Sosok Bayangan Hantu DPRD Aceh
Misteri Penampakan Hantu di Gedung DPRD Aceh
Malam itu, suasana Banda Aceh terasa lengang. Lampu jalan berkelip samar di bawah langit yang mendung. Seorang mahasiswi bernama Rani melangkah cepat menuju gedung DPRD Aceh. Ia sedang menyelesaikan tugas penelitian tentang sejarah gedung tersebut, dan menurut dosennya, ia harus mengambil beberapa dokumentasi langsung di lokasi meskipun sudah larut. Baginya, tugas ini bukan sekadar kewajiban, tapi juga sebuah tantangan. Ia selalu ingin menggali sisi tersembunyi dari setiap bangunan bersejarah, termasuk rumor tentang kisah mistis di dalamnya.
“Kenapa harus malam begini ya? Besok saja kan bisa,” gumam Rani sambil menghela napas panjang. Namun rasa penasarannya lebih besar. Konon, gedung DPRD Aceh memiliki catatan sejarah yang panjang, bahkan ada cerita-cerita mistis yang tak pernah ditulis dalam arsip resmi. Ada kisah tentang anggota dewan yang meninggal mendadak di ruang sidang, ada juga desas-desus penampakan sosok wanita misterius di tangga depan. Semua itu dianggap mitos, tapi Rani ingin melihat sendiri kenyataannya.
Begitu tiba di depan gerbang gedung, Rani merasakan hawa aneh. Angin malam seolah berhembus lebih dingin dari biasanya. Ia sempat menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada siapa pun. Gedung megah itu berdiri kokoh, namun suasana sunyinya membuat bulu kuduknya meremang. Bangunannya bercat putih dengan pilar besar menjulang, seolah menyimpan banyak rahasia. Bayangan pohon-pohon besar di halaman menambah kesan suram, seakan-akan setiap daun yang bergerak membawa bisikan tak kasatmata.
“Oke, cuma ambil foto, catat sedikit, terus pulang,” ucapnya mencoba menenangkan diri.
Ia mengeluarkan kamera kecil dari tas dan mulai memotret bagian depan gedung. Sekilas, semuanya terasa normal. Namun ketika ia mengarahkan kamera ke arah tangga depan, layar kamera menampilkan sesuatu yang tidak sama dengan pandangan matanya. Di layar, terlihat bayangan hitam menyerupai seorang wanita berdiri diam di tangga. Rani sontak menarik napas tajam. Ia menurunkan kamera, menatap langsung tangga tersebut. Kosong. Tidak ada siapa pun. Ia mengusap matanya, lalu kembali mengangkat kamera. Bayangan itu muncul lagi, lebih jelas, dengan siluet gaun putih panjang.
“Eh… apa ini?” bisik Rani, jantungnya berdegup kencang.
Ketika ia melangkah pelan, terdengar suara lirih seperti bisikan. “Pulang…” Suara itu begitu dekat di telinganya, padahal tidak ada orang. Rani langsung merinding. Ia mencoba menepis rasa takut dengan logika, mungkin hanya halusinasi. Namun rasa penasaran justru menuntunnya untuk mendekat ke tangga. Setiap langkahnya bergema, seakan mempertebal kesunyian malam. Udara semakin dingin, dan bulu kuduknya berdiri. Sesampainya di anak tangga pertama, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. “Jangan naik…”
Namun Rani mengabaikannya. Ia menatap ke atas dan mendapati sosok wanita bergaun putih berdiri di ujung tangga. Rambutnya panjang menutupi wajah, tubuhnya kurus dengan tangan menggantung lemas. Rani terpaku, tubuhnya kaku, seperti ada yang mengikatnya. Lidahnya kelu, hanya bisa bergetar pelan. “Siapa… siapa kau?”
Sosok itu tidak menjawab, hanya berdiri. Perlahan ia bergerak menuruni tangga tanpa suara. Aura mencekam semakin kuat, seolah udara malam berhenti berhembus. Rani panik, lalu berlari ke arah pintu samping gedung. Ia berhasil membuka pintu kayu berat dan masuk ke dalam. Namun ruangan dalam gedung ternyata lebih gelap dari yang ia bayangkan. Lampu-lampu redup menyorot hanya sebagian koridor panjang. Aroma debu bercampur kayu tua menambah suasana angker.
“Ini gila… kenapa aku masuk?” gumamnya sambil menyalakan senter ponsel.
Koridor panjang itu penuh dengan pintu-pintu kayu di kanan kiri. Suasana sunyi, hanya terdengar detak jam dinding tua di ujung lorong. Rani menyorotkan cahaya ke dinding, dan matanya tertumbuk pada deretan foto pejabat lama. Namun satu foto membuatnya terhenti. Dalam pigura itu, ada sosok wanita yang wajahnya sangat mirip dengan bayangan yang tadi ia lihat di tangga. Tulisan di bawah foto itu sudah memudar, hanya terbaca sebagian nama: “Cut …rah”.
“Tidak mungkin…,” Rani menelan ludah.
Tiba-tiba, suara langkah kaki menggema di koridor. Suara itu semakin mendekat, padahal lorong kosong. Rani mundur beberapa langkah, tangannya gemetar memegang ponsel. Suara itu berhenti tepat di belakangnya. Perlahan ia menoleh. Sosok wanita bergaun putih kini berdiri sangat dekat. Wajahnya jelas terlihat, pucat dengan mata penuh kesedihan. Rani ingin menjerit, tetapi sosok itu berkata dengan suara serak, “Kau melihat aku… jangan ceritakan pada siapa pun.”
Seketika tubuh Rani kaku. Wanita itu lalu berjalan melewatinya begitu saja, tubuhnya tembus cahaya. Rani menutup mata, berharap itu hanya mimpi buruk. Namun ketika membuka mata, koridor itu kosong kembali. Pintu di ujung lorong yang tadinya terkunci kini terbuka sedikit. Dengan sisa tenaga, Rani segera berlari keluar. Udara malam terasa lebih melegakan daripada suasana mencekam di dalam gedung. Ia berlari hingga sampai ke jalan besar, wajahnya pucat, nafas terengah.
Keesokan harinya, Rani mencoba mencari informasi tentang foto wanita di dinding gedung DPRD Aceh itu. Ia menemui seorang penjaga tua di halaman belakang. Saat Rani menunjukkan foto yang ia ambil, penjaga itu terdiam lama, lalu berkata, “Anak muda… sebaiknya kau hapus foto itu. Perempuan itu bukan sembarangan orang. Dia pernah menjadi korban peristiwa kelam di masa lalu, arwahnya tidak pernah tenang.”
“Apa maksud Bapak? Apa dia masih ada di sini?” tanya Rani gemetar.
Penjaga itu menghela napas. “Banyak yang bilang, dia sering menampakkan diri di tangga depan. Hanya pada orang-orang tertentu. Kalau kau sudah melihatnya, jangan kembali ke sini malam-malam. Dia tidak suka diganggu.”
Kata-kata itu terus terngiang di kepala Rani. Malamnya, di kamar kos, ia mencoba menghapus semua foto di laptop. Namun layar tiba-tiba menyala sendiri. Foto sosok wanita itu muncul, meski ia sudah menghapusnya. Jantungnya hampir copot. “Astaga… apa yang sudah aku lakukan?” bisiknya. Tiba-tiba terdengar ketukan di jendela. Perlahan ia mendekat. Ketika tirai dibuka, sosok wanita bergaun putih itu berdiri di luar, meski kamar Rani ada di lantai dua. Matanya menatap kosong, mulutnya bergerak tanpa suara. Rani menutup tirai sambil menjerit histeris.
Keesokan harinya, Rani mendatangi perpustakaan kampus, mencari arsip lama. Dari beberapa catatan koran tua, ia menemukan nama seorang wanita bernama Cut Zahrah, aktivis perempuan yang pernah memperjuangkan hak masyarakat pada masa konflik. Kabarnya ia sering mendatangi gedung DPRD Aceh untuk menyuarakan aspirasi. Namun suatu malam, ia ditemukan meninggal misterius di tangga gedung itu. Kasusnya tidak pernah terungkap. Banyak yang percaya, arwahnya gentayangan menuntut keadilan.
Semakin dalam Rani meneliti, semakin ia merasa seperti ditarik masuk ke dalam kisah itu. Malam berikutnya, ia kembali mendapat mimpi buruk. Dalam mimpinya, ia melihat Cut Zahrah duduk di tangga gedung sambil menangis. “Jangan biarkan aku dilupakan…” suaranya berulang-ulang menggema. Rani terbangun dengan keringat dingin, tubuhnya gemetar. Ia mulai merasa bukan sekadar kebetulan ia melihat sosok itu, tapi seolah dipilih untuk menyampaikan pesan.
Beberapa hari kemudian, Rani memberanikan diri kembali ke gedung DPRD Aceh. Kali ini ia datang saat sore menjelang malam, berharap suasananya tidak terlalu menyeramkan. Namun begitu ia menapaki halaman, hawa dingin langsung menyergap. Dari kejauhan, ia melihat sosok wanita bergaun putih itu berdiri di tangga. Bedanya, kini wajahnya terlihat jelas: sedih, penuh luka, matanya berair darah. Rani menahan napas, lututnya gemetar.
“Apa yang kau inginkan dariku?” teriak Rani, suaranya bergetar.
Sosok itu menoleh pelan, lalu menghilang begitu saja. Namun di udara terdengar suara samar, “Tolong ceritakan kebenaranku…”
Sejak malam itu, hidup Rani tidak pernah sama. Ia dihantui bayangan Cut Zahrah di mana pun berada. Kadang sosok itu muncul di pantulan kaca, kadang di layar ponsel, bahkan di mimpinya setiap malam. Rani merasa dirinya seperti dipaksa menjadi saksi bagi sebuah sejarah yang tak pernah diungkap.
Namun dilema besar menghantui pikirannya. Jika ia menceritakan hal ini, ia melanggar pesan hantu itu. Tapi jika ia diam, arwah itu mungkin tidak akan pernah tenang. Dan setiap kali ia mencoba menulis kisahnya, tinta pena terasa macet, layar laptop berkedip, atau terdengar ketukan misterius di pintunya.
Hingga suatu malam, Rani duduk sendirian di meja belajarnya. Ia memberanikan diri menulis laporan tentang penampakan itu, berharap bisa mengungkap kebenaran. Saat tangannya menekan tombol terakhir di laptop, layar tiba-tiba membeku. Tulisan aneh muncul sendiri, bukan dari jari Rani: “Kau sudah berjanji… kau melanggarnya…”
Lampu kamar padam mendadak. Dalam gelap, Rani merasakan ada seseorang berdiri tepat di belakangnya. Napas dingin terasa di tengkuknya. Suara wanita itu berbisik pelan, “Kini kau milikku…”
Jeritan Rani pecah di malam sunyi. Namun tidak ada yang mendengar. Keesokan harinya, teman kosnya hanya menemukan laptop yang masih menyala, menampilkan foto sosok wanita di tangga gedung DPRD Aceh. Rani menghilang tanpa jejak, seperti ditelan oleh bayangan yang dulu coba ia ungkap.

Posting Komentar