panjang terurai, mata kosong menatap lurus ke arahnya.

“Astaga!” Sari menjerit dan terjatuh ke belakang. Wajah itu tidak bergerak, hanya menatap dengan mata hampa. Lalu terdengar suara lirih, “Turunlah... temani aku...”

Sari buru-buru menutup kembali sumur itu dan lari masuk ke rumah. Malam itu ia tidak bisa tidur. Namun rasa penasarannya semakin menggila. Siapakah perempuan itu?

Keesokan harinya, Sari mencari tahu dari Bu Minah, tetangga lainnya. Awalnya Bu Minah enggan bercerita, namun akhirnya ia membuka suara. “Perempuan itu bernama Ratna. Ia dulu tinggal di rumah ini. Katanya, ia jatuh ke sumur pada malam hujan deras, sama seperti malam-malam ini. Tapi ada desas-desus... katanya Ratna sengaja didorong oleh seseorang karena asmara. Mayatnya memang diangkat, tapi sejak itu sumur ini tak pernah dipakai lagi. Arwahnya tidak tenang.”

Mendengar itu, Sari semakin gemetar. Namun anehnya, ia justru merasa iba. “Kalau benar dia terjebak di sana, bagaimana kalau dia hanya minta dibebaskan?” pikirnya.

Malam ketiga, suara itu datang lagi, lebih dekat dari sebelumnya. Bukan hanya dari sumur, tapi juga dari dalam rumah. Sari mendengar tangisan lirih dari arah dapur. Ia berlari, dan di sana, di depan pintu belakang, terlihat sosok perempuan berambut panjang basah kuyup berdiri memunggunginya.

“Astaga...” Sari hampir pingsan. Sosok itu perlahan menoleh. Wajah pucat penuh luka, bibirnya bergerak lirih, “Temani aku...”

Sari menutup mata, lalu ketika membuka lagi, sosok itu sudah hilang. Namun papan penutup sumur kini bergeser sendiri, seolah memanggilnya untuk mendekat.

Hari-hari berikutnya, keadaan Sari semakin aneh. Warga sering melihatnya berbicara sendiri di halaman, menunduk ke arah sumur. Ia bahkan menyiapkan sesaji kecil di dekat sumur, meskipun ia tidak pernah belajar adat itu sebelumnya. Seolah ada sesuatu yang mengajarinya langsung.

Pak Darto mencoba menasihatinya. “Mbak, tolonglah, jangan teruskan. Itu bukan arwah minta tolong. Itu jin yang menyamar. Kalau Mbak terus menuruti, hidup Mbak akan terenggut.”

Sari hanya tersenyum samar. “Pak, saya tidak bisa membiarkannya. Saya mendengar dia menangis tiap malam. Saya... merasa dia butuh saya.”

Jawaban itu membuat Pak Darto makin khawatir. Ia merasa Sari sudah mulai dikuasai oleh sesuatu. Malam itu, ia nekat mengintai dari kejauhan. Ia melihat Sari duduk di tepi sumur sambil berbicara. Tiba-tiba, angin berhembus kencang dan suara tangisan terdengar jelas, meski Pak Darto cukup jauh.

“Turunlah... turun bersamaku...” suara itu menggema. Dan ia melihat tangan pucat meraih tangan Sari. Untung Sari menolak dan menjerit. Pak Darto segera berlari dan menarik Sari pergi. Wajah Sari ketakutan, tapi matanya seperti setengah sadar.

Sejak kejadian itu, suara rintihan semakin sering terdengar, bukan hanya oleh Sari, tapi juga warga sekitar. Kadang terdengar tawa lirih yang menyeramkan, seolah sumur itu kini punya dua suara—satu menangis, satu lagi tertawa.

Beberapa warga mencoba mengusulkan agar sumur itu ditimbun. Namun setiap kali ada yang berusaha, selalu terjadi hal aneh. Alat yang dipakai rusak, pekerja tiba-tiba jatuh sakit, atau tanah yang ditimbun menghilang keesokan harinya.

Malam terakhir Sari terlihat oleh warga, ia tampak duduk lama sekali di tepi sumur. Saat pagi tiba, pintu rumahnya terbuka, sandal Sari ada di tepi sumur, tapi ia sendiri hilang. Warga mencari ke segala penjuru, tapi tak menemukan apa-apa.

Dari dalam sumur, suara itu kini berbeda. Tidak hanya tangisan Ratna, tapi juga suara lirih yang mirip suara Sari. “Tolong aku... temani aku...”

Sejak hari itu, warga makin menjauhi rumah tua itu. Tidak ada yang berani lewat malam hari. Konon, orang-orang yang masih berani lewat sering mendengar dua suara perempuan bersahutan dari sumur: satu menangis, satu tertawa lirih. Dan setiap kali hujan deras turun, suara itu semakin jelas, membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.

Sampai sekarang, sumur itu tetap dibiarkan tertutup. Tidak ada yang berani membuka atau menimbunnya lagi. Warga percaya, sumur itu telah mengikat dua jiwa perempuan yang tidak akan pernah bisa bebas. Dan siapa pun yang berani mendengar rintihan itu terlalu lama... bisa ikut terseret masuk.

Posting Komentar