Legenda Sundel Bolong di Hutan Jawa

Table of Contents
Legenda Sundel Bolong di Hutan Jawa - Cerpen Horor Mania

Kisah Horor Sundel Bolong di Jawa

Malam itu udara terasa lembap ketika bus rombongan sebuah SMA dari Jakarta memasuki kawasan Jawa Tengah. Di dalam bus, para siswa tampak antusias mengikuti studi tour yang sudah lama mereka nantikan. Salah satunya adalah Arini, siswi cantik kelas XI yang dikenal pendiam namun berani. Rambut hitam panjangnya tergerai, dan matanya tampak penuh rasa ingin tahu akan perjalanan kali ini.

"Besok kita ke situs bersejarah, lalu lanjut ke desa wisata," kata guru pendamping, Pak Darto, sambil memegang mikrofon. "Tapi ingat, jangan ada yang sembarangan masuk hutan. Di sini ada kawasan larangan."

Para siswa tertawa kecil, menganggapnya hanya peringatan biasa. Namun Arini merasakan sesuatu yang berbeda. Ia duduk di dekat jendela, memandangi pepohonan yang semakin rapat, seolah menyembunyikan rahasia kelam. Ada hawa dingin yang sesekali menyentuh tengkuknya, membuatnya merinding.

Keesokan harinya, rombongan tiba di sebuah desa tua yang dikelilingi hutan lebat. Warga menyambut ramah, tapi ada beberapa tatapan mata yang terkesan penuh peringatan. Seorang nenek tua berbisik lirih ketika melihat Arini, "Jangan sampai kau melangkah ke hutan itu, Nak. Di sana ada penunggu yang haus jiwa."

Arini hanya mengangguk sopan, meski hatinya diliputi rasa penasaran. Sore harinya, ketika teman-temannya sibuk bermain di lapangan desa, Arini justru merasa tertarik pada jalan setapak menuju hutan. Angin berhembus lirih, seperti memanggil namanya.

"Arini, jangan ke situ," ucap Dina, sahabatnya, yang menyadari arah langkahnya.

"Aku cuma mau lihat sebentar," jawab Arini sambil tersenyum. "Tenang saja."

Dina menggeleng, merasa tidak enak. Namun Arini tetap melangkah, masuk ke jalan setapak yang dikelilingi pepohonan tinggi. Semakin jauh ia melangkah, semakin sunyi suasana. Suara jangkrik mendominasi, sementara cahaya matahari mulai meredup tertutup rimbunnya dedaunan.

Di tengah hutan, Arini menemukan sebuah batu besar berlumut. Anehnya, di sekitarnya terasa seperti ada aroma bunga melati yang menyengat. Ia berhenti, menghirup dalam-dalam, namun tiba-tiba tubuhnya merinding. Dari kejauhan terdengar suara perempuan tertawa lirih.

"Hahaha..."

Arini tertegun. "Siapa di sana?" suaranya gemetar.

Tiba-tiba, muncul sosok wanita berambut panjang menutupi wajah, mengenakan kain putih panjang yang lusuh. Tubuhnya tampak membungkuk, dan langkahnya pelan namun menyeramkan. Arini berusaha mundur, tapi kakinya terasa berat.

"Kau... cantik sekali," suara perempuan itu terdengar serak, namun sekaligus lembut. "Aku dulu juga cantik, sebelum... tubuhku rusak."

Arini menelan ludah. "Siapa kamu?"

Sosok itu mendekat, lalu membalikkan tubuhnya. Dari punggungnya yang terbuka, tampak lubang besar penuh belatung dan darah hitam yang menetes. Arini menjerit tertahan, tubuhnya gemetar hebat.

"Aku Sundel Bolong," ucap hantu itu, tatapannya menembus jiwa. "Dan kau... mirip sekali denganku sebelum aku mati."

Arini berusaha berlari, namun jalan yang ia lalui terasa berubah. Pohon-pohon bergeser seolah menutup jalan keluar. Ia hanya berputar-putar, hingga kembali lagi ke batu besar berlumut itu. Dari arah lain, suara tawa kembali terdengar, kali ini lebih banyak, seolah ada beberapa sosok yang mengelilinginya.

"Kenapa aku di sini?" pikir Arini panik. "Kenapa jalannya berubah?"

Dari kegelapan hutan, muncul bayangan perempuan-perempuan lain, semuanya berambut panjang, wajah pucat, dan tubuh berlumuran darah. Mereka berbisik lirih, "Temani kami... temani kami..."

Arini menutup telinganya, berlari sekuat tenaga. Tiba-tiba ia menabrak seseorang—Pak Darto. Guru itu terengah-engah, matanya merah seperti tidak normal.

"Pak... tolong saya! Ada hantu!" Arini memohon.

Namun Pak Darto hanya tersenyum aneh. "Kau memang anak terpilih. Mereka sudah menunggumu. Kau tak bisa kabur."

Arini membeku. Tubuh Pak Darto perlahan berubah, wajahnya memanjang, rambut hitam menjuntai, hingga akhirnya tubuhnya berubah menjadi sosok Sundel Bolong yang sama. Arini menjerit histeris, terjatuh, lalu berlari ke arah lain tanpa peduli jalannya.

Tiba-tiba ia mendengar suara Dina memanggil, "Arini! Arini, ke sini!"

Arini melihat sahabatnya berdiri di tepi jalan setapak. Dengan sisa tenaga, ia berlari ke arahnya. Namun saat tangannya hampir menyentuh Dina, sosok itu tersenyum aneh. Rambut panjang menutupi wajahnya, dan tubuhnya perlahan berlumuran darah.

"Arini... kau sudah milik kami," bisik sosok itu.

Arini berteriak, namun tubuhnya seakan tersedot ke dalam kegelapan. Suara tawa perempuan terdengar semakin keras, menggema di seluruh hutan. Saat ia membuka mata, dirinya sudah berada di tengah rombongan teman-temannya yang sedang bersiap kembali ke bus. Semuanya menatapnya heran.

"Arini, kau dari mana saja? Wajahmu pucat sekali," tanya Dina yang asli, kali ini benar-benar sahabatnya.

Arini terdiam, tubuhnya masih gemetar. Ia menatap ke arah hutan, dan samar-samar ia melihat sosok perempuan berambut panjang berdiri di balik pepohonan, menatapnya tajam. Senyuman menyeramkan terukir di wajah hantu itu, seakan memberi pesan bahwa ia belum selesai.

Sejak hari itu, Arini sering terbangun tengah malam dengan bau melati menyengat di kamarnya. Kadang ia melihat bayangan rambut panjang di sudut cermin. Ia tahu, Sundel Bolong dari hutan Jawa itu masih mengikutinya... menunggu saat yang tepat untuk membawanya pergi.

Hari-hari berikutnya, Arini menjadi murung. Teman-temannya mengira ia hanya lelah setelah perjalanan panjang. Namun setiap malam, ia selalu dihantui mimpi yang sama: berjalan sendirian di hutan gelap, mendengar tawa perempuan, lalu melihat lubang menganga di punggungnya sendiri.

Suatu malam, Arini bercerita pada Dina. "Aku takut, Din. Aku merasa dia selalu di dekatku. Bau melati itu selalu ada. Bahkan tadi pagi, aku melihat rambut panjang di meja belajarku."

Dina mencoba menenangkannya. "Mungkin kamu stres, Rin. Jangan terlalu dipikirkan."

"Tidak, Din," suara Arini gemetar. "Aku merasa... ada sesuatu dalam tubuhku. Kadang perutku terasa sakit seperti ada yang bergerak di dalam."

Dina merinding mendengarnya. Ia pun mencoba mencari jawaban dari internet tentang legenda Sundel Bolong. Ia menemukan cerita lama bahwa Sundel Bolong adalah arwah wanita yang mati mengenaskan, sering kali karena diperkosa atau dikhianati, lalu dikubur dengan cara tidak wajar hingga tubuhnya bolong di bagian punggung. Hantu ini dipercaya akan mencari pengganti untuk meneruskan kutukannya.

Dina segera menutup layar laptopnya. "Jangan sampai Arini jadi penggantinya," batinnya.

Keesokan harinya, Dina menemui nenek tua yang pernah memperingatkan Arini di desa itu. Dengan hati-hati, ia bertanya tentang Sundel Bolong. Nenek itu menatapnya tajam lalu berkata, "Jika kau benar ingin menyelamatkan sahabatmu, jangan biarkan ia sendirian saat malam bulan purnama. Itulah saat penunggu itu akan mencoba mengambilnya secara penuh."

Dina pulang dengan hati cemas. Malam itu kebetulan bulan purnama. Ia memastikan untuk menemani Arini di kamarnya. Namun menjelang tengah malam, bau melati semakin menyengat. Angin bertiup kencang, jendela terbuka sendiri, dan sosok perempuan berambut panjang muncul di cermin kamar.

"Arini... waktumu tiba," bisik sosok itu, lalu tangannya keluar dari cermin, berusaha menarik Arini.

Arini menjerit, sementara Dina berusaha menarik sahabatnya menjauh. Namun kekuatan hantu itu begitu kuat. Arini hampir tersedot ke dalam cermin, hingga tiba-tiba terdengar suara azan subuh dari masjid dekat rumah. Sosok itu menjerit melengking, lalu menghilang meninggalkan bau busuk darah yang menusuk hidung.

Arini tergeletak lemah, tubuhnya penuh keringat. Dina memeluknya sambil menangis. "Aku tidak akan membiarkanmu diambil, Rin. Kita harus mencari cara mengakhiri ini."

Sejak saat itu, mereka berdua berusaha mencari jawaban. Arini semakin pucat dari hari ke hari, seolah energinya disedot perlahan. Setiap kali melewati cermin atau tempat gelap, ia merasa ada yang mengintai. Suara tawa lirih kadang terdengar di telinganya meski ia sedang berada di tengah keramaian.

Namun yang paling menakutkan adalah kenyataan bahwa setiap kali ia melihat bayangan dirinya di cermin, ada lubang hitam besar di punggungnya... sama persis seperti Sundel Bolong.

Legenda itu ternyata bukan sekadar cerita rakyat. Itu adalah warisan kutukan yang terus hidup di hutan Jawa, menunggu jiwa-jiwa baru untuk terjerat. Dan kini, Arini berada di ambang takdir kelam itu, dengan nasib yang belum bisa ia hindari.

Apakah ia bisa bebas, atau justru akan menjadi Sundel Bolong berikutnya, menunggu korban baru di balik hutan larangan Jawa?

Posting Komentar