Teror Mistis di Gua Jepang Belanda Bandung
Larangan Kata "Lada" Picu Teror di Gua Jepang Bandung
Aku tidak pernah percaya dengan mitos, apalagi larangan aneh yang sering beredar di tempat wisata bersejarah. Bagiku, semua itu hanya cerita untuk menambah kesan mistis agar lokasi lebih menarik bagi pengunjung. Namun, semua keyakinanku hancur pada hari ketika bosku menyuruhku membuat iklan promosi di Gua Jepang dan Gua Belanda, yang berada di kawasan Dago Pakar, Bandung. Sejak saat itu, hidupku tak pernah lagi sama.
Namaku Dina, seorang karyawan di sebuah agensi periklanan. Pekerjaanku memang sering menuntutku ke lapangan, mendokumentasikan lokasi wisata atau produk untuk kebutuhan klien. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada firasat yang tidak enak, meskipun aku berusaha menepisnya.
Semua bermula saat Pak Heri, bosku, mendekatiku di kantor dengan ekspresi serius. "Dina, klien kita minta promosi lokasi wisata bersejarah. Kau yang harus turun langsung. Besok pagi kau pergi ke Gua Jepang dan Gua Belanda. Bikin konten iklan yang menarik, ambil foto, rekam video, dan kirimkan konsepnya secepatnya," katanya sambil menyodorkan map berisi brief.
Aku hanya mengangguk. Bagiku itu tugas biasa. Tapi saat aku menyebut rencana itu pada salah satu rekan kerja, Rani, wajahnya mendadak pucat.
"Hati-hati, Din. Di sana ada larangan yang nggak boleh dilanggar. Jangan pernah ucapkan kata 'lada'. Katanya itu pemicu teror," bisiknya lirih.
Aku spontan tertawa. "Serius, Ran? Larangan cuma sekadar kata? Masa iya hantu bisa muncul gara-gara kata bumbu dapur?"
Rani tidak ikut tertawa. Ia malah menatapku dengan mata penuh peringatan. "Aku nggak bercanda. Teman kakakku pernah ngalamin, katanya setelah ucapin kata itu, ia diteror sampai ke rumah. Kalau kau nggak percaya, terserah. Tapi jangan pernah coba."
Meski merinding sedikit, aku tetap menganggapnya sekadar cerita. Aku terlalu sibuk menyiapkan kamera, tripod, dan konsep iklan untuk memikirkan larangan aneh itu. Malam sebelum keberangkatan, aku bahkan sempat bermimpi aneh. Dalam mimpiku, aku berada di sebuah lorong gelap penuh kelelawar. Suara langkah tentara bergema, dan di ujung lorong ada sosok bayangan memanggilku dengan suara berat. "Datanglah... kau sudah dipilih..." Aku terbangun dengan keringat dingin. Meski begitu, aku menganggapnya hanya mimpi karena terlalu banyak cerita horor dari Rani.
Keesokan harinya aku berangkat ke Dago Pakar. Jalanan berliku, dikelilingi pepohonan rimbun yang membuat udara terasa sejuk. Ketika tiba di area Gua Jepang, suasana langsung berubah. Ada hawa dingin menusuk yang tak biasa. Langkahku terasa berat ketika masuk, seakan ada mata yang memperhatikanku dari dalam kegelapan. Papan informasi di luar gua menceritakan sejarahnya, bagaimana gua itu dulunya digunakan tentara Jepang sebagai tempat pertahanan dan penyiksaan. Membaca itu saja sudah membuat dadaku sesak.
Dengan senter, aku menelusuri lorong-lorong sempit. Kamera sudah siap. Aku mulai merekam narasi singkat. "Inilah Gua Jepang, saksi bisu sejarah penjajahan, tempat yang penuh misteri dan cerita horor." Suaraku bergema, membuat bulu kudukku meremang.
Beberapa kali aku mendengar suara langkah kaki padahal aku sendirian. Sesekali ada desiran angin padahal lorong tertutup. Aku meneguhkan hati dan melanjutkan rekaman. Hingga akhirnya, saat aku menyiapkan script iklan, lidahku keceplosan.
"Tempat ini bagaikan sejarah yang pedas, seperti... lada." Suaraku terhenti. Aku langsung menutup mulut. Astaga. Aku baru sadar, aku telah mengucapkan kata terlarang itu.
Sejenak suasana hening. Namun setelah itu, terdengar bisikan panjang dari dalam kegelapan. "Lad...a... Ladaa... kau sudah memanggilku..."
Kakiku gemetar. Senterku tiba-tiba meredup. Aku buru-buru keluar dari gua, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya sugesti. Tapi di luar, udara makin berat. Bayangan hitam seolah mengikutiku dari balik pintu gua.
Aku lanjut ke Gua Belanda. Lokasinya tak jauh, namun auranya lebih menyeramkan. Gua itu lebih panjang, dengan lorong bercabang-cabang. Ketika masuk, aku mencoba menenangkan diri. "Tenang, Dina. Jangan takut. Selesaikan tugasmu dan pulang."
Aku mulai merekam kembali. Namun suara-suara aneh mengganggu. Ada suara serdadu berbicara dalam bahasa asing, ada juga tangisan lirih perempuan. Jantungku berpacu kencang. Kamera yang kupasang di tripod tiba-tiba jatuh sendiri. Ketika kuambil, di layar rekaman muncul bayangan sosok tinggi tanpa wajah.
"Tidak... ini tidak mungkin," bisikku panik.
Lalu, dari salah satu lorong gelap, muncul suara berat. "Kau sudah melanggar larangan... kau memanggil kami..."
Dadaku sesak. Aku berlari keluar gua secepat mungkin. Nafasku memburu, namun sepanjang perjalanan pulang ke parkiran, aku merasa ada langkah kaki mengikutiku. Bayangan hitam itu menempel di belakangku. Aku naik taksi online dengan tubuh gemetar, berharap semua berakhir begitu keluar dari kawasan itu.
Namun ternyata, teror tidak berhenti di sana.
Sesampainya di rumah kos, aku merasa ada sesuatu yang janggal. Lampu kamar sering berkedip, udara terasa dingin menusuk meski AC mati. Saat aku menyalakan laptop untuk mengedit video, tiba-tiba file rekamanku rusak. Hanya terdengar suara bisikan berulang-ulang. "Lada... lada... kau sudah memanggil..."
Aku menutup laptop dengan panik. "Tidak! Ini hanya halusinasi," kataku meyakinkan diri. Tapi suara itu tetap terdengar di kamar, meski tanpa perangkat apapun. Bahkan kucing kos tetanggaku yang biasanya suka masuk ke kamarku kini enggan mendekat. Setiap kali ia lewat depan pintu kamarku, bulunya berdiri dan ia mengeong panjang, seperti melihat sesuatu yang tidak terlihat olehku.
Malam itu aku sulit tidur. Ketika akhirnya terlelap, aku bermimpi berada lagi di dalam Gua Jepang. Di sekelilingku ada banyak sosok tanpa wajah, memakai seragam tentara, mengangkat senjata berkarat. Dari mulut mereka keluar kata yang sama, "Lada..." Aku berteriak dan terbangun dengan keringat dingin. Jam menunjuk pukul 03.00 dini hari.
Ketika aku hendak minum, kulihat pantulan cermin di meja rias. Di belakangku ada sosok tinggi gelap dengan mata merah menyala. Aku menoleh cepat, tapi tidak ada siapa-siapa. Saat kembali menatap cermin, sosok itu semakin dekat, tangannya terjulur ke arahku.
Aku menjerit sekuat tenaga. Tetangga kos sempat mengetuk pintu, tapi ketika kubuka, tidak ada seorang pun di luar. Hanya lorong gelap dan dingin.
Hari-hari berikutnya, teror semakin menjadi. Setiap kali aku mencoba menghapus rekaman dari gua, file itu selalu kembali dengan sendirinya. Bahkan ketika aku format kamera, rekaman itu muncul di laptop. Suara bisikan semakin jelas, bahkan terkadang terdengar seperti di telingaku langsung. "Kau sudah melanggar... tidak ada jalan kembali..."
Yang paling membuatku hampir gila adalah kejadian di kantor. Saat sedang presentasi hasil kerja, tiba-tiba layar proyektor menampilkan rekaman sosok hitam dari gua. Semua rekan kerjaku menatapku heran, sementara aku hanya bisa terpaku. Bosku marah besar, menyuruhku memperbaiki. Tapi yang kulihat jelas: sosok itu berdiri di antara kami, menatapku saja.
Aku tidak tahu harus bagaimana. Rani mencoba menolongku dengan membawa seorang ustaz untuk membaca doa di kamar kosku. Namun saat doa dibacakan, pintu dan jendela bergetar keras, lampu padam, dan suara jeritan menggema. Ustaz berkata makhluk itu terlalu marah karena aku telah memanggilnya. Ia hanya berpesan satu hal: "Kau harus kembali ke sana, minta izin, dan jangan pernah lagi menyebut kata itu."
Aku gemetar mendengarnya. Bagaimana mungkin aku kembali ke gua terkutuk itu? Tapi jika tidak, mungkin hidupku akan berakhir dalam teror. Malam itu aku menulis cerita ini dengan tangan bergetar, berharap ada yang bisa percaya dan mengerti.
Keesokan harinya, aku memberanikan diri kembali ke Dago Pakar. Dengan ditemani Rani, aku melangkah menuju Gua Jepang. Namun anehnya, saat aku masuk, lorong yang kemarin kutelusuri berubah. Ada cabang lorong baru yang sebelumnya tidak ada. Bau anyir darah menyeruak, dan udara semakin pekat.
Rani ketakutan. "Din... aku rasa ini bukan dunia nyata lagi. Kita tidak boleh terlalu jauh!"
Aku menyalakan kamera sebagai bukti, meski tangan gemetar. Suara itu kembali terdengar, lebih jelas kali ini. "Kau sudah memanggilku... kau tidak bisa lari..."
Tiba-tiba lorong bergetar seperti gempa kecil. Dari kegelapan, muncul sosok tentara tanpa wajah membawa bayonet berkarat. Mereka mendekat, langkahnya menghantam tanah dengan dentuman berat. Aku dan Rani berlari keluar, namun pintu gua seakan berubah menjadi lorong tak berujung.
Aku terjatuh, hampir menyerah, sampai tiba-tiba sosok hitam itu berhenti tepat di depanku. Matanya merah menyala, suaranya menggema memenuhi gua. "Kau sudah tahu rahasia kami. Tidak ada jalan pulang."
Namun mendadak terdengar suara azan dari kejauhan. Suara itu bergema ke dalam gua, membuat sosok-sosok tanpa wajah berteriak kesakitan sebelum lenyap. Aku terhuyung keluar gua, napas terengah, tubuhku basah oleh keringat dingin. Rani menolongku berdiri, wajahnya pucat pasi.
Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi berani ke lokasi angker, apalagi Gua Jepang dan Gua Belanda. Rekaman video terakhirku masih ada di laptop, tapi aku tak pernah berani membukanya. Kadang, di malam sunyi, aku masih mendengar bisikan itu. "Lada..."
Dan aku tahu, meski aku sudah keluar dari gua itu, sesuatu masih mengikutiku hingga kini. Jika suatu saat aku menghilang tanpa jejak, mungkin makhluk itu akhirnya berhasil membawaku kembali ke dalam kegelapan.
Jadi, jika kalian suatu saat berkunjung ke Gua Jepang atau Gua Belanda di Bandung, ingatlah satu hal: jangan pernah mengucapkan kata "lada". Karena aku sudah melakukannya... dan mereka tidak akan pernah melepaskanku.

Posting Komentar