Teror Toko Antik dan Barang Berhantu

Table of Contents
Teror di Toko Antik, Barang-Barang Berhantu - Cerpen Horor Mania

Kisah Nyata Toko Antik Berhantu

Malam itu hujan turun deras di kota Semarang. Rudi, seorang pria berusia tiga puluhan, berjalan tergesa di trotoar yang basah. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang seolah bergerak sendiri. Ia baru saja pulang dari perjalanan bisnis dan memilih untuk berjalan kaki menuju penginapan karena taksi sulit ditemukan di tengah hujan deras.

Matanya tertarik pada sebuah toko kecil di sudut jalan. Papan kayunya lusuh, catnya terkelupas, dan kaca etalase depannya dipenuhi benda-benda tua. Di atas pintu tergantung papan dengan tulisan "Toko Antik Sinar Jaya" yang hurufnya mulai pudar. Ada sesuatu yang membuat Rudi berhenti, entah rasa penasaran atau tarikan aneh yang tak bisa ia jelaskan.

Begitu pintu kayu tua itu didorong, lonceng kecil di atasnya berbunyi nyaring. Bau kayu lapuk bercampur aroma kapur barus langsung menyergap. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi lampu bohlam kuning yang menggantung rendah. Rak-rak kayu dipenuhi barang-barang antik: jam dinding tua, boneka porselen, cermin berbingkai emas, dan berbagai pernak-pernik dari zaman kolonial.

"Selamat malam," suara serak menyapa dari balik meja kasir. Seorang pria tua berambut putih tipis muncul dari balik rak. Matanya tajam, namun senyum yang ia berikan terasa... aneh. "Silakan lihat-lihat, siapa tahu ada yang menarik hati."

Rudi mengangguk sopan. Ia berjalan perlahan menyusuri lorong sempit di antara rak. Matanya tertuju pada sebuah kotak musik kecil dari kayu mahoni. Saat ia membukanya, denting melodi lembut terdengar, namun... nadanya terdengar sumbang, seolah melodi itu sedang meratap. Rudi menutupnya cepat, merasa bulu kuduknya meremang.

"Barang itu pernah dimiliki seorang nyonya Belanda," suara si pemilik tiba-tiba muncul di belakangnya. "Katanya, ia memainkannya setiap malam sebelum tidur. Setelah ia meninggal, kotak musik itu terus berbunyi sendiri."

Rudi tertawa kecil, mencoba menganggapnya hanya cerita untuk menarik pembeli. Namun semakin lama ia berada di toko itu, semakin banyak keanehan yang ia rasakan. Dari sudut matanya, ia melihat bayangan bergerak di cermin besar. Saat menoleh, bayangan itu lenyap. Boneka porselen di rak seberang terlihat mengubah arah pandangannya setiap kali ia berpaling.

Di sudut toko, Rudi menemukan sebuah lemari kaca berisi topeng-topeng kayu dari berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya menarik perhatiannya — sebuah topeng Dayak dengan ukiran rumit dan mata merah menyala. "Indah sekali," gumamnya.

"Itu tidak untuk dijual," suara pemilik toko terdengar tegas kali ini. "Topeng itu… membawa kutukan bagi siapa pun yang membawanya pulang."

Rudi hendak bertanya lebih lanjut, namun tiba-tiba lampu berkedip-kedip. Suara jam dinding tua berdentang dua kali, meskipun jam menunjukkan pukul delapan malam. Dari lorong belakang, terdengar suara langkah kaki menyeret... berat... mendekat.

"Itu hanya suara kayu tua," kata si pemilik, namun nadanya terdengar gugup. "Sebaiknya Anda segera pergi, hujan sebentar lagi reda."

Namun rasa penasaran Rudi justru memuncak. Ia berpura-pura menuju pintu, tapi diam-diam kembali menyelinap ke arah lorong belakang. Ruangan itu lebih gelap, hanya diterangi cahaya dari celah pintu gudang. Saat ia mengintip, Rudi melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Di dalam gudang, barang-barang antik tersusun rapi, namun di tengahnya ada sebuah kursi goyang yang bergerak sendiri. Di kursi itu duduk sosok perempuan bergaun putih kusam, wajahnya tertutupi rambut panjang basah. Di pangkuannya, ia memeluk boneka porselen yang tadi dilihat Rudi di rak depan. Boneka itu… tersenyum padanya.

Rudi mundur pelan, tapi kakinya menginjak sesuatu yang membuat suara keras. Sosok perempuan itu mendongak perlahan. Matanya kosong, namun mulutnya bergerak... berbisik pelan: "Bantu… aku..."

Ketika Rudi berbalik hendak lari, pintu gudang menutup sendiri dengan keras. Lampu di toko padam total. Suara-suara mulai terdengar di sekelilingnya: tawa anak kecil, denting kotak musik, dan suara kayu berderit seperti lantai yang diinjak. Nafasnya memburu, ia meraba-raba mencari jalan keluar.

Tiba-tiba, sesuatu memegang bahunya dari belakang. Saat menoleh, ia hanya melihat gelap… lalu muncul cahaya kecil dari ujung lorong. Itu adalah lampu senter si pemilik toko. "Saya sudah bilang, jangan ke belakang," ucapnya dengan nada dingin. "Sekarang, kau sudah melihatnya."

Rudi mencoba berbicara, namun lidahnya kelu. Pemilik toko itu berjalan mendekat, lalu berbisik, "Mereka yang melihatnya… tidak pernah bisa pergi begitu saja."

Mendadak, semua barang di toko itu mulai bergerak. Cermin besar bergetar, jam dinding berdentang tak henti, dan kotak musik memainkan nada yang semakin cepat. Bayangan-bayangan hitam merayap di dinding, mengelilingi Rudi. Ia berlari ke pintu, menariknya dengan sekuat tenaga, namun pintu itu seolah terkunci dari dalam.

Suara tawa anak kecil berubah menjadi jeritan melengking. Boneka-boneka porselen jatuh dari rak, tapi bukannya pecah, mereka merangkak mendekatinya dengan gerakan kaku. Salah satu boneka melompat ke bahunya, mencakar lehernya. Darah hangat mengalir, membuat Rudi semakin panik.

"Lepaskan aku!" teriaknya, namun suaranya tenggelam dalam hiruk pikuk suara-suara menyeramkan itu.

Dalam keputusasaan, Rudi menendang pintu dengan sekuat tenaga. Kali ini pintu terbuka, dan ia terlempar keluar ke jalan yang diguyur hujan deras. Namun saat ia menoleh, toko itu… hilang. Yang ada hanyalah dinding bata tua tanpa pintu atau jendela. Hanya genangan air di bawahnya yang memantulkan bayangan Rudi… dan di belakangnya, bayangan sosok perempuan bergaun putih sedang tersenyum.

Rudi berlari tanpa menoleh lagi, menembus hujan hingga sampai ke penginapannya. Napasnya masih tersengal saat ia mengunci pintu kamar. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa semua yang dilihatnya hanyalah ilusi. Namun saat ia membuka tasnya, ia membeku. Di dalamnya… ada kotak musik mahoni itu, berdenting pelan meskipun ia tak pernah membelinya.

Malam itu, Rudi tidak tidur. Kotak musik itu terus berbunyi, nadanya semakin sumbang. Dan setiap kali ia menoleh ke cermin di kamar hotel, ia melihat bayangan toko itu… lengkap dengan sosok perempuan di kursi goyang, menunggu dengan sabar.

Posting Komentar