Hantu Terowongan Surabaya yang Mengerikan
Kisah Nyata Hantu di Terowongan Tua Kota Surabaya
Malam itu, hujan mengguyur kota Surabaya tanpa henti. Jalan-jalan licin, lampu-lampu jalan memantulkan bayangan panjang di genangan air. Di sebuah kamar kos kecil di daerah Peneleh, Lina—mahasiswi arkeologi semester akhir Universitas Airlangga—menatap lembaran peta kuno peninggalan Belanda yang baru saja ia temukan di ruang arsip fakultas. Peta itu tidak seperti peta biasa; di bagian bawahnya, ada garis merah melingkar yang menandai sesuatu bertuliskan Ondergrondse Tunnel van Soerabaja—Terowongan bawah tanah Surabaya.
Lina menggigit bibirnya, rasa ingin tahu bergejolak dalam dadanya. Ia tahu kota ini penuh sejarah kelam, tapi menemukan bukti fisik seperti ini bukan hal sepele. Ia meraih ponselnya dan menelepon sahabat dekatnya, Reza, seorang fotografer lepas yang gemar menjelajahi bangunan tua dan tempat angker.
“Reza, lo mesti ke kos gue sekarang. Gue nemu sesuatu yang gila,” kata Lina cepat, suaranya bergetar antara semangat dan takut.
“Tenang dulu, Lin. Emang lo nemu apa?” jawab Reza dari seberang.
“Peta peninggalan Belanda. Di sini ada jalur terowongan bawah tanah yang belum pernah gue baca di arsip mana pun. Kayaknya nyambung dari Tugu Pahlawan sampai Jembatan Merah.”
“Serius? Wah, bisa jadi temuan sejarah tuh. Tapi... kalau belum didata, berarti tempatnya udah lama dikubur.”
“Justru itu,” ujar Lina dengan mata berbinar. “Besok malam kita ke sana. Gue udah nemuin lokasi pintu masuknya dari peta. Di belakang gedung kolonial kosong, dekat Jembatan Merah.”
Reza diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Oke. Gue ikut. Tapi kalau ada yang aneh, kita langsung cabut, ya?”
Lina tertawa kecil. “Deal. Tapi jangan penakut duluan.”
Keesokan malamnya, udara Surabaya terasa lembab dan berangin. Hujan turun rintik-rintik ketika Lina dan Reza tiba di lokasi. Gedung tua itu berdiri angkuh, dindingnya ditumbuhi lumut, dan sebagian besar jendelanya sudah pecah. Pintu kayu di bagian belakang hampir tertutup tanah, namun dari bentuknya, Lina yakin itu adalah akses masuk terowongan yang dimaksud di peta.
“Lin, ini beneran?” tanya Reza sambil menyorotkan senter ke arah pintu.
“Iya, di sini titiknya. Kita cuma perlu buka ini sedikit.”
Dengan bantuan linggis kecil, mereka berhasil membuka papan yang menutup pintu itu. Udara pengap dan bau lembap menyergap. Di bawahnya, tampak tangga batu menurun ke arah gelap gulita.
“Gue nggak nyangka bakal segelap ini,” kata Reza.
“Yah, namanya juga terowongan tua. Ayo turun, gue udah siap mental.”
Lina menyalakan senter kepala, dan keduanya menuruni tangga perlahan. Semakin dalam mereka masuk, semakin terasa dingin dan lembap udara di sana. Dinding bata merah di sekitarnya dipenuhi lumut, dan beberapa bagian sudah retak. Di salah satu dinding, Lina melihat ukiran tulisan Belanda yang hampir hilang: Niet Betreden Zonder Toestemming—“Dilarang masuk tanpa izin.”
“Peringatan?” tanya Reza.
“Mungkin. Tapi kenapa mereka melarang orang masuk? Ada apa di sini?” jawab Lina pelan.
Langkah mereka menggema. Lorong itu bercabang dua—ke kiri dan kanan. Dari arah kiri terdengar suara tetesan air, sedangkan kanan terasa lebih kering namun lebih gelap. Lina memutuskan berjalan ke kanan, mengikuti tanda pada peta. Reza menyusul, menyorotkan senter ke depan.
Tak lama kemudian, bau anyir tercium samar. Bau logam bercampur tanah basah. Lina menutup hidung. “Bau apa ini? Kayak karat atau darah.”
Reza hanya diam. Namun tiba-tiba, suara rantai terdengar diseret dari kejauhan. Suara itu berat, teratur, lalu berhenti mendadak. Sunyi. Mereka saling berpandangan.
“Lo denger itu?” tanya Reza dengan suara bergetar.
“Iya... tapi mungkin suara pipa besi jatuh,” jawab Lina, meski dalam hatinya ia tidak yakin.
Mereka terus berjalan sampai tiba di ruangan besar. Di dindingnya tergantung foto-foto tua yang sudah rusak dimakan lembab, memperlihatkan wajah tentara Belanda. Di tengah ruangan ada peti kayu setengah terbuka. Lina menyorotkan senter, dan tampak di dalamnya ada seragam tentara, helm baja, dan sebuah buku catatan lusuh.
“Ini peninggalan mereka…” gumam Lina sambil membuka buku itu. Tulisan di dalamnya berbahasa Belanda, namun Lina bisa menerjemahkan sedikit: ‘Kami dikhianati. Mereka datang dari atas dan menutup semua jalan keluar. Kami mati di sini…’
Reza menelan ludah. “Lin, kayaknya tempat ini bukan cuma lorong biasa. Ini… kuburan massal.”
Belum sempat Lina menjawab, tiba-tiba terdengar suara lirih perempuan bernyanyi. Suara itu halus tapi menyeramkan, bergema dari arah belakang lorong. Lagu yang dinyanyikan terdengar seperti bahasa Belanda tua, penuh kesedihan. Lina mematikan senter sejenak, dan dari kegelapan tampak cahaya kehijauan yang berpendar pelan.
“Lo liat itu?” bisik Reza.
“Iya… kayak api kecil.”
Dari cahaya itu muncul sosok wanita tinggi bergaun putih lusuh, rambutnya panjang menutupi wajah. Tangannya menggenggam rantai berkarat yang terseret di lantai. Mata merahnya berpendar samar di balik rambutnya.
“Kembalikan mereka…” suaranya serak, namun jelas.
Lina mundur perlahan. “Kembalikan siapa?” tanyanya gemetar.
“Mereka… yang kau ganggu…”
Reza langsung menarik tangan Lina. “Kita harus pergi sekarang juga!”
Mereka berlari secepat mungkin, lorong bergema oleh langkah kaki dan suara rantai yang semakin dekat. Namun saat mereka berbelok, jalan yang tadi lurus tiba-tiba berubah jadi buntu. Batu bata di dinding seolah bergeser sendiri, menutup arah keluar. Lina menoleh ke belakang—sosok wanita itu kini semakin dekat, tubuhnya seperti melayang di udara.
“Jangan lihat ke matanya!” teriak Reza.
Lina menunduk, lalu menarik Reza ke arah lain. Mereka menemukan lorong kecil menurun, lalu masuk ke dalamnya. Namun langkah mereka terhenti ketika di bawah tampak tumpukan tulang belulang manusia yang berserakan di lantai.
“Ya Tuhan…” desis Lina. “Mereka dikubur hidup-hidup di sini.”
Reza berlutut, memungut sesuatu dari antara tulang-tulang itu: sebuah medali kecil dengan ukiran lambang kerajaan Belanda. Di belakangnya terukir nama: Elisabeth Van Hoorn.
“Lin… ini nama wanita. Jangan-jangan…”
Sebelum Reza selesai bicara, suara tawa perempuan bergema dari belakang mereka—tawa melengking panjang, berubah menjadi tangisan memilukan. Dari kegelapan, muncul bayangan wanita yang sama. Tapi kali ini wajahnya terlihat jelas—pucat, matanya kosong, bibirnya berlumur darah.
“Kalian… membuka sumpahku…” katanya dengan suara bergetar.
Tanah di bawah mereka berguncang, dinding retak, dan udara menjadi semakin dingin. Lilin-lilin kecil di pojok ruangan menyala sendiri, memperlihatkan simbol-simbol aneh di lantai berbentuk segitiga dengan tulisan Latin kuno. Lina memeluk buku catatan Belanda itu, lalu berteriak, “Kita nggak bermaksud ganggu! Kami cuma mau tahu sejarah tempat ini!”
Namun roh wanita itu tidak menjawab. Ia hanya menatap mereka dengan mata merah menyala, lalu perlahan menghilang. Sesaat setelah itu, lorong mulai runtuh. Batu-batu besar jatuh dari langit-langit. Lina dan Reza berlari mencari jalan keluar, mengikuti aliran udara dari atas.
Setelah beberapa menit panik, mereka menemukan tangga menuju permukaan. Namun begitu sampai di atas, pintu keluar sudah tertutup puing. Lina menatap Reza dengan wajah cemas. “Kita terjebak!”
Reza memegang korek api. “Lin, bakar aja buku itu! Mungkin dia marah karena kita bawa barang peninggalan mereka.”
Lina menatap buku itu ragu, namun akhirnya menyalakan api kecil. Begitu halaman pertama terbakar, terdengar jeritan panjang dari dalam lorong. Suara rantai berhenti seketika, dan udara menjadi hening. Hanya bau asap dan debu yang tersisa.
Beberapa batu di atas runtuh, membuka celah kecil. Dengan susah payah, mereka keluar dari reruntuhan, tubuh penuh debu dan luka. Begitu menghirup udara luar, mereka merasa lega. Namun kelegaan itu berubah jadi ngeri ketika mereka menatap sekitar.
Kota Surabaya tampak berbeda. Jalanan dipenuhi orang-orang berpakaian kolonial. Mobil tua melintas, dan di atas gedung berkibar bendera Belanda. Gedung yang tadi mereka masuki kini berdiri megah dan baru. Dari jendela lantai dua, tampak sosok wanita bergaun putih—Elisabeth—menatap mereka sambil tersenyum tipis.
“Selamat datang kembali,” katanya pelan sebelum menghilang di balik tirai.
Lina terpaku. “Reza… apa yang barusan terjadi? Ini bukan Surabaya yang kita kenal…”
Belum sempat mereka mencari jawaban, dunia di sekitar mereka berputar. Angin dingin berhembus, dan tiba-tiba mereka sudah kembali ke masa kini. Gedung di belakang mereka kini benar-benar runtuh, hanya tersisa puing dan papan bertuliskan Dilarang Masuk – Area Berbahaya.
Reza menatap kamera yang masih ia genggam. Ia menyalakannya, dan di layar muncul foto terakhir yang diambilnya: Lina dan Reza berdiri di dalam terowongan, di belakang mereka tampak sosok wanita bergaun putih dengan mata merah menyala. Di bawah foto itu tertulis otomatis dari sistem kamera: Data corrupted – Unknown presence detected.
Sejak malam itu, Lina tidak pernah lagi mengunjungi tempat bersejarah tanpa izin resmi. Ia berhenti meneliti arsip kolonial selama bertahun-tahun, tapi mimpi tentang wanita itu tak pernah berhenti datang. Dalam mimpinya, Elisabeth berdiri di ujung lorong sambil menyanyikan lagu Belanda dengan suara sendu, lalu menatapnya dengan mata yang penuh dendam dan kesedihan.
Beberapa tahun kemudian, proyek penggalian saluran air di kawasan Jembatan Merah dilakukan. Namun saat alat berat menggali lebih dalam, mesin mereka tiba-tiba mati serentak. Para pekerja mengaku mencium bau darah dan mendengar rantai besi diseret di bawah tanah. Proyek itu langsung dihentikan, dan lokasi digaris polisi.
Konon, arwah para korban terowongan itu masih gentayangan, terutama arwah Elisabeth Van Hoorn yang dianggap penjaga terowongan bawah tanah. Katanya, pada malam hujan deras, kalau kau berjalan di dekat Jembatan Merah dan menundukkan telingamu ke tanah, kau bisa mendengar suara rantai diseret… dan nyanyian perempuan dalam bahasa Belanda yang lirih memanggil nama seseorang.
Dan bila kau menjawabnya, kau akan menjadi bagian dari mereka—roh yang tak pernah bisa keluar dari bawah tanah Surabaya.

Posting Komentar