Teror Hantu Rangda, Pemimpin Para Leak
Kisah Nyata Mahasiswi Diteror Rangda
Namaku Rani, seorang mahasiswi semester lima yang penuh rasa ingin tahu. Aku dan teman-temanku baru saja mengikuti study tour kampus ke Bali, pulau yang terkenal dengan keindahan budaya, pantai, dan juga mitos-mitos mistisnya. Tidak pernah terbayangkan olehku bahwa perjalanan yang awalnya terasa indah akan berubah menjadi malam penuh teror yang hingga kini masih membekas di pikiranku.
Hari itu, bus pariwisata menurunkan kami di sebuah desa wisata di Bali. Desa itu penuh dengan pesona: sawah hijau terbentang luas, pura berdiri megah dengan arsitektur kuno, dan suasana yang kental dengan adat istiadat. Dosen memberi kami waktu bebas untuk berkeliling, mengambil foto, dan belajar langsung tentang budaya setempat.
Awalnya, aku berjalan bersama tiga temanku: Tika, Nisa, dan Bayu. Mereka sibuk bercanda sambil memotret pemandangan. Aku, yang biasanya cukup pendiam, justru tergoda untuk menelusuri jalan kecil yang dikelilingi pepohonan besar. "Aku ke sana sebentar ya, mungkin ada pura yang menarik," kataku. Mereka hanya melambaikan tangan, mengira aku tidak akan jauh.
Namun beberapa menit kemudian, suara tawa dan panggilan mereka menghilang. Aku memanggil, "Halo? Tika? Nisa? Bayu?" tapi tidak ada jawaban. Jalan kecil itu membawa kakiku semakin dalam, hingga aku berhadapan dengan gapura batu berlumut. Dari balik gapura itu tampak sebuah desa tua, sunyi, seolah terpisah dari dunia luar.
Aku sempat ragu. "Apa aku harus kembali?" pikirku. Tapi rasa penasaran mengalahkan logika. Aku melangkah masuk.
Suasana desa itu begitu aneh. Rumah-rumah tradisional berdiri dengan atap alang-alang yang sudah rapuh, dindingnya kusam, dan halaman penuh rumput liar. Bau dupa samar bercampur dengan aroma anyir yang menusuk hidung. Udara terasa berat, membuat dadaku sesak.
Di bawah pohon beringin besar, aku melihat seorang nenek tua duduk sendirian. Rambutnya putih acak-acakan, matanya menatapku tanpa berkedip. Aku berusaha sopan. "Permisi, Nek. Saya tersesat. Apa Nek tahu jalan ke desa wisata?"
Nenek itu tersenyum. Senyum yang aneh, memperlihatkan gigi hitamnya. "Nak… desa ini bukan untukmu. Tidak semua orang bisa pulang dari sini."
Jantungku berdegup kencang. Sebelum aku bisa bertanya lebih jauh, nenek itu tiba-tiba menghilang. Hanya ada bayangan hitam yang bergerak menuju sebuah pura. Seolah tertarik oleh kekuatan tak terlihat, aku melangkah mengikuti arah itu.
Dari celah bangunan pura, kulihat beberapa sosok berpakaian hitam sedang menari. Gerakan mereka kaku, wajah pucat, mata melotot, dan lidah menjulur panjang. Darahku berdesir. "Leak…" bisikku. Aku pernah membaca tentang Leak, makhluk mistis Bali yang bisa berubah wujud dan memakan daging manusia.
Salah satu Leak menoleh ke arahku. Matanya merah menyala. Ia tertawa keras. "Hahaha… ada tamu rupanya!"
Panik, aku berlari sekuat tenaga. Namun anehnya, jalan yang kulalui berputar-putar, selalu kembali ke pura yang sama. Seperti ada kekuatan gaib yang menjeratku. Suara gamelan bertambah keras, bercampur dengan tawa menakutkan. Bau amis darah semakin menusuk.
Langkahku terhenti ketika melihat sosok raksasa keluar dari pura. Rambutnya panjang menjuntai hingga lutut, wajahnya tua penuh keriput, taring menjulang ke atas, dan matanya menyala merah. Tubuhnya mengenakan kain batik compang-camping, auranya pekat dan menakutkan. Aku terpaku, tubuhku gemetar hebat.
"Siapa kau?!" teriakku tanpa sadar.
Sosok itu menjawab dengan suara bergema, berat dan menyeramkan. "Aku Rangda… pemimpin para Leak. Kau pikir kau bisa pergi setelah melihatku?"
Aku terhuyung mundur, tubuhku kaku. Dari cerita yang pernah kudengar, Rangda adalah ratu ilmu hitam, makhluk yang ditakuti bahkan oleh Leak sendiri. Ia haus darah, suka menebar teror, dan tak segan menelan jiwa manusia yang bernasib buruk menemuinya.
Tiba-tiba tubuhku seperti dicekik oleh tangan tak kasat mata. Aku megap-megap, terjatuh, berusaha melepaskan diri. Suara tawa Rangda menggema di telingaku. "Kau milikku, gadis!"
Di tengah rasa panik, seorang pria muda muncul dari arah lain. Ia mengenakan pakaian adat Bali, membawa dupa dan sesajen. Wajahnya tegas, matanya penuh keberanian. "Kembalilah ke tempatmu, Rangda! Malam ini bukan waktumu berkeliaran!" teriaknya lantang.
Rangda menoleh, lalu tertawa keras. "Kau pikir sesajenmu bisa menghalangiku? Gadis ini sudah kutandai!"
Pria itu mulai melafalkan mantra. Asap dupa mengepul, mengelilingi kami. Perlahan cengkeraman gaib itu terlepas dariku, membuatku bisa bernapas lagi. Aku jatuh terisak, tapi Rangda semakin marah. Ia melompat, gerakannya cepat seperti angin.
"Pergi ke arah beringin besar! Jangan menoleh!" teriak pria itu padaku.
Dengan sisa tenaga, aku bangkit dan berlari. Suara tawa Rangda mengejarku, semakin dekat, membuat bulu kudukku berdiri. Pohon-pohon di sekitarku berbisik, bayangan hitam melintas di antara cabang. Aku hampir menyerah ketika melihat beringin besar di ujung jalan. Di bawahnya, sebuah gapura kecil bersinar samar, seperti pintu keluar.
Aku melompat melewati gapura itu. Seketika, suasana berubah. Aku terjatuh di jalan aspal yang terang oleh lampu jalan. Suara kendaraan terdengar jelas. Nafasku terengah, tubuhku gemetar hebat. Ketika menoleh, jalan kecil itu kembali menjadi gelap tanpa tanda kehidupan.
"Rani! Kamu di sini rupanya!" suara Tika terdengar. Ia dan Nisa berlari menghampiriku, wajah mereka cemas. "Kami mencarimu hampir satu jam! Kamu ke mana saja?"
Aku hanya bisa menangis dan memeluk mereka. Aku ingin bercerita, tapi kata-kata tercekat di tenggorokanku. Mereka pasti tidak akan percaya. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa aku baru saja lolos dari teror Rangda?
Malam itu aku tidak bisa tidur. Setiap kali memejamkan mata, wajah tua dengan taring panjang itu kembali muncul. Suara tawanya menggema, membuat tubuhku merinding. Bahkan setelah aku kembali ke hotel bersama rombongan, perasaan tidak aman itu tidak hilang.
Beberapa hari kemudian, aku nekat mencari informasi tentang desa yang kutemui. Dari obrolan dengan seorang pemandu lokal, aku mengetahui bahwa ada kampung tua di sekitar area study tour yang memang sudah lama ditinggalkan. Warga setempat percaya kampung itu dikuasai makhluk gaib. Tidak ada yang berani masuk, apalagi setelah malam tiba.
"Kalau sampai ada orang asing masuk ke sana," kata pemandu itu, "besar kemungkinan mereka akan diganggu. Apalagi kalau sampai melihat Rangda. Itu bukan sekadar legenda. Rangda memang pemimpin para Leak. Kalau benar kamu melihatnya… kamu beruntung masih bisa pulang."
Kata-kata itu membuat darahku terasa dingin. Jadi semua yang kualami nyata, bukan halusinasi. Aku merasa tubuhku masih menyimpan tanda gaib, semacam ikatan tak kasat mata dengan Rangda. Entah bagaimana, aku merasa ia masih menungguku, seakan pertemuan itu belum selesai.
Sejak kembali ke kota asal, aku sering bermimpi buruk. Dalam mimpi itu, aku selalu kembali ke desa tua, melihat pura yang penuh asap, mendengar gamelan, dan akhirnya berhadapan dengan sosok berambut panjang dengan taring menjulang. Suara tawanya selalu sama, mengerikan, menusuk ke telingaku.
Yang membuatku semakin takut, beberapa kali aku mendengar suara itu saat aku terjaga. Tengah malam, ketika aku sendirian di kamar kos, tiba-tiba ada tawa lirih, samar, tapi jelas berasal dari sudut kamar. Aku menyalakan lampu, tapi tak ada siapa pun di sana.
Tika dan Nisa mulai memperhatikan perubahan sikapku. "Kamu kelihatan pucat, Ran. Sakit?" tanya Nisa. Aku hanya menggeleng. Bagaimana aku bisa mengatakan bahwa bayangan Rangda masih menghantuiku?
Pernah suatu kali, saat aku berkaca di kamar mandi, bayangan di cermin tidak menirukan gerakanku dengan sempurna. Sesaat aku melihat wajah tua dengan rambut kusut dan taring panjang menatap balik. Aku jatuh terduduk, menjerit histeris. Setelah itu, aku tidak pernah lagi berani menatap cermin terlalu lama.
Aku mulai mencari bantuan. Seorang teman menyarankan agar aku menemui seorang pemangku atau balian, orang pintar Bali. Ketika aku menceritakan pengalamanku, pemangku itu mengangguk pelan. "Kau sudah melihat sesuatu yang seharusnya tidak kau lihat. Ikatan itu bisa terbawa sampai jauh. Rangda bukan hanya legenda, ia nyata. Kau harus menjaga dirimu. Jangan pernah lengah."
Ia memberiku seikat janur dan dupa untuk dibakar setiap malam, sebagai penolak bala. Aku menurutinya, meski rasa takut tidak hilang sepenuhnya. Masih ada rasa seolah-olah ada mata yang selalu mengawasi setiap langkahku.
Hingga kini, aku belum tahu apa yang sebenarnya diinginkan Rangda dariku. Tapi aku tahu satu hal: pertemuan kami belum berakhir. Tawa itu masih menghantuiku, kadang terdengar jelas di telingaku ketika aku sendirian. Dan aku yakin, suatu saat, ia akan kembali menagih sesuatu dariku. Sesuatu yang belum sempat ia rampas pada malam penuh teror itu.
Entah itu nyawaku… atau jiwaku.

Posting Komentar