Bersiul Tengah Malam dan Teror Mencekam
Teror: Petaka Bersiul di Tengah Malam
Malam itu desa Sukamaju tampak lengang. Angin bertiup pelan melewati pepohonan pisang di pinggir jalan. Rini, seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang tinggal seorang diri di rumah tembok sederhana peninggalan orang tuanya, sedang duduk di ruang tamu. Televisi menyala dengan suara pelan, menayangkan sinetron malam. Sesekali ia melirik jam dinding yang menunjukan pukul sebelas lebih sedikit.
“Ah, masih belum ngantuk juga,” gumam Rini sambil meraih segelas teh hangat di meja kecil. Namun, di balik rasa kantuk yang tak kunjung datang, ada kebiasaan aneh yang akhir-akhir ini ia lakukan. Rini suka sekali bersiul saat malam, meski hanya pelan. Ia tidak tahu dari mana kebiasaan itu datang, mungkin karena sepi membuatnya ingin ada bunyi pengisi suasana.
Di perkampungan itu, sebenarnya ada mitos lama yang sering diceritakan para tetua. Katanya, bersiul di tengah malam bisa mengundang makhluk halus. Tapi Rini menganggapnya hanya dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak. Ia tersenyum tipis mengingat ucapan almarhum neneknya, "Jangan pernah bersiul di malam hari, nanti ada yang datang."
Malam itu, tanpa pikir panjang, Rini kembali bersiul. Nadanya pelan, seperti potongan lagu yang tak jelas. Angin yang tadinya berhembus tenang mendadak berubah agak dingin. Lampu ruang tamu berkelip sebentar lalu normal kembali. Rini menoleh ke arah lampu itu, sedikit heran. "Paling listriknya turun," pikirnya santai.
Namun, entah mengapa bulu kuduknya berdiri. Ia merasa ada sesuatu di luar rumah. Dengan rasa penasaran, ia mendekati jendela dan mengintip celah tirai. Jalanan depan rumah sepi. Hanya bayangan pohon pisang yang bergoyang tertiup angin.
"Halah, perasaan aja kali," katanya sambil kembali duduk. Ia pun mencoba mengalihkan rasa gelisah dengan menyalakan ponsel, membuka media sosial. Namun suara lirih terdengar jelas dari arah dapur. Seperti seseorang yang membalas siulannya.
"Fiuuu… fiuuuu…"
Rini sontak menegakkan badan. Matanya melebar, jantungnya berdebar cepat. "Siapa itu?" suaranya bergetar. Ia berdiri perlahan, mencoba memastikan bahwa suara itu hanyalah ilusi. Tapi suara itu terdengar lagi, kali ini lebih panjang dan jelas.
"Fiuuuuu… fiuuu…"
Dengan langkah hati-hati, Rini berjalan ke dapur. Lampu neon di sana menyala terang, tidak ada tanda-tanda orang. Namun, ia melihat sesuatu di dekat jendela dapur. Bayangan hitam tinggi berdiri diam. Rini menahan napas, kakinya gemetar.
"Permisi… siapa di sana?" katanya pelan, berharap hanya tetangga yang iseng. Tapi bayangan itu tidak bergerak. Justru suara siulannya terdengar semakin dekat, seolah berasal dari balik tembok rumahnya.
“Astaghfirullah… jangan bercanda begini,” ucap Rini panik. Ia buru-buru menutup jendela dan berlari ke ruang tamu. Namun, saat ia duduk di sofa, suara ketukan pintu terdengar tiga kali. Tok… tok… tok…
"Ya Allah, siapa sih tengah malam begini?" bisiknya ketakutan. Ia beranikan diri mendekat. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara seorang wanita. "Rini… buka pintunya…" suaranya lirih, seperti merintih kesakitan.
Rini tertegun. Ia mengenali suara itu, mirip suara almarhum sahabatnya, Sinta, yang meninggal setahun lalu karena kecelakaan motor. Tubuh Rini langsung terasa lemas. "Nggak mungkin… itu pasti cuma halusinasi…" katanya sambil mundur menjauh.
Tiba-tiba, jendela ruang tamu bergetar keras, seakan ada yang mencoba masuk. Rini menjerit kecil dan menutupi telinganya. Namun suara siul itu kembali terdengar, kali ini bersahutan dari berbagai arah: dapur, kamar, bahkan atap rumah. Suaranya semakin riuh dan menekan, membuat kepala Rini pening.
“Berhenti! Jangan ganggu aku!” teriaknya sambil menangis. Namun suara itu tidak berhenti. Justru terdengar suara tawa lirih di sela siul tersebut. Suara wanita, rendah dan mengerikan.
Dalam keputusasaan, Rini berlari ke kamar dan mengunci pintu. Ia mengambil mushaf kecil yang selalu ia simpan di laci. Dengan tangan gemetar, ia membaca doa seadanya. Suara-suara itu mereda perlahan, meski masih terdengar samar seperti mengitari rumah.
Malam terasa begitu panjang. Rini duduk meringkuk di pojokan kamar, tidak berani keluar. Baru sekitar pukul empat pagi, suara-suara itu benar-benar hilang. Ia tertidur dalam ketakutan hingga matahari pagi masuk lewat jendela.
Keesokan harinya, Rini bercerita kepada tetangganya, Bu Wati. Perempuan tua itu tampak terkejut. "Kamu bersiul semalam, Rin? Waduh, sudah dibilang jangan pernah. Di desa ini, sudah banyak yang celaka karena itu."
"Celaka? Maksudnya bagaimana, Bu?" tanya Rini heran.
Bu Wati menatap serius. "Dulu, ada seorang pemuda yang suka bersiul tengah malam. Katanya untuk mengusir sepi. Tapi sejak itu, ia sering mendengar suara aneh yang menirukan siulannya. Beberapa minggu kemudian, dia ditemukan pingsan di sawah, katanya tubuhnya ditarik sosok hitam. Sejak saat itu, orang-orang percaya bersiul malam bisa memanggil makhluk halus."
Rini terdiam. Ingatannya kembali ke suara mirip Sinta semalam. "Tapi kenapa suaranya mirip orang yang saya kenal, Bu?" tanyanya lirih.
Bu Wati menghela napas panjang. "Itu caranya makhluk halus menipu manusia. Dia menirukan suara orang yang kita sayangi supaya kita percaya. Jangan pernah terbujuk. Kalau sampai kamu buka pintu, mungkin sekarang kamu sudah tidak ada."
Rini merinding mendengar penjelasan itu. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ia benar-benar membuka pintu semalam. Sejak hari itu, ia bersumpah tidak akan pernah lagi bersiul di malam hari, meski hanya untuk mengusir sepi. Namun, rasa was-was masih terus menghantuinya, seolah ada mata yang mengawasi setiap malam.
Beberapa malam kemudian, ketika ia mencoba tidur lebih awal, Rini mendengar sesuatu yang membuat darahnya kembali membeku. Dari arah pekarangan belakang, suara siul lirih itu terdengar lagi. Kali ini bukan ia yang melakukannya, melainkan sesuatu di luar sana yang seakan menunggu ia merespons.
“Fiuuu… fiuuuu…”
Rini hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat, menahan diri untuk tidak menjawab. Matanya terpejam erat, air mata jatuh membasahi pipinya. Ia sadar, sekali saja ia balas bersiul, maka petaka itu akan datang kembali. Dan entah kali ini, apakah ia masih bisa selamat.
Pagi harinya, rasa penasaran membuat Rini memberanikan diri keluar ke pekarangan. Ia menemukan bekas tapak kaki basah di tanah yang mengarah ke pintu dapurnya. Tapak itu aneh, lebih besar dari kaki manusia biasa dan bentuknya tidak sempurna, seakan sebagian jari hilang. Rini menggigil melihatnya.
"Apa mungkin… semalam benar-benar ada yang berdiri di sini?" pikirnya. Ia buru-buru menaburkan garam kasar di sekeliling rumah, mengikuti saran orang tua desa yang sering ia dengar. Meski ia tidak yakin, setidaknya itu membuatnya sedikit tenang.
Hari-hari berikutnya, Rini berusaha hidup normal. Ia pergi ke pasar, bercengkerama dengan tetangga, dan menghindari obrolan soal kejadian aneh itu. Namun, setiap malam rasa takut kembali hadir. Lampu rumah selalu ia nyalakan semua, tapi tetap saja hawa dingin dan rasa diawasi tidak pernah hilang.
Suatu malam, saat listrik desa mendadak padam, Rini panik. Ia menyalakan lilin, mencoba menenangkan diri. Namun, suara itu lagi-lagi terdengar. "Fiuuu… fiuu…" Kali ini terdengar lebih dekat, seolah tepat di telinganya. Rini sontak menjatuhkan lilin hingga padam. Rumahnya gelap gulita.
"Siapa pun kau, jangan ganggu aku!" jeritnya ketakutan. Dari kegelapan, samar ia melihat bayangan bergerak di sudut ruangan. Seorang wanita berambut panjang menunduk, wajahnya tertutup rambut, berdiri diam sambil terus bersiul. Rini mundur pelan, tubuhnya gemetar hebat.
Wanita itu melangkah mendekat, setiap langkah diiringi siulan panjang yang menusuk telinga. Rini berteriak histeris dan langsung berlari ke luar rumah. Ia mengetuk pintu rumah Bu Wati dengan keras. "Tolong Bu! Tolong saya!"
Bu Wati yang baru terbangun segera membukakan pintu. "Ya Allah, Rin! Kenapa pucat sekali?" Rini menangis sambil menceritakan apa yang baru dilihatnya. Bu Wati langsung membaca doa dan memberikan segelas air putih yang sudah dibacakan ayat-ayat suci.
"Kamu harus hati-hati, Rin. Makhluk itu sudah menempel padamu. Dia akan terus datang selama kamu masih pernah bersiul malam hari," ucap Bu Wati dengan wajah khawatir.
Sejak malam itu, Rini tidak lagi berani tidur sendirian. Ia sering meminta beberapa tetangga atau anak-anak kecil untuk menginap, agar rumah tidak terasa sepi. Namun, bahkan dengan banyak orang di rumah, kadang suara siulan itu tetap terdengar. Hanya ia yang bisa mendengarnya, membuatnya semakin tersiksa.
Suatu kali, ia bermimpi bertemu Sinta. Dalam mimpi itu, Sinta berdiri di pinggir sawah sambil melambaikan tangan. "Ikut aku, Rin… jangan takut…" Rini hampir mengikuti langkah Sinta, namun suara adzan subuh membangunkannya tepat waktu. Ia sadar, jika ia benar-benar mengikuti, mungkin ia takkan kembali.
Malam demi malam terasa seperti ujian panjang. Rini mulai kurus, wajahnya pucat, dan matanya cekung karena kurang tidur. Tetangga mulai kasihan melihat kondisinya. Beberapa orang bahkan menyarankan agar ia pindah rumah atau melakukan ritual tertentu untuk mengusir makhluk itu.
Namun dalam hati kecilnya, Rini tahu, ini semua berawal dari kesalahannya sendiri. Bersiul tengah malam telah membuka pintu yang seharusnya tidak ia ganggu. Dan kini, pintu itu sulit sekali ditutup kembali.
Suatu malam terakhir yang paling menegangkan, suara siulan itu kembali terdengar lebih keras dari sebelumnya. Kali ini disertai ketukan di semua jendela rumah, serempak. Rini berlari keluar dengan nekat, membawa Al-Qur’an kecil di tangannya, menuju musala kecil di ujung desa. Dengan air mata bercucuran, ia sujud di dalam musala dan terus berdoa agar terlepas dari teror itu.
Ajaibnya, malam itu suara siulan berhenti total. Hening. Namun, sejak saat itu, setiap kali Rini melintas dekat sawah desa, ia selalu merasa ada suara lirih memanggil dari kejauhan. "Fiuuu… fiuuuu…" Lembut, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri.
Ia sadar, teror itu mungkin tidak sepenuhnya hilang. Hanya menunggu ia lengah. Dan ia bersumpah dalam hati, tidak peduli sepi, tidak peduli gelap, ia takkan pernah lagi bersiul di tengah malam. Karena ia tahu, sekali ia melakukannya, petaka itu akan datang kembali… dan kali ini, mungkin tidak akan membiarkannya selamat.

Posting Komentar