Hantu Rumah Betawi Tua Pondok Indah
Kisah Arwah Berkebaya Merah Betawi
Namaku Rani, seorang wanita berusia tiga puluh dua tahun yang baru saja pindah ke rumah tua bergaya Betawi di kawasan Pondok Indah. Rumah itu aku beli dengan harga yang cukup murah untuk ukuran daerah elit Jakarta. Katanya, rumah ini sudah lama kosong sejak pemilik lamanya meninggal dunia. Tapi aku tak terlalu peduli, karena dari luar rumah itu tampak kokoh dan penuh pesona tempo dulu.
Rumah itu berdiri di atas tanah yang cukup luas, dengan pagar kayu berwarna cokelat tua dan halaman penuh pohon mangga serta bunga kamboja. Di terasnya terdapat kursi rotan dan meja kecil khas rumah Betawi. Atapnya berbentuk pelana dengan genteng merah yang sudah mulai berlumut. Di sisi kanan rumah, ada sumur tua yang tampak tak terpakai—tertutup oleh daun-daun kering dan ranting yang berjatuhan.
Begitu aku melangkah masuk untuk pertama kali, aroma kayu tua dan debu langsung menyergap. Dinding kayu berwarna cokelat tua, jendela besar dengan ukiran khas Betawi, serta kursi rotan yang tampak antik menambah suasana klasik rumah itu. Aku langsung jatuh cinta pada nuansanya yang menenangkan—meski agak sepi dan sedikit menyeramkan.
“Aduh, rumahnya bagus banget, Bu Rani. Tapi kok... hawanya kayak beda, ya?” ujar Siti, asisten rumah tanggaku yang membantuku beres-beres hari itu.
“Namanya juga rumah lama, Sit. Belum terbiasa aja kali,” jawabku sambil tersenyum, meski diam-diam bulu kudukku sempat berdiri tanpa sebab.
Sore itu, kami berdua sibuk membersihkan ruang tamu. Saat aku membuka lemari tua di pojok ruangan, tiba-tiba terdengar suara seperti kain terseret di lantai. Aku menoleh cepat, tapi tak ada apa-apa di sana. Siti pun berhenti menyapu dan memandangku dengan wajah pucat.
“Bu, tadi... kayak ada orang lewat, deh,” katanya pelan.
“Mungkin bayangan aja. Udah, lanjut kerja.”
Aku berusaha menenangkan diri. Namun, saat malam tiba, suasana rumah berubah drastis. Angin berembus lewat celah-celah jendela, menimbulkan suara gemerisik aneh. Aku mencoba tidur lebih awal, tapi suara langkah kaki di lantai kayu atas kamar membuatku sulit memejamkan mata. Suara itu datang dan pergi, seperti seseorang sedang berjalan mondar-mandir di koridor lantai dua.
“Mungkin tikus,” gumamku mencoba menenangkan diri. Tapi langkah itu terlalu berat untuk seekor tikus. Rasanya seperti langkah kaki seorang wanita yang mengenakan sandal kayu, pelan tapi berirama. Tok... tok... tok... semakin lama semakin dekat ke arah tangga.
Aku berusaha memejamkan mata, menutupi kepala dengan bantal. Tapi rasa takut membuat jantungku berdebar tak karuan. Hingga akhirnya suara itu berhenti tepat di depan pintu kamarku. Diam. Hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Aku menahan napas. Lalu, pelan-pelan, gagang pintu kamarku bergerak... seperti ada yang berusaha membukanya dari luar.
“Siti?” panggilku dengan suara bergetar.
Tidak ada jawaban. Yang ada hanya desis angin dan... suara langkah menjauh lagi. Aku baru bisa bernapas lega setelah beberapa menit kemudian. Malam itu aku tidak tidur sama sekali.
Keesokan paginya, aku menemukan pintu depan terbuka sedikit. Padahal semalam aku yakin sudah menguncinya rapat. Di lantai dekat pintu ada bekas lumpur kecil, seperti jejak kaki wanita tanpa alas. Anehnya, jejak itu berhenti tepat di depan cermin besar di ruang tamu. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, dan seolah-olah... ada bayangan lain berdiri di belakangku. Tapi saat aku menoleh, tak ada siapa pun.
Hari demi hari, kejadian aneh semakin sering terjadi. Kadang aku mendengar suara perempuan tertawa pelan dari dapur, atau aroma bunga melati tercium di tengah malam. Siti mulai ketakutan dan memintaku mencari ustaz untuk membaca doa di rumah itu. Aku sempat menolak, tapi setelah suatu malam aku melihat sosok wanita berkebaya merah muda lewat di depan kamarku, aku tak punya pilihan lain.
Wanita itu terlihat hanya beberapa detik, berjalan dengan langkah lambat sambil menunduk. Rambutnya tergerai panjang, dan dari kejauhan tampak seperti mengenakan sanggul khas Betawi dengan hiasan bunga. Tapi wajahnya pucat, matanya kosong menatap lantai. Aku terpaku hingga tubuhku kaku tak bisa bergerak. Saat aku berusaha berteriak, sosok itu menoleh perlahan ke arahku, dan wajahnya berubah mengerikan—kulitnya sobek, matanya hitam pekat, mulutnya tersenyum lebar dengan gigi hitam legam.
“Sssst... jangan ganggu rumah ini...” suaranya lirih namun bergema di seluruh ruangan.
Aku langsung pingsan.
Ketika aku terbangun, Siti sudah menyiapkan segelas air putih di meja. “Bu, semalam saya dengar Ibu jerit, tapi waktu saya masuk kamar... nggak ada siapa-siapa,” katanya dengan nada gemetar.
“Aku lihat dia, Sit. Wanita itu...” jawabku pelan. “Dia pakai kebaya merah muda. Mungkin arwah penghuni lama rumah ini.”
Siti hanya diam. Tapi matanya jelas menunjukkan ketakutan. Ia bilang ingin berhenti kerja jika aku tidak segera memanggil ustaz. Aku akhirnya menuruti. Ustaz Hamdan datang sore itu, membaca doa di setiap ruangan. Namun, anehnya, ketika beliau sampai di ruang tamu tempat cermin besar itu berada, beliau tiba-tiba berhenti membaca dan menatap cermin dengan wajah tegang.
“Bu Rani, cermin ini... bukan sembarang cermin. Ini portal,” katanya serius.
“Portal? Maksudnya apa, Ustaz?”
“Arwah yang terikat di rumah ini keluar dan masuk melalui cermin ini. Ia bukan arwah jahat, tapi sangat marah karena merasa diganggu.”
“Diganggu? Tapi saya hanya tinggal di sini...”
Ustaz Hamdan menatapku lama. “Rumah ini dulunya milik keluarga Betawi tua. Putri pemilik rumah tewas di depan cermin itu karena cemburu—ia membakar diri dengan kebaya yang sekarang Ibu lihat.”
Perutku terasa mual mendengar kisah itu. Aku memandangi cermin besar di depanku. Ukirannya memang khas Betawi, indah tapi menyimpan aura kelam. “Lalu apa yang harus saya lakukan, Ustaz?”
“Kalau Ibu ingin tetap tinggal, jangan pernah mencoba memindahkan atau menutupi cermin ini. Dia tidak suka diabaikan.”
Setelah ustaz pergi, rumah terasa lebih tenang selama beberapa hari. Tapi rasa tenang itu tidak bertahan lama. Suatu malam, aku melihat sesuatu di cermin. Bayangan wanita berkebaya merah muda itu berdiri di balik pantulanku. Kali ini wajahnya tak seram, hanya tampak sedih. Aku memberanikan diri bicara.
“Kau... siapa sebenarnya?” tanyaku pelan.
Bayangan itu tersenyum samar, lalu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah lemari tua di samping ruang tamu. Setelah itu, ia lenyap begitu saja. Dengan langkah gemetar, aku membuka lemari itu. Di dalamnya, ada sebuah kotak kayu berukir bunga melati. Saat kubuka, di dalamnya terdapat foto hitam putih seorang wanita muda berpakaian kebaya merah muda, dengan senyum lembut di bibirnya. Di bawah foto itu, ada tulisan pudar: “Siti Mariam – 1938”.
Aku terdiam. Jadi namanya Siti Mariam... mungkin dialah arwah yang menghuni rumah ini.
Keesokan harinya aku mencari tahu tentang nama itu ke warga sekitar. Seorang kakek penjaga masjid yang sudah lama tinggal di Pondok Indah berkata, “Rumah itu dulu rumah bangsawan Betawi, Nak. Putrinya cantik, tapi mati tragis karena cinta. Katanya, dia menunggu tunangannya yang tak pernah kembali. Sejak itu, siapa pun yang tinggal di sana akan diganggu kalau tidak menghormatinya.”
Sejak saat itu aku mulai meletakkan bunga melati di depan cermin setiap malam. Anehnya, gangguan perlahan berhenti. Tak ada lagi suara langkah, tak ada lagi tawa misterius. Bahkan udara di rumah terasa lebih hangat.
Tapi suatu malam, ketika aku sedang menulis di meja ruang tamu, aku mendengar suara lembut dari arah cermin.
“Terima kasih... sudah tidak melupakanku...”
Suara itu begitu jelas, tapi tidak menakutkan. Saat aku menatap cermin, Siti Mariam berdiri di sana dengan senyum damai. Ia menatapku, lalu perlahan berjalan menjauh... seolah menuju cahaya di balik cermin. Dan ketika ia lenyap, cermin itu tiba-tiba retak halus seperti kristal pecah.
Keesokan paginya, aku menemukan bunga melati yang kutaruh semalam sudah kering, tapi tetap harum. Rumah itu kini terasa benar-benar tenang. Aku tahu, arwah Siti Mariam akhirnya bisa pergi dengan damai.
Namun, kedamaian itu hanya bertahan sebentar. Suatu pagi, Siti—yang sudah mulai berani tinggal lagi di rumah itu—menjerit dari dapur. Aku berlari menghampiri dan menemukan panci di atas kompor berisi air yang mendidih, padahal belum ada yang menyalakan api. Suhu di sekitar kompor terasa panas luar biasa.
“Bu! Saya nggak masak apa-apa! Kompor ini nyala sendiri!”
Kami segera mematikan gas. Tapi sesaat setelah itu, aroma melati menyeruak lagi. Aku tahu, sesuatu telah berubah. Saat malam tiba, aku mendengar suara langkah lagi, tapi kali ini datang dari arah sumur di belakang rumah. Dengan hati-hati aku menyalakan senter dan keluar ke halaman. Di dekat sumur tua, aku melihat sesuatu—bayangan wanita berkebaya merah muda berdiri di sana, menatapku dari kejauhan.
“Siti Mariam?” panggilku pelan.
Bayangan itu menunduk, lalu tangannya menunjuk ke dalam sumur. Aku mendekat, menyorot senter ke bawah. Dalam gelap air sumur, aku melihat pantulan wajah wanita itu... dan sebuah benda mengapung—kain kebaya lusuh berwarna merah muda.
Aku mundur ketakutan. Tapi saat aku hendak kembali ke rumah, suara tangisan lirih terdengar dari arah sumur. Tangisan seorang wanita yang kehilangan segalanya.
Keesokan harinya aku memanggil petugas untuk menutup sumur itu. Tapi saat mereka mencoba menguruknya dengan tanah, tanahnya seperti menolak, mengeras setiap kali sekop ditancapkan. Salah satu pekerja berkata pelan, “Bu, ini sumur aneh. Kayak dijaga sesuatu.”
Setelah kejadian itu, aku mulai bermimpi aneh setiap malam. Dalam mimpi itu, aku berada di masa lalu, di dalam rumah yang sama tapi dengan suasana berbeda. Di sana ada seorang gadis cantik memakai kebaya merah muda, sedang menangis di depan cermin sambil memegang surat. Dari kejauhan, seorang pria berpakaian serdadu kolonial terlihat pergi meninggalkannya.
“Jangan tinggalkan aku, Amir... jangan...” tangisnya memilukan. Lalu ia menatap cermin dan berkata lirih, “Kalau aku tak bisa bersamamu di dunia ini, biarlah aku menunggumu di cermin ini...”
Lalu api membakar seluruh ruangan, dan gadis itu lenyap dalam kobaran merah. Aku terbangun dengan napas terengah, tubuh basah oleh keringat dingin. Di samping tempat tidurku, ada setangkai bunga melati segar—padahal aku tak pernah menaruhnya di sana.
Hari-hari berikutnya aku hidup dalam ketakutan yang samar. Tak ada lagi penampakan, tapi aku merasa selalu diawasi. Setiap kali aku melewati cermin besar itu, bayanganku tampak berbeda—kadang mataku terlihat lebih sayu, kadang di belakangku ada siluet kebaya merah muda yang samar.
Suatu malam aku memutuskan melakukan sesuatu yang mungkin bodoh—aku berdiri di depan cermin itu, membawa bunga melati, dan berkata, “Kalau kau masih di sini, Siti Mariam... aku izinkan kau tinggal. Tapi jangan sakiti siapa pun lagi.”
Cermin itu bergetar halus, seolah menjawab. Lalu muncul kabut tipis di permukaannya, membentuk bayangan wanita itu tersenyum lembut. Dan dalam bisikan yang hampir tak terdengar, ia menjawab, “Aku hanya ingin dikenang...”
Sejak malam itu, rumah Betawi tua di Pondok Indah itu tak lagi menakutkan bagiku. Tapi kadang, saat aku menulis di malam hari dan aroma melati menguar pelan, aku tahu dia masih ada di sini—menjaga rumahnya, menjaga kenangan lamanya yang tak sempat usai.
Satu hal yang tak pernah berubah, setiap tanggal 17 Agustus—hari kemerdekaan yang juga bertepatan dengan tanggal wafatnya Siti Mariam menurut cerita warga—bunga melati di vas depan cermin selalu segar, meski aku tak pernah menggantinya. Dan setiap malam itu juga, terdengar suara gamelan Betawi halus dari arah ruang tamu, seolah rumah tua itu sedang berpesta... mengenang cinta yang tak pernah padam.
Beberapa tamu yang datang ke rumahku pun pernah merasakan hal aneh. Salah satunya, teman kantorku bernama Dinda, sempat berkomentar, “Ran, aku lihat ada perempuan cantik banget di tangga tadi. Kupikir temenmu. Tapi waktu aku panggil, dia cuma senyum dan jalan ke arah dapur. Pas aku ikuti... nggak ada siapa-siapa.”
Aku hanya tersenyum kecil. “Dia bukan teman, Din. Tapi dia yang punya rumah ini sebelum aku.”
“Maksudmu...?”
“Sudahlah, nanti kuceritakan,” jawabku singkat. Karena aku tahu, tak semua orang siap mendengar kisah Siti Mariam dan rumah Betawi tua yang kini menjadi tempat tinggalku.
Dan setiap malam, saat angin berembus dari jendela kayu dan aroma melati menguar lembut, aku selalu berbisik pelan ke arah cermin retak itu:
“Selamat malam, Siti Mariam. Rumah ini tetap milikmu... dan milikku juga.”
Dari pantulan cermin yang retak itu, kadang muncul bayangan samar seorang wanita berkebaya merah muda, menatapku dengan senyum damai—senyum yang seolah berkata, bahwa tidak semua hantu ingin menakuti. Beberapa hanya ingin dikenang... selamanya.

Posting Komentar